
Oleh : M. Dwi Cahyono*
Terakota.id-Masing-masing lapis jaman menghadirkan citra perempuannya sendiri-sendiri. Untuk masa Hindu-Buddha misalnya, citra wanita Jawa Kuna antara lain tergambar di dalam diri dua tokoh perempuan yang dikisahkan oleh Adiparwa (parwa perdana dari Wiracarita Mahabharatta), yakni Dewi Winara dan Dewi Kadru. Terhadap citra dirinya, telisik bisa dilakukan terhadap bagaimana keduanya mengelola telur (tlu) yang tengah ‘dierami’, yang mereka harapkan bakal tetaskan keturunan baginya. Memang, bagi wanita, telur adalah hal yang amat penting. Kepadanya lah keturunan darinya dibergantungkan, sehingga pengelolaan terhadap telur dilaksanakan dengan seksama, karena menjadi penentu bagi keberlanjutan generasinya.
A. Proses dan Makna Penetasan Telur oleh Kadru dan Winata
1. Sinopsis Kisah Penetasan Telur di Antara Dua Orang Wanita
Ganjil kedengarannya. Bagimana bisa dua perempuan mengerami dan menetasi telur. Ya, itulah yang justru menjadi ‘unikum’ Adiparwa dalam menggambarkan proses kelahiran binatang jenis reptil dan unggas dengan perantaraan manusia. Kenapa tidak mengandung dan lantas melahirkan jabang bayi?, sebab keduanya mandul, tak memungkinkan untuk bisa mengandung. Oleh karena itu, terdorong oleh keinginan kuat untuk mendapatkan momongan (keturunan), maka keduanya menghadap suami, yani Bhagawan Kasyapa yang telah berusia tua, untuk diberinya keturunan.
Menghadapi keinginan dan permohonan kedua istrinya yang mandul dan usia dirinya yang telah menua itu, solusinya adalah dengan memberinya telur untuk dierami dan ditetaskan agar mereka kelak memiliki keturunan. Maka, kepadanya ditanyakan berapa butir telur yang dikehandakinya. Bagi Winata, tidak perlu telur dalam jumlah sangat banyak. Meskipun sedikit, yang utama adalah kualitasnya. Oleh karena itu, hanya meminta tiga butir telur. Lain halnya dengan Kadru, baginya keunggulan terletak pada jumlah yang banyak, sehingga dia meminta seratus butir telur. Berapa pun butir telur yang dimintainya, Kasyapa meluluskannya, sembari berpesan ‘telur-telur itu bakal menetas pada watunya (titi wancine netes), yakni hari ke-21’, sebagimana lazim usia tetas telur.
Hari demi hari dilewati oleh Winata dan Kadru dalam pengeraman, disertai dengan angan kuat bahwa mereka bakal memiliki anak keturunan dari telur-telurnya yang menetas kelak. Didorong oleh keinginan yang demikan kuat untuk segera mempunyai keturunan, pada hari ke-7, Winata mengambil sebuah dari tiga telurnya untuk dipecah. Lantaran belum tiba waktu tetas, maka dari dalamnya hanya mengeluarkan ‘kilatan cahaya (thathit)’. Yang ada di dalam telur tersebut barulah ruh, belum terbentuk badan wadagnya. Pada hari ke-2 x 7 (hari ke-14), telur kedua pun diambil, dan kemudian dipecahinya. Kali ini, dari dalam telur itu memang telah terbentuk badan wadag.
Namun, lantaran belum matang usia, maka wadag yang terbentuk barulah separuh tubuh bagian atas. Jabang bayi yang ‘menetas prematur’ lantaran ketidak sabaran ibunya itu pun marah, bahkan meruahkan kutukkan (sapata) kepada Winata. “semoga kelak bunda diperbudak oleh orang lain’. Menyesallah Winata, namun telur telah terlanjur pecah dan tak mungkin untuk diutuhkan kembali. Menyikapi dua kegagalan terdahulu, maka terhadap telor ketiganya ditunggui tiba hari ke-3 x 7 (hari ke-21).
Benarlah kata Bhagawan Kasyapa, tanpa dipecah pun, apabila telah tiba watu untuk menetas, telor bakal pecah dengan sendirinya dan dari dalamnya keluar jabang bayi yang sempurna. Dari dalam telur yang ke-3 ini lahirlah jabang bayi dalam wujud antrophomorfis, yakni manusia setengah burung, yang diberinya nama ‘Garudeya’.
Berbeda dengan Winata, Kadru yang mengerami 100 butir telur dengan sabar menunggu tibanya waktu bagi telur-telunya untuk menetas dengan sendirinya. Benar, tepat di hari ke-21, satu per satu telurnya menetas, melahirkan seratus ekor ular dengan badan wadag yang sempurna lantaran telah matang usia di dalam kandungan telur. Wal hasil, Winata hanya memiliki seorang keturunan (anak tunggal atau ontang-anting) yang lahir lengkap (pepak) – dalam keyakinan masyarakat Jawa, anak antang-anting perlu untuk ‘diruwat’. Sedangkan Kadru memiliki seratus orang anak, yang semua terlahir dengan sempurna. Demikianlah, takdir telah menggariskan keturunan bagi keduanya.
2. Psikologi Kepribadian di Balik Kisah Penetasan Telur
Winata dan Kadru adalah dua perempuan dari seorang suami, yang dalam Bahasa Jawa dinamai ‘maru (madu)’. Adalah hal yang jamak, antar maru terjadi kompetisi. Seorang istri ingin melebih istri lainnya. Kompetisi demikian dalam kisah itu, tidak terkecuali tergambarkan pada keturunan darinya, yakni mempunyai keturunan yang lebih unggul dari keturunan isti lainnya. Bagi Winata, keunggulan itu diposisikan pada mutu, yakni sanak keturunan yang berkualitas. Meskipun tidak banyak, namun berkualitas, sehingga ia hanya meminta tiga butir telor pada suaminya. Lain hal dengan Kadru, banyak anak adalah barometer keunggulan, karena baginya kuantitas merupakan jaminan atas kekuatan diri, sehingga ia meminta serrtus butir telor kepada Kasyapa, yang adalah suami dari keduanya.
Kompetisi juga tergambar pada keinginan untuk memiliki anak lebih awal dari yang lain. Winata yang berkeinginan memiliki anak lebih cepat daripada Kadru, tergoda untuk memecah telor pada hari ke-7 dan ke-14, yang ternyata tak membuahkan keturunan yang sempurna. Inilah yang oleh orang Jawa sekarang disebut ‘nggege mongso’, yakni mensegerakan (ngage-age = nggege) tiba waktu meski belum saatnya, dan yang demikian tak membuahkan kesempurnaan. Berbeda pada telornya yang ke-3, yang menetas sendiri pada batas waktu penetasan (hari ke-21), yang terbukti melahirkan jabang bayi berbentuk manusia setengah burung yang sempurna.
Pada kasus telor ke-2, yang dipecahinya pada hari ke-14, memang di dalam telor tersebut telah terkandung ‘ruh’ dan terbentuk ‘badan wadag’, namun wadag itu belum sempurna, lantaran belum matang dalam usia. Bahkan, pada kasus telor pertama, yang dipecahinya pada hari ke-7, yang terdapat di dalam telur baru ‘ruh’ belaka. Demikianlah, dalam kurun waktu 21 hari, di dalam wiji dadi (telor) berangsur-angsur tercipta ruh yang menghidupi badan wadag makhuk hidup.
Dalam hal ketelatenan, Kadru digambarkan lebih sabar atau tidak keburu nafsu apabila dibandingkan dengan Winata, dimana ia mampu menahan diri menunggu tiba waktu bagi telor-telornya menetas dengan sendirinya pada hari ke-21, dan terbukti melahirkan ular-ular dengan kombinasi ruh-wadag yang sempurna.
Keinginan yang telampau kuat, apabila tanpa kendali, bisa menggelincirkan orang kepada keburu nafsu atau kecerobohan, yang beresiko hadirnya ketidaksempurnaan. Keinginan yang demikian antara lain dipicu oleh persaingan (competition), kecemburuan (jelecy), atau keinginan untuk melebihi pihak lain (superlative), yang apabila tidak bijak dalam mengelolanya justru bisa memblunderkan buah upayanya. Pada dunia perempuan, fenomena psikologis yang demikian tak terelakkan ada dalam dirinya. Terlebih lagi pada dua atau lebih perempuan yang berada di dalam permaduan sebagaimana dicontohkan oleh Winata dan Kadru.
Pada penggalan kisah dalam Adiparwa tersebut, Winata dicitrakan sebagai perempuan yang tidak ambisius dan lebih mengedepankan aspek kualitas daripada kuantitas. Adapun Kadru, dicitrakan sebagai lebih ambisius, mengedapankan aspek kuantitas daripada kualitas. Pengedepanan aspek kuantitas atau sebaliknya kualitas mempunyai alasannya masing-masing, dan itu adalah ‘pilihan’.
Kendati pribadi Winata dicitrakan bersahaja (tidak/kurang ambisius), namun pada sisi lain kurang mempunyai kesabaran atau ketelatenan. Sebaliknya, kendati Kadru dicitrakan ambisius, namun teruji kesabaran atau ketelatenannya untuk menunggu tiba waktu penetasan telurnya. Sebenarnya citra kepribadian demikian adalah fenomena psikologis yang universal – yang ada atau tidak ada di dalam diri siapun, kapanpun dan dimanapun, tak terkecuali pada Winata ataupun Kadru.
Terkandung pesan dalam kisah tersebut adalah bahwa saat mengandung bayi atau mengerami telur adalah ‘kondisi krusial’ dalam kejiwaan perempuan. Oleh karenanya membutuhkan keseksamaan, keuletan, ketelatenan, kesabaran, serta ketenangan jiwa-raga. Kesalahan dalam bertindak, beresiko besar dan panjang, sebab bakal berdampak serius kepada gerasi penerus (keturunan)nya.
Dapatlah difahami kemarahan dari anak yang terlahir dari telur ke-2 yang dipecah oleh Winata pada hari ke-14, yang karena kecerobohan ‘ibunya’ itu, menyebabkan dirinya lahir cacat abadi – digambarkan hanya bertubuh separoh di bagian atas. Oleh karena itu, dibakar oleh amarah besarnya, anak [yang setelah besar nanti menjadi sais kereta Dewa Surya] ini lancarkan kutuk (sapata, samaya) kepada ibunda sendiri (Winata), yakni ‘Winata bakal diperbudak oleh orang lain’, yang dikisahkan sebagai menjadi kenyataan.
Dalam waktu lama Winata diperbudak oleh Kadru. lantaran ‘diliciki’ hingga kalah bertaruh ketika menebak warna bulu kuda Uchaiswara yang menyembul dari dasar samudra susu (ksirarwana) dalam kisah “Samodraman-tana’ atau “Amretamantana’. Pertaruhan/perjudian di antar dua wanita itu menjerumuskan Winata ke dalam belenggu perbudakkan hingga akhirnya berhasil dibebaskan oleh putranya (Garudeya, Sang Garuda) dengan tebusan berupa Tirthamreta.

Sejarawan dan arkeolog. Tinggal di Malang