Terakota.id–-Musisi Annisa Theresia Ebenna Ezeria Pardede atau yang terkenal dengan nama panggung Tere mengaku tak banyak musisi yang memahami mengenai royalti. Serta tak memahami perundang-undangan yang mengatur mengenai dunia entertainment. Seperti pengalaman Tere saat pertama kali terjun di dunia entertaiment.
“Kasus perebutan royalti pernah terjadi. Sebuah lagu komposernya ditulis satu nama, ternyata dibuat beberapa orang,” kata Tere dalam webinar Kenali Hak-Hak Kekayaan Intelektual Komposer pada Senin, 26 April 2021. Seharusnya, kata Tere, ada pernjajian antar pengkarya sejak awal tentang pembagian royalti, sebelum saat masuk label rekaman.
Komposer saling klaim bagian lagu yang menjadi ciptaannya, dan persentase pembagian royalti diperdebatakan. Menghadapi fenomena ini, Tere menegaskan musisi harus mempelajari hak cipta karya lagu. Tere mengaku belajar mengenai hak cipta secara otodidak.
Tere mengisahkan berkarir sebagai komposer lantaran suka membuat puisi. Puisi yang diciptakan diberi notasi, kemudian diaransemen dan dikirim ke Ahmad Dhani dan label Aquarius Musikindo. “Dulu ketika masih menggunakan pita, masuk label rekaman menjadi kebanggan bagi musisi,” katanya.
Sedangkan biaya produksi rekaman kala itu mahal. Saat tanda tangan kontrak, musisi kerap tak membaca isi perjanjian. Musisi menggunakan jasa manager yang berlaku layaknya broker, sekadar menghubungkan antara musisi dengan label rekaman. Hak atas royalti musisi tak menjadi perhatian sejak awal.
“Baru sadar saat menjadi artis. Beberapa kasus manager artis menilep uang musisi, dan tak transparan,” ujarnya.
Sebagai komposer, Tere mengaku yang pertama diperhatikan komposer adalah copyright, hak cipta atau hak moral. Lantas hak ekonomi, berupa royalti atas musik yang diciptakan. Komposer, ujarnya, menjadi satu bagian dalam bangunan lagu yang tak bisa diabaikan, selain aspek instrumen musik, dan sound arrangement.
“Ekosistem musisi seharusnya saling menguatkan, terutama komposer,” kata Tere. Kemudian mempelajari hukum dan penyelesaian jika terjadi sengketa atau perselisihan akibat perbedaan pandangan.
Royalti menjadi pembicaraan setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan atau Musik pada 30 Maret 2021. Konsekuensinya setiap memainkan atau memutar lagu atau musik yang tercatat dalam sistem data lagu atau musik wajib membayar rotyalti pada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Anggota Wahana Musik Indonesia (WAMI) Agus Sardjono menjelaskan pencipta musik memiliki dua hak besar, yakni hak moral dan hak ekonomi. “Musisi memiliki copyright, mechanical rights, master rights untuk master lagu dan performing rights,” ujar Agus.
Tak hanya pencipta, pihak publisher juga memiliki publisher rights, hak cipta dalam produksi lagu. Hak cipta lagu saat lagu tersebut dinyanyikan ulang atau cover menjadi tanggung jawab publisher.
Pada pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 menyebutkan layanan publik komersial wajib membayar royalti. Meliputi seminar dan konferensi komersial, nada tunggu telepon, konser musik. Termasuk restoran kafe, bar, bistro, kelab malam, usaha karaoke, diskotek, hotel, bank, kantor, pertokoan.
“Juga pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut. Pameran, bazar, bioskop, pusat rekreasi. Juga lembaga penyiaran televisi, lembaga penyiaran radio,” kata Agus.