Tentang Pengeyel, dari Keledai Aesop hingga Covidiot

Fables Fountani-. (Sumber: simonand schuster.com).
Iklan terakota

Terakota.id–Dulu sekali, sekitar tahun 1970-an, saya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar di Mangliawan, di Kecamatan Pakis, Malang. Saat itu, nama Mangliawan tidaklah terlalu terkenal. Orang-orang lebih sering menyebutnya Mendit  [Wendit], dengan pemandian alamnya dan tentu saja saudara kita : nyemot!

Di SD Mangliawan itu ada seorang guru bahasa [ maaf, saya lupa namanya ] yang rajin sekali mendongeng tentang binatang alias fabel. Suatu hari Bu Guru itu bercerita: di jalan setapak di atas jurang menganga, lewatlah seekor keledai yang dituntun pemiliknya. Tatkala si keledai melihat ada jalan di dasar jurang, terpikirkan olehnya untuk ambil jalan pintas agar cepat sampai ke jalan di dasar jurang itu. Keledai pun mulai melawan arahan pemiliknya. Binatang itu tak mau lagi dituntun. Ia pilih jalan sendiri yakni dengan cara menuruni jurang itu.

Keledai ancang-ancang dan bermaksud meloncat ke dasar jurang. Sang pemilik terkejut, segera ditangkap buntut keledai sambil ditarik ke atas. Keledai memang keras kepala. Ia meronta-ronta dengan kerasnya tetap ingin meloncat ke dasar jurang. Hal itu membuat sang pemilik kuwalahan. Akhirnya, pegangannya dilepas, sembari mengumpat, “Wis karepmu, lek ngeyel pengen loncat,” kata sang pemilik, tetapi sudah diadaptasi Bu Guru saya tadi. Artinya, “Terserah kamu, kalau keras kepala ingin loncat”. Loncatlah si keledai. Tentu saja tubuhnya sempat berbenturan dengan dinding jurang. Babras, dan bisa dibayangkan apa jadinya saat terhampar di dasar jurang.

“Ayo anak-anak, bagaimana nasib si keledai?,” tanya Bu Guru.

“Mati Bu…,” seingat saya yang menjawab adalah Iwuk, anak Pak Camat, yang sering dilirik-lirik murid lelaki.

Ancene ngeyel Bu, yo matek [memang keras kepala, ya mati], ” celetuk Wahyudi, teman asal Bugis. Sepuluh tahun lalu dia sudah jadi juragan genteng, entahlah sekarang bagaimana kabarnya.

Saya senang sekali kalau Bu Guru itu bercerita tentang binatang. Terkesan akan kaya perbendaharaan cerita. Waktu itu saya berpikir, pintar juga bikin dongeng. Belakangan saya baru tahu, Bu Guru ternyata baca buku fabel dari penulis-penulis terkenal. Mungkin Bu Guru baca tulisannya Aesop (620-564 SM). Ini pencerita yang diperkirakan lahir pada 620 SM di Trakia, sebuah wilayah di pulau Samos yang masuk dalam kerajaan Yunani. Ketika dewasa, Aesop menjadi budak dari dua tuan: Xanthus dan Iadmon yang kemudian membebaskan Aesop untuk beberapa alasan yang tidak diketahui.  Gara-gara fabel Aesop, masyarakat Yunani kuno percaya, keledai merupakan binatang yang keras kepala dan bodoh.

Aesop. (Sumber: pngegg.com).

Mungkin juga yang dibaca Bu Guru sudah banyak modifikasi di sana-sini, mengingat banyak juga yang menerbitkan fabel. Semisal Jean de La Fontaine ( 1621-1694 ) menerbitkan Fables berjilid-jilid.  Moralis Prancis itu mengaku mengadaptasi karya Aesop yang disesuaikan kondisi Prancis saat itu.

Beda Fontaine dan Aesop adalah penggambaran tokoh keledai. Fontaine lebih sering menggambarkan keledai yang didiskriminasi pemiliknya. Aesop menggambarkan keledai yang keras kepala, bebal dan dungu.

“Itu kesalahpahaman,” komentar Ben Hart, pakar keledai, seperti dikutip dailymail.co.uk, belum lama ini. Ia mau menyatakan salah besar jika orang Yunani menganggap keledai keras kepala dan bodoh adalah kesalahpahaman. Ia menyebutkan, ‘sejarah evolusi keledai dan bagal’ telah menuntun kepada perilaku yang disalahpahami dan memberi kontribusi pada reputasi binatang dari keluarga kuda tersebut, menjadi binatang bodoh dan keras kepala.

Meski dikoreksi para pakar, keledai tetap saja digambarkan keras kepala. Maka dari itu orang-orang keras kepala, atau istilah teman saya tadi: ngeyel, selalu bikin cerita kapanpun dan di suasana apapun, dan umumnya “agak-agak dungu”.

Kedunguan ini ada pada kisah Harry Randall Truman, warga Amerika Serikat paling keras kepala di jagad ini. Betapa tidak, kisah dimulai saat Gunung Berapi St. Helens mulai memperlihatkan gejala hendak erupsi. Seluruh warga diperingatkan dan segera dievakuasi. Namun Harry ngeyel tak mau menyelamatkan diri. “Gunung itu tidak akan mencelakakan saya,” ujarnya saat itu. Alasannya jarak rumahnya dan gunung terhitung jauh. Enggan mengevakuasi diri menyebabkan dia akhirnya tewas setelah lava dan awan panas menerjang rumahnya. Jenazahnya dalam kondisi mengenaskan dan gosong karena serangan gunung panasnya hingga 1.000 derajat celcius itu.

Di masa pandemi Covid 19 ada juga para pengeyel yang diistilahkan covidiot. Mereka ini berperilaku “menentang” anjuran pemerintah. Maka dari itu covidiot juga menggambarkan mereka yang bebal, sukar mengerti, tidak cepat menanggapi, atau acuh tak acuh terhadap arahan pihak berwenang dalam menghadapi krisis covid-19.  Dalam hal PPKM Darurat, yang kemudian dimodifikasi menjadi PKM Level 4, orang ngeyel itu bisa diketahui dari keengganan pakai masker, apalagi pakai masker dobel. Mereka juga masih cuek saja berkerumun. Maka dari itulah, orang ngeyel itu acap disamakan bebal.

Dulu, filsuf Plato pernah bilang orang-orang bebal itu karena pengetahuan mereka kurang. Orang tetap ngeyel untuk berbuat buruk karena dia tak paham secara mendalam tentang kebaikan. Walau dikasih tahu tentang kebaikan  memakai masker, tetap saja sering mencopot maskernya karena  informasi belum menjadi pengetahuan yang mendalam baginya. Akibatnya, kesalahannya berulang, berulang dan berulang lagi. Dasar bebal!

Namun begitu para pengeyel itu bisa lahir karena lingkungan. Misalkan saja, pertama, pengeyel lahir dari sikap “kesombongan relijius”. Mereka yakin paham keagamaannya sehingga menentang kebijakan yang tak sepaham. Kedua, menganggap rendah legitimasi pemerintah. Hal paling berpengaruh terhadap legitimasi itu adalah kebijakan yang kerap ganti-ganti. Gara-gara PPKM Darurat diubah istilahnya menjadi PPKM Level 4, membuat legitimasi itu anjlok. Ketiga, ketidakseragaman kebijakan para pejabat membuat rakyat jengah  dan kemudian menentang alias ngeyel tadi.

Walau begitu, orang ngeyel tak boleh dibiarkan. Tak boleh ada pembiaran. Petaka lagi karena jika penyimpangan prokes dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan. Celakanya karena dianggap kebiasaan, maka mereka menilainya bukan sebagai kesalahan.

Jadi? Orang ngeyel harus dilawan. Salah satunya dilawan dengan “keberanian sipil”. Masyarakat diharapkan  menerapkan keberanian sipil itu untuk memecahkan masalah dengan bertindak. Bentuk tindakan itu antara lain berani menegur ketika melihat kesalahan, atau melaporkannya kepada pihak yang berwajib.

Bilamana perlawanan dengan keberanian sipil tak berhasil, pada akhirnya kembali kepada otoritas negara. Sebab, negara lah yang punya kewenangan menindak orang-orang ngeyel yang menyalahi aturan. Tetapi tindakan sanksi bukanlah solusi bagus. Sanksi menunjukkan ketidakdewasaan  masyarakat.

Jika masih ngeyel? Yo wis lah, biarkan saja terjun ke jurang seperti keledai Aesop dengan kedunguannya.  “Dalam menghadapi rintangan yang tidak mungkin diatasi, sikap keras kepala itu bodoh,” kata feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir. (*)