Ilustrasi : http://grobmart.com.
Iklan terakota

Terakota.id–Setelah hampir setahun lebih karena pandemi Covid-19, saya mengunjungi TB Gramedia Malang Twon Square (Matos). Tidak ada tujuan pasti saya ke toko buku. Kadang begitu. Namun setelah ke TB biasanya beli buku. Itu yang sering saya lakukan.

Ke Toko tidak harus mencari buku. Kadang saya hanya mencari inspirasi untuk menulis. Juga tak jarang membangkitkan semangat  kembali dalam menulis. Misalnya, setelah melihat buku karya orang lain jadi ikut bersemangat untuk menulis. Atau bahkan sekadar membaca dan jalan-jalan saja. Yang penting saya terhibur. Sesimpel itu saja.

Di tumpukan dekat pintu masuk ada banyak tumpukan puluhan judul novel karya Tere Liye. Nah, beberapa waktu sebelumnya nama Tere Liye melambung tinggi. Pro dan kontra. Ada yang mendukung, tapi tak sedikit yang sinis. Setidaknya dipicu dari pernyataanya yang diunggah di media sosial. Cerita soal kasus pembajakan buku.

“Nah, kalau kamu benar-benar tidak punya uang. Aduh, kan bisa pinjam. Bisa download aplikasi Ipusnas. Gratis malah bacanya. Ada yang gratis, kamu malam beli bajakan. Bikin kaya pembajak dan marketplace, kan goblok banget, “tulis Tere Liye di Facebook.

Dia melanjutkan, “Keluarga kamu kalau kerja HARUS dapat gaji, dapat THR, dapat bonus. Tidak dibayar, kamu dijamin ngamuk. Tapi lihat penulis buku dibajak, kamu komen sok bijak sekali: “anggap saja amal’. Dasar goblok, kezaliman massal dilakukan di depanmu, kamu sok bijak”.

Benang Ruwet

Saya bukan pembaca buku Tere Liye. Tetapi saya dan dia diikatkan dengan “nasib” yang sama. Entah sebagai  penulis atau sebagai orang yang dirugikan dengan pembajakan buku. Tentu saja sebagai penulis saya tidak bisa dibandingkan dengannya. Saya tentu jauh di bawah dia. Saya hanya penulis kacangan saja. Dia sudah menjadi penulis terkenal. Saya yakin disiplin dan petualangannya dalam menulis lebih dahsyat dari saya. Saya yakin soal itu.

Sebagai penulis, saya tentu merasakan apa yang bergolak di dalam dada Tere Liye.  Mungkin tingkat kerugian akibat pembajakan buku saya,  tidak sedahsyat Tere Liye. Saya yakin soal itu. Penulis di Indonesia memang sangat dirugikan akibat pembajakan buku. Belum penerbit, distributor, karyawan, editor dan lain-lain yang menggantungkan  nafkah darinya.

Saya tahu, bahwa Tere Liye sudah protes sana sini. Sudah mengeluarkan tenaga dan meteri yang tidak sedikit. Sudah mengampanyekan anti pembajakan di sana sini. Hanya penulis yang tak peduli dengan nasib banyak orang yang tidak menolak pembajakan.

Emosi Tere Liye di atas bisa jadi puncak kemarahan. Itu hanya puncak kemarahan dalam kata-kata. Sebab, penulis tidak punya kekuatan daya paksa. Ia bukan individu yang bisa mengatasi kasus pembajakan. Serugi apapun seorang penulis, ia berada dalam tekanan dan tak bisa berbuat banyak. Mau mengatasi? Belum kasus pembajakan buku terselesaikan, royalti yang tidak seberapa itu akan habis.

Tak ada cara lain yang dilakukan seorang penulis karena kerugian kasus pembajakan buku. Mau ke aparat? Butuh biaya banyak. Mau ke negara? Memang negara peduli dengan kasus pembajakan? Sangat butuh biaya besar untuk operasi pembajakan buku. Mau dibebankan ke penerbit? Penerbit bisa ngos-ngosan.

Maka, penulis bisanya hanya melakukan kampanye anti pembajakan. Atau paling banter menjadi pembicara di mana-mana untuk menghimbau masyarakat tak membaca  buku bajakan. Paling hanya itu. Mengeluh sama siapa? Hampir tak ada yang peduli. Maka, letupan emosional Tere Liye terkait pembajakan yang sudah menggurita ibarat mengurai benang ruwet lewat tulisan. Sebagaimana yang dilakukan Tere Liye. Saya sebagai penulis tentu paham. Bahkan sekeras apapun, sesadis apapun atau segalak apapun suara penulis nanti hanya akan lalu bersama angin.

Kejahatan

Pertanyaannya mengapa masih ada yang sinis dengannya? Tentu ada banyak sebab. Bisa jadi mereka bukan penulis sehingga tidak merasakan bagaimana susahnya menulis, kemudian bukunya dibajak. Susah lho menulis itu. Harus “berdarah-darah”. Harus membaca banyak. Kadang harus riset sana sini. Wawancara ke banyak orang. Sudah punya kemampuan itu saja harus didukung dengan kemampuan menulis yang semua orang belum tentu bisa dan mau.

Jadi penulis tidak mudah. Tak akan mudah untuk kaya secara materi. Mereka merasa kaya karena ilmu pengetahuan. Beda dengan pedagang. Menjual barang laku dapat keuntungan banyak. Selayaknya masyarakat juga paham soal ini. Tapi siapa yang bisa memaksakan untuk paham? Sebagian anggota masyarakat akan menjawab, “suka-suka dong”.

Juga, mereka kebanyakan hanya membiasakan diri dengan buku murah. Banyak buku murah saja belum tentu mau membaca. Mau membaca kalau ada  buku bajakan. Lebih tragis lagi mereka yang mengangkangi hak-hak penulis dengan membajak bukunya. Apa sebutan yang layak untuk mereka?

Yang tak kalah pentingnya, ada yang sinis karena residu Pemilihan Presiden (Pilpres). Mentang-mentang Tere Liye itu berseberangan dengan “kebijakan” kemapanan pemerintah. Terus merasa enggan membaca bukunya. Intinya tidak sejalan dengan ide-idenya sebagaimana sebagian tertuang dalam buku dan media sosialnya. Residu Pilpres atau karena kebenciannya sudah berurat akar? Ada ruang aneh yang sedang terbangun dalam pikiran orang itu karena sinis dengan pemberantasan buku bajakan, meskipun dibungkus dengan sesuatu yang bijak.

Yang pasti pembajakan itu kejahatan. Ada ketidakadilan yang terus dilanggengkan dalam kasus itu. Apakah dengan demikian kita harus tinggal diam? Apakah hanya karena menyuarakan ketidakadilan atau usaha memberantas kejahatan terus kita membenci seorang individu? Tentu ada sesuatu aneh yang terjadi.

Memang apa yang dikatakan Tere Liye tidak elok. Menggoblok-goblogkan orang lain. Mendungu-dungukan pula. Dalam hal ini saya tentu tidak setuju. Sebagai penulis saya juga menghindari kata-kata ini. Apalagi dengan pembaca saya. Pembaca saya juga manusia. Tapi tentu ada latar belakang kuat yang membuat penulis sekaliber Tere Liye sampai mengatakan kata-kata “goblok”. Tentu ada tali temalinya. Soal ini bukan urusan saya. Fokus saya ada kejahatan yang dilanggengkan. Meskipun di sisi lain ada kata-kata yang kurang pantas. Sekali lagi fokus pada inti masalah saja.

Pembajakan buku punya kecenderungan akan semakin kuat di tengah penegakan hukum yang tidak tegas dan nyata. Belum lagi termasuk banyaknya materi yang dihabiskan untuk memberantasnya. Juga, tekanan psikis yang dialami penulisnya. Kita masih berada dalam masyarakat yang “menghalalkan segala cara”. Sebagai masyarakat berbudaya  apakah kita akan tinggal diam saja dengan kejahatan seperti ini? Berbuatlah sesuai kemampuan untuk menolong sesama.

Kota Batu, 1 Juni 2021