Penampilan Matirtan di Mata Air Polaman Minggu 20 Maret 2016 (Dyah A. Pitaloka/ Terakota)
Iklan terakota

Terakota.id—Puluhan anak riuh bermain dan berenang di sumber  mata air Watugede, Desa Watugede Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.  Mereka bermain dengan ban ukuran besar, berenang mengelilingi kolam. Keceriaan terlihat di mata mereka, tawa dan senyuman mengembang di bibir mereka.

Kolam ini dipercaya sebagai tempat pemandian Ken Dedes ratusan tahun lalu. Menjadi cagar budaya, sekaligus tempat bermain dan berenang. Air terus mengalir jernih dari sumber mata air purbakala sejak masa Singosari. Namun, air terus memancar menjadi sumber kehidupan warga sekitar.

Sekeliling pemandian seluas 300 meter persegi ini dipenuhi aneka tanaman hias, bunga dan pohon lo (Ficus racemosa). Pohon lo rindang menjadi peneduh kolam, air berkilauan disirami cahaya terik matahari. Pada suatu masa awal Abad 13, Ken Dedes yang konon tubuhnya memancarkan sinar biru sebagai tanda wanita Nareswari kerap mandi di kolam sumber Watugede.

“Dalam kitab pararaton tempat ini disebut sebagai taman Baboji, tempat Ken Dedes dan calon putri lain mandi,” kata Juru Pemelihara pemandian Watugede, Agus Irianto. Ken Arok terpesona dengan Ken Dedes saat mandi di kolam ini. Hingga memperistrinya. Kelak Ken Dedes terpilih sebagai perempuan yang melahirkan keturunan para raja besar di nusantara.

Jejak masa lalu, terekam dalam batu asah dengan goresan kasar berdiameter satu meter. Batu asah tergolek di sudut  pemandian. Agus menyebutkan batu asah digunakan para prajurit pada masa Kerajaan Singosari untuk mengasah pedang. Para prajurit mengasah agar pedang semakin tajam, bersiap untuk menebas leher siapapun yang tertangkap basah mengintip para putri cantik yang tengah mandi di kolam.

Sebanyak 16 jaladwara berbentuk patung wanita berjajar di tepi kolam. Berbagai bagian tubuh arca memancarkan air. Air terus keluar memancar sepanjang tahun, tak pernah surut. Namun, itu hanya ada dalam catatan sejarah. Kini hanya tersisa satu jaladwara berupa arca Dewi Durga tampa kepala berdiri di atas dua kepala kera yang mulurnya mengeluarkan air.

”Ditemukan pertama kali pada pada 1931 oleh pemerintah kolonial Belanda  masih ada 16 jaladwara. Namun setelah dibuka kembali 1970, hanya ada empat arca jaladwara,” ujar Agus. Sedangkan tiga arca lain yang dua di antaranya memancarkan air dari payudara dan pusar, disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto.

Kini, keasrian dan kesegaran air kolam tak hanya terbatas untuk putri raja dan bangsawan. Semua bisa berenang dan mandi di tengah kolam.  Sumber mata air yang berasal dari lereng Gunung Arjuna bisa dinikmati seluruh penduduk desa setempat. Keceriaan bocah-bocah mandi di tengah kolam, di dasar kolam masih asri berlantai pasir dan bebatuan.

Jejak Raja Jayakatwang di Polaman

Tak jauh di Utara Watugede, terdapat sumber Polaman. Dalam teks kitab pararaton dan kidung harsyawijaya sumber Polawan menjadi lokasi pembuangan Jayakatwang. Sekaligus menjadi inspirasi Raja Kadiri atau Panjalu ini membuat karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman. Menurut warga setempat Polaman berasal dari kata pa-ulam-an dengan kata dasar ulam artinya ikan.

Berbagai jenis ikan berenangan di dalam empat kolam dalam pemandian itu. Ada satu jenis ikan yang dianggap keramat oleh warga setempat, yakni ikan wader. “ Jangan membunuh ikan wader kecil-kecil itu. Ikan wader muncul dari dalam tanah, ikut sumber air. Banyak kejadian buruk bagi siapa saja yang mencelakai ikan wader itu,” kata juru pelihara situs cagar budaya, Azis.

Kolam yang terletak di Dusun Polaman Kelurahan Kalirejo Kecamatan Lawang Kabupaten Malang ini juga meninggalkan mitos. Air kolam tak pernah mengering meski musim kemarau sekalipun. Bagi siapa saja yang tak ada niat buruk, bisa bebas mandi di dalam kolam bersama ikan wader.

Tepat di belakang kolam berdiri sebuah tandon air, tertutup dibangun sejak 1900 oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak itu, air Polaman mengalir ke permukiman warga termasuk di luar Polaman. “Sekarang dikelola PDAM Kabupaten Malang,” kata Azis.

Persinggahan Hayamwuruk Di Sumberawan dan Kdung Biru

Sejumlah permukiman warga di lereng Gunung Arjuna seolah tak pernah kekurangan air. Termasuk saat musim kemarau sekalipun. Di dataran tinggi ini, banyak tersebar kolam mata air yang berasal dari sumber air purba. Dalam kitab negarakertagama tercatat raja Majapahit yang tersohor, Hayamwuruk melakukan perjalanan bernama “Tirta Yatra.” Hayamwuruk singgah di tiga mata air yang dianggap suci, untuk membersihkan diri. Meliputi Kasuranggan atau Sumberawan, Kdung Biru-Sumber Naga dan Bureng atau Wendit.

Ketiga sumber mata air ini masih terus memancarkan air, memberikan kehidupan bagi penduduk sekitar. Air dialirkan ke permukiman, sekolah dan pondok pesantren di lokasi itu. Puluhan warga bergotong royong memasang pipa aliran air. Mereka berjibaku memasang sekaligus mengganti pipa yang sudah usang. “Air terus mengalir, biasanya saat akhir tahun saja debitnya berkurang,” kata warga Dusun Mbiru, Desa Gunung Rejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Kusaeri.

Dalam kitab Negarakertagama menyebut Hayamwuruk menghabiskan waktu sepekan dalam melakukan perjalanan di wilayah tapal kuda di abad ke 13. Hayamwuruk menjelajah mata air dan berbagai candi peninggalan leluhurnya. Jejak perjalanan itu bisa dijumpai di Kdung Biru, lewat kolam yang berlantai batu bata berukuran besar khas Majapahit. Meskipun sebagian besar bangunan merupakan buatan baru.

Air mengucur menyembur keluar dari sejumlah sejumlah pipa yang tertancap di salah satu sisi dinding batuan. Di masa lalu, paralon itu adalah jaladwara bebentuk naga. “ Sehingga mata air ini disebut Sumber Nagan,” kata Arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi, Cahyono.

Selain berada di Kdung Biru, Hayamwuruk juga berkunjung ke Sumberawan di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Saat itu, Sumberawan terkenal dengan nama Taman  Kasuranggan, taman bunga yang indah dikelilingi air yang mengalir langsung dari mata airnya.

Ritual mengambil air di Sumberawan Minggu 20 Maret 2016 (Dyah A. Pitaloka/ Terakota)

Keindahan Kasuranggan membuat Hayamwuruk memutuskan untuk membangun stupa, pada akhir 1359. Stupa tempat ibadah umat Buddha. Kasuranggan pun kemudian dikenal dengan nama Candi Sumberawan. “ Sumberawan itu asalnya sumber dan rawa, air yang berlimpah,” kata Juru Pelihara Candi Sumberawan, Nuryadi.

Mata air yang melimpah sejak di era Singosari dan berlanjut di era Majapahit hingga kini terus memancar. Sebanyak 26 pipa PDAM Kabupaten Malang terpasang di sumber mata air  Sumberawan. Di sekitar stupa sumberawan terdapat dua sumber air yang terpisah letaknya. Sumber di sebelah Timur stupa dipercaya berkhasiat untuk meningkatkan aura diri sementara di sebelah Barat dipercaya berkhasiat untuk kesehatan.

“Sebenarnya itu karena sifat air sendiri, sumber kehidupan. Tanpa air tak akan ada kehidupan,” kata Nuryadi. Stupa Sumberawan dikelilingi sungai dan air, tak ubahnya seperti pulau kecil. Sumberawan dipercaya berfungsi menyucikan air dan mengalirkan air yang suci. Sayangnya bagian puncak stupa tak utuh lagi, terkumpul dan disusun di tanah.

Satu stupa setinggi 5,3 meter, lebar 6,25 meter dan panjang sekitar 8 meter. Berdiri di tengah lahan seluas 50×50 meter. Stupa itu hingga saat ini menjadi salah satu tempat suci umat Budha saat merayakan Waisak.

 

 

1 KOMENTAR

  1. […] Bahkan musim haji 2018 lalu, kepada istri saya KH. Tolhah juga memesan kitab Quutul Qulub karya Abu Tholib Al Maky. Model interaksi keilmuan semacam ini yang sering dilakukan istri saya dengan Kyai Tolhah Hasan baik sebagai kerabat maupun pengurus di Yayasan Al Maarif Singosari dengan menjadikan Kyai Tolhah Hasan sebagai “jujugan” utama dalam berkonsultasi. Terutama ketika menemukan persoalan organisasi, pendidikan di lingkungan Al Maarif dan pesantren hingga urusan pemilihan kitab tafsir Al Ibriz karya KH. Bisri Mustofa. Kitab yang akan diajarkan istri ke Jamaah ibu-ibudi Masjid Besar Hizbullah Singosari. […]