
Terakota.id–-Sore itu sebuah pesan masuk ke notifikasi gawai saya, “Bu, mohon ijin share informasi. siapa tahu ada yang membutuhkan tangan kami” isi pesan tersebut disusul dengan poster, yang dikatakan sebagai informasi.
Dengan sedikit malas, saya buka poster tersebut. Saya pikir ini adalah tawaran produk atau sejenisnya yang kadang mampir melalui whatsapp. Tulisan besar berwarna tosca segera menarik perhatian, “Lumintu Project”. Lantas, diikuti penjelasan dengan huruf yang lebih kecil-kecil berwarna senada.
Setelah melihat keseluruhan, minat dan rasa ingin tahu menguasai diri saya. Mereka mendeskripsikan Lumintu sebagai project sosial untuk membantu pelaku usaha kuliner kelas kecil dan mikro yang nyaris (atau sudah) gulung tikar karena pandemi Covid-19. Bantuan yang ditawarkan berupa desain poster secara cuma-cuma dan juga promo digital melalui aneka platform media sosial.
“Sial! Kok nemu aja ide gila dan keren begini”, batin saya. Ibarat menemukan oase di tengah berita-berita suram seputar Pandemi. Saya hubungi nomer kontak yang membagi poster tersebut. Ia adalah Dewi, mahasiswi tingkat akhir yang sedang berjuang menyelesaikan skripsi.
Dari Dewi saya mendapat informasi yang lebih membelalakkan mata, bahwa inisiator program ini seluruhnya perempuan. Meskipun, akhirnya ada juga kawan pria mereka yang tertarik dan bergabung. Semuanya mahasiswa dengan background Ilmu Komunikasi dari berbagai angkatan.
Sebelum wabah Covid-19, Dewi dan teman-temannya tak berbeda dengan mahasiswi kebanyakan, yang sibuk dengan tugas-tugas kuliah, magang, dan persiapan skripsi. Namun, ketika tiba-tiba mereka dirumahkan, tak boleh lagi pergi ke kampus, tidak bisa nge-mall, dan yang paling buruk tak bisa pulang kampung mudik. Mereka menjadi kehilangan kesibukan: rebahan bosan, nongkrong pun enggan.
Mereka kerap membeli nasi dan lauk dari penjual makanan di sekitar kos. Dari para penjual tersebut, mereka mendengar keluhan akan beratnya beban berjualan di masa physical distancing, padahal ada sekian nyawa yang bergantung pada setiap porsi makan yang terbeli. Dan tidak semua dari penjual memiliki kemampuan melakukan promo online, sehingga bisa menjangkau pembeli yang sedang berada di rumah saja selama karantina sosial. Desain dan aktivasi digital jauh di luar jangkauan nalar para penjual ini.
Keprihatinan dan empati sekelompok mahasiswa tersebut menyublim menjadi “Lumintu Project”. Para perempuan muda ini aktif bergerak, mencari pengusaha kecil yang perlu dibantu. Awalnya hanya satu dua pengusaha, namun kini banyak yang memanfaatkan jasa mereka. Setiap hari rata-rata 10 desain dibuat dan jumlah klien yang ditangani telah menembus angka 70.
Dewi sadar bahwa apa yang ia lakukan dengan teman-temannya mungkin sangat kecil dan belum tentu juga mampu mendongkrak angka penjualan. Namun, ikhtiar tetap harus dilakukan. mereka berharap sedikit uluran kreatifitas tersebut mampu menjadi senjata tambahan bagi pelaku usaha untuk mencari pembeli. Dan, apresiasi positif mereka dapatkan dari para penjual. Banyak penjual yang merasa terbantu, ingin membalas kebaikan anak-anak tersebut dengan mengirim makanan. Namun, anak-anak ini rupanya memilih menolak, sebab tahu pasti kondisi yang dibantu itu sangat sulit. Lebih baik makannya untuk dijual saja sehingga dapat untung, begitu pikir mereka.
Lumintu Project mengingatkan saya akan teori klasik milik Albert Bandura, Human Agency. Manusia bukanlah mahluk yang bisa diam dan neriman dalam lingkungan sosialnya. Sebaliknya, manusia adalah aktor perubahan lingkungan. Sosok individu yang secara sadar mengatur dirinya, proaktif, dan reflektif dalam memaknai dan membentuk masyarakat.
Saya melihat semangat Kartini menjelma dalam diri Dewi dan kawan-kawan. Saya membayangkan, Kartini, jika saja saat ini masih ada, asyik ber-teleconference dengan kawan-kawannya, membahas beragam problem bangsa, dan mencari solusi-solusi yang dapat mereka lakukan untuk membuat sebuah perubahan.
Cerita luar biasa tentang Kartini milenial juga saya dengar dari Purbalingga. Adalah Ina Farida, perempuan berusia 24 tahun bersama dengan 20 perempuan desa Sumampir menjahit masker secara Cuma-Cuma untuk didonasikan ke wilayah-wilayah rawan Covid-19 di seluruh Indoensia. Keprihatinan akan wabah yang penyebarannya semakin meluas dan harga masker yang kian meroket, menggerakan Ina dan teman-teman desanya. Mereka bergerak, mencari donasi kain dan berjejaring untuk distribusi semuanya menggunakan teknologi komunikasi digital.
Kartini belia juga tak ketinggalan ambil bagian. Najwa Aqila Asyifa, 11 tahun, kelas 5 SD Banjarbaru-Kalses. Ia menjahit masker, dan dalam satu hari bisa menghasilkan 30 masker. Sebagian masker ia jual di toko Ibunya, dan sebagian lagi ia sumbangkan pada tetangga-tetangga yang membutuhkan. Menurut Ibunya, Najwa menjahit masker sudah lebih dari satu bulan sejak Indonesia mengalami pandemi covid19. Artinya, setidaknya ada 900 masker yang telah dihasilkan oleh anak kelas 5 SD ini.
Ragam cerita di atas sungguh saya kagum dan nggumun (heran) betapa selama ini abai terhadap kekuatan para perempuan muda ini. Dalam situasi yang buruk dan kacau. Mereka, yang awalnya adalah perempuan kebanyakan, berkutat dengan problem personal dalam keseharian, kini tak bisa tinggal diam. “panggilan Nurani” melihat nestapa masyarakat. Persis seperti apa yang menggerakkan Ibu Kartini menulis dan membuat sekolah perempuan di zamannya.
Kini, teknologi memfasilitasi gerak para perempuan menjadi semakin lincah. Kreatifitas juga menjadikan pilihan berbuat sesuatu semakin beragam. Menjahit masker untuk bantuan, membuat dapur umum bagi pasien karantina, membuat sumbangan baju APD, menggalang donasi sembako, menjahit membuat copywriting secara cuma-cuma, hingga menggalang doa bersama via teleconference secara berkesinambungan agar Indonesia terbebas dari wabah dan ancaman marabahaya lainnya.
Perempuan-perempuan tersebut keluar dari cangkangnya, karena panggilan kemanusiaan yang tak dapat mereka abaikan. Dan, sejarah juga mencatat bagaimana perempuan selalu berhasil menemukan sisi kedermawanan dalam setiap aktifitas yang dilakukan.
Kartini contoh nyata dalam ranah Pendidikan dan pemikiran, Nyai Walidah dengan pengajian Sopo Tresno juga memberi warna pada kemajuan pemikiran perempuan. Nurhayati Subakat, pengusaha kosmetik yang begitu concern dan murah hati menyelenggarakan beragam kegiatan pemberdayaan perempuan. Juga ada Anita Roddick, pengusaha yang juga aktifis kemanusiaan. Melalui brand The Body Shop, Roddick banyak mendedikasikan keuntungan perusahaan untuk membantu gerakan pro lingkungan dan hak asasi manusia.
Bahkan, Body Shop Indonesia pernah secara khusus menghimpun donasi dari penjualan paket kosmetik untuk membantu Omah Munir, LSM yang bergerak di bidang HAM. Sungguh, saya tak pernah membayangkan sebelumnya CSR perusahaan kosmetik berkelindan dengan isu-isu HAM yang (masih dianggap) maskulin. Dan, sepenuhnya saya yakin, kita semua tentu dengan mudah mengenali sosok-sosok perempuan yang bergerak memenuhi panggilan kemanusiaan dalam lingkungan kita.
Mereka inilah para perempuan yang dalam ilmu sosial disebut sebagai human agency, atau individu yang memiliki kemampuan dan kemauan bertindak sebagai aktor dalam perubahan lingkungan. Mereka yang memilih secara sadar untuk ambil bagian -tak peduli sekecil apapun itu- mengubah keadaan alih-alih berdiam diri dan berhenti pada rasa iba melihat keterpurukan manusia lain.
Mendengar cerita tentang mereka, membaca kisah perempuan-perempuan muda yang luar biasa tersebut ibarat mendapat angin sejuk kala kemarau Covid-19 menerjang. Dan, tiba-tiba saya teringat sebuah artikel di Forbes tentang The World Government Summit 2018. Dalam gathering akbar para pemimpin Pemerintahan Se-Dunia tersebut, mereka mengambil tema “The Next Big Tech Trend is Humanity”.
Ya, pada akhirnya teknologi bukanlah ancaman, sebab manusia (dan akal budinya) akan menggunakannya untuk tujuan mulia, humanity. Covid-19 telah meluluhlantakkan segalanya, kecuali kemanusiaan itu sendiri.

Peneliti Pusat Studi Gender & Anak, Universitas Negeri Surabaya