Terakota.id-–Akibat desakan publik yang bertubi-tubi, akhirnya presiden Joko Widodo (Jokowi) merombak kabinet Indonesia Maju. Sebenarnya perombakan ini sudah agak terlambat. Presiden tidak segera mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan masyarakat dengan segera. Soal penanganan pandemi covid-19 contohnya. Sampai terjadi korban yang terus meningkat, virus belum bisa ditekan, sementara ekonomi semakin buruk.
Hasil resuffle kabinet 22 Desember 2020 memunculkan nama Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial, Sandiaga Salahudin Uno menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Budi Gunadi Sadikin menjabat Menteri Kesehatan, Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama, M. Lutfi dipercaya sebagai Menteri Perdagangan, dan Wahyu Sakti Trenggono menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Tentu presiden punya pertimbangan tertentu kenapa mereka yang dipilih. Itu hak prerogatif presiden. Hanya dia dan lingkar kekuasannya yang tahu. Perombakan ini tentu membawa harapan baru. Tetapi kita jangan terburu-buru gembira karena masih menunggu langkah konkrit selanjutnya.
Sama dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember 2020. Kita jangan percaya dulu bahwa kepala daerah yang terpilih membawa harapan baru dan memihak kepentingan rakyatnya. Kenapa ini perlu saya sampaikan? Jangan sampai kita “bunuh diri” kecewa gara-gara harapan pada kepala daerah tidak sebagaimana yang kita bayangkan. Sama dengan perombakan kabinet.
Kekuasaan: Mengumpul, Konstan, Tak Terbagi
Apa yang menarik dari perombakan kabinet ini? Yang menarik tentu masuknya Sandiaga Saladudin Uno (Sandi) sebagai menteri. Kita juga tahu bahwa Sandi (bersama Prabowo Subianto) dulu menjadi lawan sengit pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Prabowo-Sandi pasangan penantang petahana. Meskipun kalah, toh akhirnya dia dipilih menjadi menteri menyusul Prabowo (Menteri Pertahanan) yang sudah sejak awal pembentukan kabinet (2019).
Pilpres yang menelan banyak korban karena peserteruan Cebong-Kampret ternyata punya ending dengan bergabungnya Prabowo-Sandi. Korban yang sangat terasa adalah sampah persaingan politik akibat Pilpres yang menajam sampai sekarang. Mungkin Jokowi mau memangkas residu Pilpres dengan memasukkan rival Pilpres ke dalam “gerbongnya”. Tetapi itu tidak ada jaminan. Karena kebencian satu sama lain seolah sudah berurat dan berakar sampai mendarah daging.
Apa yang bisa kita petik dari itu semua? Mengapa dengan mudahnya seteru Jokowi-Ma’ruf bergabung ke dalam pemerintahan? Tentu saja ini keputusan Jokowi dan lingkar politik yang mengitarinya.
Sebagai orang Jawa ia mementingkan keharmonisan, keselasaran, keseimbangan dan menghindari konflik. Niat ini tentu bagus. Masalahnya dalam negara demokrasi hal demikian tidak menjadi banyak relevan. Demokrasi mensyaratkan dan memelihara keseimbangan dan heterogenitas.
Kurang apa zaman Orde Baru (Orba)-nya pak Harto? Hampir sama bukan? Karena demokrasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya sering tidak memberikan tempat pada keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan jika keadilan tidak tercapai. Di sinilah persoalannya. Ini tak bermaksud mengatakan bahwa pemerintah Jokowi tidak bisa menciptakan keadilan. Bukan itu. Namun, jika keadilan sudah tercapai maka protes dan rasa tidak puas masyarakat tentu tidak akan terus-terusan muncul.
Lalu, mereka yang selama ini ngotot membela kubu Jokowi dan Prabowo bisa apa? Padahal para pembelanya sudah berdarah-darah dari masing-masing pendukung kubu tersebut. Jika pada akhirnya kedua kubu itu bersatu dalam pemerintahan mereka bisa apa sekarang? Ini misalnya. Tak ada, kecuali mereka menyisakan konflik dalam masyarakat sampai sekarang.
Apakah bergabungnya Prabowo dan Sandi ke dalam pemerintah Jokowi itu salah? Tidak juga. Itu hak setiap warga negara, termasuk Sandi dan menteri lainnya. Jokowi juga punya hak memilih mereka. Itu hak prerogatif presiden yang harus dihormati.
Jadi masyarakat tidak usah terlalu memprotes bergabungnya Prabowo dan Sandi di kabinet. Ngapain susah-sudah menghabiskan energi dengan memprotesnya? Mereka berdua saja mau kok mengapa masyarakat menjadi sewot? Bukankah sudah banyak dikatakan dan diberikan informasi, bahwa itu semua hanya “permainan” dalam politik. Selamanya itu politik. Jadi tidak usah terlalu serius membela atau menentang. Semua akan berubah dengan sendirinya saat kebutuhan masing-masing sudah terpenuhi.
Politik itu kan salah satu cara untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Jadi mereka yang menjadi politisi atau sejumlah elite politik tujuannya apalagi kalau bukan soal kekuasaan. Jika kekuasaan itu sudah diraih maka mereka akan diam. Jangan heran jika ada yang mau merebut kekuasaan, mereka akan membela habis-habisan. Yang satunya berusaha merebut, satu yang lainnya berusaha mempertahankan kekuasaan. Ini realitas politik di Indonesia.
Kita jadi diingatkan pada model kepolitian Orba. Kekuasaan era Orba itu tidak terbagi-bagi, mengumpul dan konstan. Jadi jika ada pihak-pihak tertentu yang mencoba akan mengurangi kekuasaan atau bahkan merebutnya, kekuasaaan itu akan dicengkeram lebih erat. Dengan berbagai cara dilakukan agar kekuasaan itu tidak berkurang, kalau perlu bertambah.
Teror, ancaman ketakutan, memakai alat-alat negara, uang, aparat negara nyaris menjadi pemandangan kita saat Orba. Bagi yang tidak pernah hidup era Orba ada baiknya belajar sejarah. Ini akan membuat seseorang terbuka cakrawalanya untuk bisa dijadikan pelajaran saat ini.
Apakah pemerintahan sekarang mirip dengan Orba? Saya tidak dalam kapasitas menjawab. Namun bisa diilustrasikan dalam pertanyaan-pertanyaan. Apakah seseorang menjadi takut saat protes kebijakan pemerintah sekarang? Apakah pemerintah “berjalan sendiri” dengan memandang sebelah mata masukan atau kritikan masyarakat? Apakah kekuasaan negara sedemikian kuasa vis a vis kekuatan rakyatnya? Apakah keadilan sudah diwujudkan dalam segala bentuknya? Silakan dijawab sendiri.
Siapa Menang?
Ada pelajaran penting yang bisa didapat. Para polisiti dan sebagian elite politik itu telah menjadikan kekuasaan sebagai “agama”. Setelah sebelumnya uang dijadikan “agama”, saat ini kekuasaan sudah dijadikan “agama” pula. Atau jangan-jangan uang dan kekuasaan ini “setali tiga uang” yang sudah tumbuh menjadi “agama baru”?
Yang jelas, saat ini kelompok yang terus bergembira adalah kaum oligarki. Kelompok ini masih menang dalam kalkulasi politik. Hampir semua presiden di Indonesia terkait dengan kepentingan oligarki, kecuali Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hal demikian pernah disinggung oleh Indonesianist bernama Jeffrey A. Winter bahwa “Gus Dur tidak diangkat oleh oligarki dan tidak mementingkan agenda oligarki”.
Pernyataan dalam tulisan ini bukan sikap pesimistis, tetapi mencoba melihat kenyataan yang ada dengan mengaca dari sejarah dan adanya harapan besar yang lebih baik pada pemerintah mendatang setelah perombakan kabinet. Beberapa pernyataan yang bernada kritik itu harus dipahami dan dimaknai sebagai salah satu usaha agar kita lebih berhati-hati jangan sampai terjerembab untuk ke sekian kali. Keledai saja tak mau terantuk kedua kali, bukan?
Kita tinggal menunggu, dengan kekuasaan tanpa kontrol secara efektif saat ini semoga bisa menjadikan Indonesa lebih maju. Jika tidak, sejarah luka akan terus terbuka lebar dan kepercayaan atas kepemimpinan yang “membungkam” kelompok berbeda tetap tercatat dalam sejarah.