
Terakota.id–Kebebasan akademik kembali mencuat menjadi bahan perbincangan hangat setelah sejumlah akademisi tanah air menjadi sasaran kriminalisasi. Tragisnya, kriminalisasi itu tidak jarang justru dilakukan oleh koleganya sendiri di kampus tempat mereka bekerja. Sebuah pertunjukan yang sangat memalukan. Beberapa kampus bukan lagi menjadi tempat berkumpulnya cendekiawan yang mengedepankan akal sehat dalam mencari titik temu silang-sengketa perbedaan pandangan, namun telah menjadi ajang tempur dengan hukum rimba sebagai acuannya.
Perbedaan pendapat yang semestinya diselesaikan dengan cara musyawarah dan pendekatan antar personal, namun dalam realitasnya justru meja hijau sebagai pilihan solusinya. Perguruan tinggi tidak lagi menjadi teladan berkembangkan peradaban, namun sebagian justru sedang mempertontonkan kebiadaban atas nama insan intelektual.
Kebebasan akademik adalah bagian dari kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara. Konstitusi kita menjamin kebebasan memeroleh hak-hak itu. Dalam Pasal 28E Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Banyak kampus yang mengemas lembaganya seolah-olah demokratis, namun sebenarnya yang terjadi adalah demokrasi abal-abal. Ini pada umumnya terjadi di kampus yang dikelola oleh masyarakat (baca: swasta), di mana kontrol pihak eksternal sangat lemah. Sejumlah konflik internal yang melanda perguruan tinggi swasta berakhir dengan kebangkrutan. Pemerintah yang diharapkan menjadi juru penengah konflik, namun acapkali justru malah berpihak kepada salah satu kubu.
Banyak perguruan tinggi yang seolah-olah dalam pengelolaannya telah sangat sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2012, namun dalam praktik sesungguhnya sengaja melakukan pelanggaran norma dengan kemasan yang sangat rapi. Sementara pihak penyelenggara berusaha mengais keuntungan bagi lingkaran kelompoknya dengan pelbagai cara. Badan penyelenggara bisa memainkan mekanisme dan menyusun rekayasa demi mencapai tujuan kelompoknya.
Banyak kampus yang berusaha mempertontontan “demokrasi seolah-olah” itu, namun justru menjadi tontonan lucu, karena di balik itu semua telah dirancang untuk memenuhi hasrat liciknya. Pemilihan pengurus badan penyelenggara, pemilihan rektor, perekrutan dosen dan tenaga akademik jauh dari pertimbangan kualitas, namun lebih pada pertimbangan kedekatan dan yang teramat penting lagi bisa diajak “kerjasama.”
Tidak banyak tuntutan, diam, dan ABS (asal bapak senang) adalah syarat mutlak bagi upaya untuk mendukung pelanggengan kekuasaan dalam lembaga pendidikan. Berani mengritik atasan, siap-siap untuk angkat kaki dari kampus. Uniknya, akhir-akhir ini budaya ABS tidak hanya ditanamkan oleh badan penyelenggara pendidikan swasta, namun sejumlah perguruan tinggi pun telah terjangkiti virus semacam.
Akhir Agustus lalu, Komnas HAM menggelar acara Webinar Publik Diseminasi Standar Norma dan Pengaturan tentang Hak atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi. Salah satu poin penting dalam webinar tersebut adalah perlunya perlindungan terhadap kebebasan akademik. SNP Nomor 5 tentang Hak dan Kebebasan Berekspresi ini telah ditetapkan oleh Ketua Komnas HAM pada 20 April 2021.
Dalam paparannya, Mimin Dwi Hartono, M.A. (Plt. Kepala Biro Pemajuan HAM Komnas HAM RI) menyatakan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi diperlukan sebagai bentuk pengawasan, kritik dan saran dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan demokratis. Mimin juga mengatakan bahwa berbagai bentuk ancaman dan intimidasi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap pidato politik dilarang dan bisa ditindak sesuai ketentuan hukum.
Pidato dan ekspresi politik yang mengritisi kebijakan dan program, tidak bisa dikenakan sanksi, karena menjadi bagian dari kontestasi dan kontrol politik atas jalannya pembangunan. Webinar yang disiarkan langsung via YouTube Humas Komnas HAM ini juga menghadirkan beberapa penanggap, yakni Brigjen Pol. Iwan Kurniawan S.I.K, M.Si (Kepala Biro Pengawasan Penyidikan Bareksrim POLRI), Usman Kansong, S.Sos, M.Si. (Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo), dan Damar Juniarto (Direktur Eksekutif SAFEnet).
Menyangkut kebebasan akademik, dalam SNP ini disebutkan bahwa kritik dan ekspresi kritik ilmuwan terhadap institusinya secara hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari kebebasan akademik, khususnya komponen pertama, kebebasan individu sebagai civitas akademik. Prinsip kebebasan akademik demikian diatur dalam sistem hukum hak asasi manusia internasional, terutama berkaitan dengan hak atas pendidikan, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berpendapat.
Secara kebetulan acara webinar itu digelar dua hari menjelang sahabat saya, Dr. Saiful Mahdi, M.Si. menjalani eksekusi pidananya. Dosen program studi Statistika Universitas Syiah Kuala ini divonis tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 21 April 2020. Upaya bandingnya juga kandas. Pengadilan Tinggi Banda Aceh menguatkan putusan pengadilan sebelumnya. Pada 28 Juli 2021 Mahkamah Agung juga menolak kasasinya.
Ia dinyatakan bersalah karena postingannya di grup WhatsApp kampus dianggap mengandung unsur pencemaran nama baik institusi tempat ia mengabdi. Saiful Mahdi mengritik hasil penerimaan CPNS di Universitas Syiah Kuala. Tahun ini Saiful Mahdi adalah simbol matinya kebebasan akademik di negeri ini. Saiful Mahdi adalah salah satu dari sekian banyak akademisi yang dijerat dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam komentarnya terhadap Pasal 13 The Right to Education, Committee on Economic, Social and Cultural Rights sebagaimana dikutip dalam SNP ini, menyatakan bahwa anggota komunitas akademik, secara individu atau kolektif, bebas untuk mengejar, mengembangkan dan menyampaikan pengetahuan dan gagasan, melalui penelitian, pengajaran, studi, diskusi, dokumentasi, produksi, pembuatan atau penulisan.
Kebebasan akademik mencakup kebebasan individu untuk mengekspresikan pendapat secara bebas tentang lembaga atau sistem tempat mereka bekerja, untuk memenuhi fungsi mereka tanpa diskriminasi atau tanpa ada takut akan tekanan oleh Negara atau aktor lain, untuk berpartisipasi dalam badan akademik profesional atau perwakilan, dan menikmati semua hak asasi manusia yang diakui secara internasional yang berlaku untuk individu-individu dalam yurisdiksi yang sama.
Sebagai penyintas UU ITE saya bisa memahami apa yang dirasakan oleh Saiful Mahdi. Dalam pesan terakhirnya sesaat sebelum memasuki jeruji penjara, Saiful Sahdi mengatakan bahwa ia datang ke Kejaksaan dan memenuhi panggilan eksekusi semata-mata sebagai wujud ketaatan kepada hukum, namun ia akan tetap berjuang untuk melawan ketidakadilan. Jika dalam kasus Saiful Mahdi, koleganya secara jantan bertindak sebagai pelapornya, namun terdapat berbedaan dengan peristiwa yang menimpa saya.
Saya mengalami kriminalisasi oleh orang dalam kampus yang menggunakan tangan kanan pihak ketiga, sebuah ormas yang anggotanya terdiri dari para guru, profesi yang sangat mulia. Ini terbukti nyata dalam kesaksian dari pelapor sendiri dalam persidangan saya di pengadilan negeri. Tambahan lagi, pada jam kerja, yang seharusnya para guru itu mengajar di sekolahnya masing-masing, namun harus dikerahkan dengan memakai seragam organisasi memenuhi pengadilan negeri. Semua itu adalah dalam rangka untuk memberikan tekanan psikologis saat saya dihadapkan pada persidangan.
Sekali pun SNP telah ditetapkan hampir setengah tahun yang lalu, namun hingga kini masih banyak aparatur negara yang belum menjadikannya sebagai pedoman. Dalam kasus Saiful Mahdi misalnya, Mahkamah Agung juga belum menjadikan SNP ini sebagai pedoman dalam membuat putusan. Dalam poin 177 SNP ini dinyatakan bahwa tekanan terhadap akademisi yang mengkritisi institusinya bertentangan dengan prinsip 4 dan 5 Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik.
Hal ini karena insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan, serta berkait dengan kewajiban otoritas publik untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik. Hal ini termasuk upaya mengembangkan keilmuan dengan menyampaikan pemikiran atau pendapatnya, sehingga harus dilindungi secara hukum dan konstitusi.
Yang diperlukan saat ini adalah sosialisasi SNP kepada masyarakat seluas-luasnya. Sejumlah standar norma dan juga produk hukum akan tinggal sekadar menjadi monumen tanpa dijadikan sebagai acuan dalam penyelenggaraan negara. Dulu pasca terbitnya Undang-undang ITE pada tahun 2008 sejumlah elemen masyarakat juga ramai-ramai mengajukan judicial review.
Sekali pun Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa undang-undang ini konstitusional, namun secara umum telah terjadi kemajuan yang luar biasa dalam beberapa putusannya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VII/2009 sebenarnya telah cukup menjadi pedoman dalam menafsirkan Pasal 27 ayat 3 Undang-undang ITE. Dalam praktik di lapangan kedua putusan itu jarang menjadi rujukan para penegak hukum.
Begitu pula pada 23 Juni 2021 pemerintah juga telah mengeluarkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE. Dalam SKB ini antara lain termuat bahwa korban sebagai pelapor harus orang-perorang dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan; Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarluaskan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus atau institusi pendidikan.
Jika Putusan Mahkamah Konstitusi maupun SKB saja masih banyak diabaikan oleh penegak hukum, maka secara pribadi dalam waktu dekat saya masih pesimis bahwa SNP Nomor 5 ini akan menjadi rujukan. Namun lagi-lagi memang perlu kesabaran sampai seluruh penyelenggara negara ini makin baik literasinya. Jika ada regulasi yang jelas, mengapa harus memilih hukum rimba? Tapi saya masih sangat bangga sekalipun hidup di tengah rimba.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)