
Terakota.id—“Aksionov tak pernah menerima surat dari rumah. Ia tak tahu, apakah keluarganya masih hidup. Pada suatu hari, ada orang-orang baru di penjara. Di waktu senja, orang-orang baru itu dikelilingi oleh orang-orang lama, menanyakan dari mana asalnya dan apa sebabnya dihukum. Pada waktu itu Aksionov duduk-duduk dekat orang-orang baru, mendengarkan yang mereka ceritakan.”
Paragraf di atas menggambarkan penderitaan batin seorang yang menjalani hukuman di penjara. Derita Aksionov adalah gambaran yang mewakili orang-orang yang mengalami kesepian dan keterasingan jiwa di tengah keramaian dan hiruk pikuknya penjara. Aksionov adalah korban kejamnya fitnah dan rekayasa atas nama nafsu angkara murka. Aksionov dijadikan kambing hitam atas kejahatan yang sama sekali tidak pernah dilakukannya.
Sekalipun kisah tentang Aksionov adalah cerita fiksi, namun peristiwa yang menimpanya banyak dialami oleh manusia dalam kehidupan nyata. Aksionov adalah tokoh utama dalam cerita pendek karya Leo Tolstoy, God Sees the Truth, but Waits. Cerpen ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Atta Verin dengan judul Tuhan Tahu, Tapi Menunggu (Serambi, 2011). Leo Tolstoy berkisah tentang kehidupan Ivan Dimitrich Aksionov di dalam penjara Siberia.
Sebelum berangkat ke kota Nizhmi untuk mengunjungi pasar malam, yang mengantarkannya ke penjara itu, Aksionov telah diingatkan oleh istrinya. Sebelum itu istrinya bermimpi bahwa ketika Aksionov pulang rambutnya telah memutih. Mimpi itu ternyata menjadi kenyataan. Rambutnya yang keriting dan dulu berwarna coklat itu, selama di penjara berangsur-angsur memutih.
Aksionov adalah salah satu contoh ketulusan pengorbanan seorang anak manusia. Sekali pun ia tidak melakukan kesalahan dan juga tidak terlibat dalam pembunuhan, namun ia sadar bahwa hidup di dalam penjara adalah takdir yang harus dijalaninya. Kata-kata istrinya saat pertemuan terakhir di penjara, sebelum ia dipindahkan ke Siberia yang mengingatkan tentang mimpinya, membuat Aksionov tak lagi mengajukan petisi.
Aksionov tidaklah putus asa, namun ia telah berada pada puncak kepasrahan, “Hanya Tuhanlah yang tahu kejadian yang sebenarnya, maka kepada Tuhanlah sepantasnya aku memohon ampun, karena Ialah satu-satunya yang sanggup memberi pertolongan.” Dalam puncak kepasrahan, muncullah keikhlasan yang penuh. Tolstoy ingin mengatakan bahwa pada akhirnya penjara bukanlah siksaan. Sebagaimana Kristus yang menderita di kayu salib, derita Aksionov di dalam penjara adalah sebuah penggenapan dari kehendak Tuhan.
Cerpen ini ditulis pada tahun 1872. Leo Tolstoy hidup antara tahun 1828-1810. God Sees the Truth, but Waits adalah salah satu dari sekian banyak karyanya yang berbicara tentang orang-orang tertindas dan tersisih. Aksionov, dalam cerpen ini, dituduh merampok dan membunuh seorang saudagar di sebuah hotel, padahal orang lainlah yang melakukannya. Pisau yang masih berlumuran darah itu diletakkan oleh pembunuh ke dalam tas milik Aksionov. Aksionov diciduk polisi beberapa saat setelah meninggalkan hotel untuk melanjutkan perjalanan.
Leo Tolstoy dalam banyak karyanya bertutur tentang penderitaan, kesederhanaan, keagungan Tuhan, dan apa yang terbaik untuk umat-Nya. Dalam cerita-cerita rekaannya, Tolstoy bertutur dengan gaya dan alur yang tak biasa. Tidak seperti kisah-kisah religius pada umumnya yang menekankan pada kemenangan atas kejahatan, Tolstoy justru sebaliknya. Ia tak pernah menonjolkan kebenaran menemui kemenangan di dunia. Orang yang tertindas dan yang memertahankan kebenaran berharap akan memeroleh keadilan di akhirat kelak.
Inspirasi tulisan-tulisan Tolstoy jelas penderitaan Yesus. Ia datang untuk menghapus segala macam kekerasan. Bagi Tolstoy, kejahatan harus dilawan dengan cinta. Pemerintah yang mengobarkan perang adalah bentuk penghinaan terhadap kitab suci Perjanjian Baru. Perlawanan tanpa kekerasan, yang kelak akan sangat memengaruhi pemikiran Mahatma Gandhi, adalah inti dalam ajaran Kristen. Tokoh Aksionov mewakili idealisme Tolstoy itu.
Dalam cerita itu, tak disangka Aksionov bertemu dengan pembunuh yang sebenarnya. Setelah melakukan kejahatan lainnya, Makar Semyonich dimasukkan ke dalam penjara yang sama dengan Aksionov. Ketika Makar akan melarikan diri dengan menggali tanah di dekat tembok penjara, hanya Aksionov-lah yang tahu. Makar mengajak Aksionov untuk ikut melarikan diri dengannya, namun Aksionov menolaknya.
“Aku tak akan melarikan diri, dibunuhpun bagiku tak mengapa. Kau telah membunuhku dua puluh enam tahun yang lalu! Aku hanya akan bertindak sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan.” Apa yang dikatakan oleh Aksionov adalah bentuk konsistensi Tolstoy dalam pandangannya tentang kejahatan.
Sebagaimana suratnya yang dikirim kepada Gandhi, Tolstoy mengatakan, “Jangan melawan kejahatan, tetapi jangan pula melibatkan diri dalam kejahatan.” Menurut Robert Ellsberg dalam Gandhi on Christianity, Leo Tolstoy membuat Gandhi tekun menegaskan apa yang disebutnya dengan pesan kebenaran dari Yesus, seperti yang disampaikan Yesus pada khotbah di atas bukit. Pesan terpenting yang didapatkannya dalam hukum cinta kasih adalah penolakan absolut atas tindakan kekerasan dalam segala bentuk.
Aksionov dalam cerpen ini menghembuskan nafas terakhir sebelum kebenaran terungkap. Sekali pun ia tahu siapa pembunuh yang sebenarnya, ia tak pernah mengungkapkan kepada kepala penjara. Ia sebenarnya bisa melakukan itu jika mau. Dengan melaporkan kepada kepala penjara sebenarnya Aksionov bisa puas, karena bisa balas dendam.
Makar Semyonich adalah pembunuh saudagar itu. Di depan kepala penjara yang juga disaksikan oleh Makar, Aksionov tidak pernah mau membuka mulut tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ketidaksangupan Aksionov untuk membalas dendam, membuat Makar merasa bersalah. Makar mengakui semua kesalahannya. Ia mengakui sebagai pembunuh saudagar itu. Makar akan mengakui kesalahannya di hadapan kepala penjara agar Aksionov dibebaskan.
“Kau telah melindungiku walaupun kau telah kujerumuskan. Kau tak mengatakan bahwa akulah yang menggali lubang itu. Demi Tuhan, maafkanlah aku!” Begitulah Makar meronta-ronta dan menangis memohon maaf kepada Aksionov. Ketika Aksionov mengatakan bahwa Tuhan akan memaafkan Makar, pada saat itulah Makar merasakan kedamaian di dalam jiwanya. Ia tak ada lagi keinginan meninggalkan penjara. Ia termenung.
Sebelum dibebaskan, Aksionov telah hijrah dari kefanaan menuju kepada kekekalan. Dalam diri Aksianov, Tolstoy ingin menggiring pembaca untuk sejenak mengenang kembali perjalanan Yesus. Tuhan telah mengangkatnya ke tempat yang lebih mulia. Dalam perjalanan panjang itu, di jalan ada orang-orang sepeti Makar, dan bahkan juga hamba yang teramat lemah ini, sebagai domba yang tersesat.
Di atas semua dosa yang telah dijalaninya, Makar telah menemukan kemanusiaannya yang sejati. Hanya atas inisiatif-Nya, kita bisa mencapai kemuliaan yang diinginkannya, sebab hakikat manusia pada dasarnya adalah suci. Oleh karenanya sudah selayaknya tiap orang yang telah mematuhi kehendak-Nya akan kembali menjadi suci.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)