
Terakota.id–Beberapa waktu yang lalu, sejumlah penghuni rumah kos di dekat tempat tinggal saya merasa resah karena beberapa di antaranya kehilangan pakaian dalam. Semula dengan setengah berkelakar saya berpikir bahwa jika pakaian dalam saja sudah tidak aman, apalagi barang lain yang harganya lebih tinggi. Namun anehnya, sang pencuri justru tidak mengambil harta benda lain selain pakaian dalam.
Sebagai orang yang awam dalam dunia kriminal, saya tidak berani berspekulasi siapa yang menjadi pelaku tindakan tidak lazim tersebut. Namun demikian, setelah berkelana di dunia maya, saya cukup tercengang, ternyata fenomena kehilangan pakaian dalam sedang marak terjadi di mana-mana, sekalipun berita ini belum bisa menandingi berita tentang tindak pidana korupsi. Beberapa pelaku pencurian pakaian dalam berhasil ditangkap warga dan aparat keamanan. Motifnya bukan ekonomi, tetapi pelakunya mengalami gangguan fetisisme. Bagi mereka benda-benda tersebut merupakan sarana untuk meningkatkan gairah seksualnya.
Di samping celana dalam, salah satu incaran para pencuri pakaian dalam tersebut adalah kutang. Mendengar kata “kutang” pasti asosiasi pikiran kita pada payudara. Ya, kutang memang salah satu jenis pakaian perempuan yang fungsi utamanya sebagai penyangga payudara. Kutang disebut juga dengan bra, sebuah bentuk singkat kata Perancis brassiere. Di Indonesia kutang lebih populer dengan nama BH, yang merupakan singkatan dari bahasa Belanda buste houder (wadah penyangga payudara).
Saat ini mungkin hanya kutanglah jenis pakaian perempuan yang paling lambat mengalami perubahan mode. Hampir dipastikan bentuknya selalu bulat, mengikuti bentuk payudara, sehingga jarang dijumpai kutang yang berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar. Jika pun ada pasti hanya dapat dijumpai pada ajang kontes pakaian dalam. Sekali pun demikian, dalam sejarah, kutang pada awalnya adalah kain dalam bentuk persegi panjang yang dilekatkan di dada menyerupai sabuk. Ini bisa dilihat dari lukisan dinding dalam peradaban Minoan di Yunani sekitar 3000 tahun sebelum Masehi.
Ketika ada sebagian masyarakat Indonesia yang turut larut dalam sentimen anti produk Perancis, kata “kutang” sempat populer di media masa maupun media sosial. Konon, kata kutang berasal dari bahasa Perancis coutant yang artinya “berharga”. Pendapat yang bersumber dari novel karya Remy Sylado yang berjudul Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (Tiga Serangkai, 2007) ini dijadikan bahan kelakar oleh mereka yang menolak gerakan anti produk Perancis. Menurut mereka, kita sangat berutang budi pada Perancis, setidaknya kita diberi pinjaman kata kutang.
Namun demikian, cerita Remy Sylado tentang seorang bangsawan keturunan Perancis yang memberikan selembar kain kepada perempuan Jawa yang bertelanjang dada dengan mengatakan coutant! (berharga!), yang kelak orang Jawa melafalkannya sebagai kutang disangsikan kebenarannya oleh banyak pihak. Sekali pun novel ini adalah novel sejarah, namun demikian penulisnya bukanlah sejarawan.
Menguatnya gerakan feminisme di seluruh belahan dunia menjadikan kutang sebagai salah satu simbol perlawanan perempuan. Demonstrasi membakar bendera barangkali merupakan pemandangan yang tak begitu aneh yang kita lihat di layar televisi. Motivasinya macam-macam, bisa karena memrotes kebijakan pemerintah tersebut atau karena konflik rasial dan kebangsaan. Di Indonesia, demonstrasi dengan cara membakar bendera, bisa berbuntut panjang. Tidak hanya terhadap bendera negara, namun juga terhadap bendera sebuah organisasi.
Lain halnya demonstrasi dengan cara membakar kutang atau bra, barangkali tidak akan pernah ada orang yang merasa keberatan. Sampai saat ini belum ada satu pun negara di dunia ini yang menerapkan undang-undang untuk perlindungan buat kehormatan selembar kutang.
Unjuk rasa memang bisa dilakukan dengan pelbagai cara. Ada orang yang mengungkapkan kritik dengan cara memasang poster, ada pula yang memakai cara dengan melakukan orasi. Ada pula demonstrasi yang mengarah pada tindak kekerasan dan merusak fasilitas umum. Hampir semua demonstrasi tidak lepas dari simbol-simbol.
Di Indonesia protes dengan cara menggunakan kutang sebagai simbol bukanlah cara yang lazim, sehingga ketika WS Rendra menulis sajak “Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta” publik menilai sebagai sesuatu yang baru, apalagi Rendra dikenal sebagai penulis yang kaya akan simbol dan metafora. Rendra mengajak para pelacur kota Jakarta untuk mengibarkan kutang sebagai wujud protes kesewenang-wenangan penguasa.
Saudari-saudariku. Bersatulah.
Ambillah galah.
Kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya.
Araklah keliling kota
sebagai panji-panji yang telah mereka nodai
Kini giliranmu menuntut.
Katakanlah pada mereka;
menganjurkan mengganyang pelacuran
tanpa menganjurkan
mengawini para bekas pelacur
adalah omong kosong.
“Bersatullah pelacur-pelacur Kota Jakarta” diterbitkan bersama sajak-sajak Rendra lainnya dalam kumpulan puisi yang berjudul Blues untuk Bonnie (Pustaka Jaya, 1971). Sebagian besar sajak-sajak dalam kumpulan puisi ini ditulis Rendra ketika masih bermukim di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, tahun 1960-an adalah era dimulainya gerakan feminisme gelombang kedua, yang mengusung tema sentral kebebasan perempuan.
Pada 7 September 1968 sekitar 100 perempuan melakukan unjuk rasa di Atlantic City. Mereka menanggalkan kutang dan melemparkan ke dalam tong sampah. Kepada BBC News (6/9/2020), seraya mengenang peristiwa 50 tahun silam, salah seorang penyelenggara, Ms Morgan mengatakan bahwa idenya adalah untuk secara simbolis membuang barang-barang yang menindas perempuan. Orang yang lewat diundang untuk bergabung. Namun yang melekat dalam kesadaran publik tentang protes tersebut adalah citra “feminis pembakar kutang” – sesuatu yang secara paradoks tidak pernah benar-benar terjadi.
Jauh sebelum ada gerakan feminisme, – yang menurut Joann Wolski Conn dimaknai sebagai seperangkat ide yang tertata dan sekaligus suatu rencana aksi yang praktis, yang berakar dalam kesadaran kritis kaum perempuan tentang bagaimana suatu kebudayaan yang dikendalikan arti dan tindakannya oleh kaum laki-laki demi keuntungan mereka sendiri, – ribuan tahun yang lalu Nabi Yesaya menulis:
Gentarlah, hai perempuan-perempuan yang hidup aman, gemetarlah, hai perempuan-perempuan yang hidup tenteram, tanggalkanlah dan bukalah pakaianmu, kenakanlah kain kabung pada pinggangmu! Ratapilah ladangmu yang permai, dan pohon anggurmu yang selalu berbuah lebat (Yesaya 32:11-12).
Ayat yang berbunyi Ratapilah ladangmu yang permai, dan pohon anggurmu yang selalu berbuah lebat, dalam Alkitab KJV (King James Version) tertulis: They shall lament for the teats, for the pleasant fields, for the fruitful vine (Mereka akan meratapi puting susunya, untuk ladang yang menyenangkan, untuk tanaman anggur yang subur).Nabi Yesaya menyajikan payudara sebagai simbol ladang kesuburan, penopang kehidupan. Dalam pelbagai budaya perempuan adalah simbol kesuburan, yang dalam artefak-artefak di Nusantara dilambangkan dalam bentuk yoni. Dalam Perjanjian Lama, melepaskan pakaian dan bahkan juga mengoyaknya adalah tindakan yang menunjukkan ekspresi kesedihan yang mendalam, sebuah ungkapan keputusasaan, sekaligus ungkapan penyesalan atas dosa yang telah diperbuat.

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Pengurus Perkumpulan Cendekiawan Bahasa dan Sastra (Cebastra)