Saat Maut Batal Menjemput ilustrasi Radhar Panca Dahana/Kompas
Iklan terakota

Terakota.id“Tapi kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka pun mati? Apa artinya sesungguhnya sakit ini adalah mati yang sejati?” Kalimat-kalimat itu mengalir dalam cerpen Saat Maut Batal Menjemput karya Radhar Panca Dahana. Beberapa bulan ini saya memang gemar dan lebih intensif membaca literatur tentang kematian, baik dari karya sastra, buku-buku filsafat, psikologi maupun teologi. Suasana kebatinan yang saya rasakan akhir-akhir ini sangat memengaruhi aktivitas saya. Satu per satu sahabat, kerabat, dan tetangga dekat berpulang ke Rahmatullah. Semua begitu cepat berlalu di depan mata. Saya merasakan waktu makin pendek, hidup ini terlampau singkat.

Kematian memang hal yang lumrah. Kematian adalah takdir Tuhan. Namun rasanya pandemi ini semakin mempercepat takdir itu. Ketika mendengar dan membaca tentang kematian, saya merasakan bahwa kematian itu serasa di depan saya juga. Kadang merinding, kadang takut, tapi lebih membuat lebih banyak bersyukur bahwa hari ini saya masih bisa membaca tentang kematian dan berupaya untuk mempersiapkan sebaik mungkin sampai kelak peristiwa itu mendatangi saya juga.

Ketika hari ini saya menemukan cerpen yang saya kutip di atas, tiba-tiba saya jadi sadar kembali bahwa penulisnya telah tiada. Jumat esok, 30 Juli 2021, Radhar genap 100 hari kembali kepada Yang Maha Abadi. Radhar Panca Dahana tutup usia pada 22 April 2021 pasca menjalani cuci darah. Bertahun-tahun ia bergulat melawan penyakitnya. Ia menderita gagal ginjal kronis, dan akhirnya takdir pun menjemputnya.

Cerpen tentang kematian itu ditulisnya empat tahun sebelum meninggal. Terbit di Kompas, 12 Maret 2017 dan dihadirkan kembali dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2017. Radhar mengemas cerita tentang kematian melalui mimpi yang dialami oleh tokoh aku. Cerita yang awalnya penuh dengan nuansa pengalaman spiritual itu diakhiri dengan guyonan khas Radhar, yang membawa pembacanya yang semula menatap huruf-huruf itu dengan serius, mendadak di akhir cerita tertawa geli. Siapa yang tak pernah bermimpi? Mimpi dengan disertai igauan pasti dialami oleh siapa pun. Radhar mengajak pembacanya untuk turut menertawakan diri sendiri.

Radhar berkisah tentang proses kematian yang sangat indah. Sebuah kenikmatan sekaligus puncak dari segala kesakitan ketika kematian itu menjemput. “Aku seperti noktah dengan gravitasi terbesar yang segera akan menciptakan bang, semacam ledakan yang sangat hebat. Seperti ereksi yang tak mungkin ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun. Beginikah kematian, puncak semua kesakitan, melenyapkan keseluruhan diri dengan ledakan besar untuk mengisi kosong yang penuh ini?” Setelah membaca cerpen Radhar, saya malah membayangkan proses kematian itu seperti orang makan sambal: pedas, panas di lidah, tapi nikmat. Kenikmatan di atas kesakitan.

Selain aku, Radhar mengadirkan tokoh Eva, pasangan Adam di Surga. Semula tokoh aku merasa melakukan dialog panjang dengan dirinya sendiri, namun kemudian ternyata muncul wajah yang tersenyum, senyuman yang menurut tokoh aku itu adalam senyuman yang ironik dan mengejek. Wajah itu adalah seorang perempuan, Eva. Tokoh Eva dalam cerpen ini adalah sosok perempuan yang menjadi impian semua laki-laki sejak masa purba.

Komik Mat Jagung (Si Jaksa Nanggung Pemberangus Korupsi). Cerita: Radhar Panca Dahana. (Ilustrasi : Diyan Bijac).

Dalam dialog itu, tokoh aku diajak untuk menyelami hakikat semesta tidak hanya dengan akal. Segala tafsiran menurut akal selamanya akan tetap dangkal. Semua realitas dan hakikat tak selamanya dapat dipahami oleh indera yang sangat terbatas.  “Huruf terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang sebenarnya. Bagi kenyataan yang terlalu besar untuk tertangkap dan dicerna indera.” Kekuasaan Allah tidak cukup hanya dipahami melalui teks-teks, yang terdiri dari huruf-huruf. Teks-teks itu bisa paparan ilmu pengetahuan ilmiah, atau bahkan teks-teks yang dianggap suci oleh komunitasnya.

Memahami keagungan Tuhan dan melaksanakan kehendak-Nya dalam perspektif Radhar Panca Dahana adalah dengan cara menggali jati diri kita, yang bisa ditemukan di kedalaman jiwa kita, serta manifestasinya dalam gerak langkah tubuh kita. Kelak tubuh kita pula yang akan bersaksi tentang apa yang telah kita perbuat. Kerajaan Allah itu lebih luas dari sekadar yang digambarkan oleh teks-teks suci masing-masing. “Tubuhmu terlalu hebat hanya untuk diperintah, diakali akal. Keluarlah dari huruf. Temui kenyataan dan hidupmu sebenarnya, dengan seluruh yang ada dalam dirimu. Dapatkanlah ilmu dalam jiwamu, dalam batinmu, dalam betismu, dalam jakunmu, gigimu, dalam langkahmu.” Teks-teks itu bila dipahami dan ditafsirkan melulu dengan akal saja, akan membawa pembacanya dalam ruang yang sempit.

Gereja Katolik pun percaya bahwa terdapat keselamatan di luar gereja, setidaknya ini termuat dalam Konsili Vatikan II. Dalam salah satu poinnya disebutkan, sebagaimana dikutip  Majalah Hidup Katolik (hidupkatolik.com), “Jadi kepada kesatuan Katolik Umat Allah itulah, yang melambangkan dan memajukan perdamaian semesta, semua orang dipanggil. Mereka termasuk kesatuan itu atau terarahkan kepadanya dengan aneka cara, baik kaum beriman Katolik, umat lainnya yang beriman kepada Kristus, maupun semua orang tanpa kecuali, yang karena rahmat Allah dipanggil kepada keselamatan.”

Nyaris semua kitab suci tidak pernah menyatakan bahwa syarat untuk mamperoleh keselamatan itu berbasis pada komunitas agama tertentu. Nabi Yesaya membuat kriteria mereka yang akan memperoleh terang seperti fajar adalah mereka yang berdarma bakti bagi sesamanya. Dalam Yesaya 58:7-8 disebutkan bahwa “Supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera; kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu.”

Kitab suci umat Islam secara eksplisit menjamin keselamatan bagi semua orang yang dengan tekun melaksanakan darma bakti. Mereka itu tidak terbatas hanya pemeluk Islam, namun umat-umat lain memiliki hak untuk mendapatkan keselamatan itu pula. Di dalam Quran 2:62 disebutkan, Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Jika Quran hanya menyebut Yahudi, Nasrani dan Sabi’in, bukan berarti umat-umat di luar itu tidak mendapatkan keselamatan. Frasa siapa saja dalam ayat tersebut membuka peluang seluas-luasnya kepada seluruh makhluk semesta. Quran turun di Timur Tengah. Tanpa mengurangi universalitas nilai-nilai yang dikandungnya, Quran ditulis dalam konteks budaya Timur Tengah juga. Tiga agama yang disebut itu adalah agama-agama yang lahir di Timur Tengah, di mana Islam lahir dalam konteks dan dilatarbelakangi oleh agama-agama tersebut.

Dalam cerpennya, Radhar memang juga menyebutkan tentang agama. Dalam salah satu dialog, tokoh aku ditanya, “Apakah kamu beragama?” Pertanyaan itu tidak hendak diungkapkan seberapa tokoh aku meyakini dan menjalani ritual keagamaannya, namun lebih pada pemahaman yang tidak hanya melulu menuntut peran akal, sebab “seluas apa pun akal dam imajinasi, ia hanya sungai di samudera hidup sesunggunya.”

Seperti saya sampaikan di awal tulisan ini, Radhar membawa pembaca untuk tertawa geli di akhir cerita. Apa yang dialami oleh tokoh aku adalah mimpi. Mimpi di Surga bersama Eva. Saat tokoh aku menyebut nama Eva dalam igauannya, melayanglah tamparan sang istri ke pipi tokoh aku. Aku dianggap memiliki perempuan simpanan bernama Eva, dan hadir dalam mimpinya.

100 hari sudah Radhar Panca Dahana tidak bermimpi lagi, namun dia selalu tersenyum bahagia dalam alam yang telah diselami dengan jiwanya. Ia telah mengalami apa yang telah dicapai oleh tokoh aku, Aku merasa seperti mendapatkan bantalan tidur yang tidak memberi sedikit pun rasa ingin bangun. Aku henyak, seperti duduk di pelaminan Adam.