
Terakota.id–Bekas gedung bioskop legendaris Kelud di Klojen Kota Malang berubah menjadi pasar buku. Jutaan eksemplar buku dari ratusan penerbit menjajakan buku bermutu dan bergizi bagi warga Malang. Inilah festival literasi dan pasar buku, Patjar Merah. Bekas gedung bioskop Kelud ini sempat menjadi primadona publik Malang di era 1970-1980-an.
Saya tidak punya kenangan apa-apa tentang bangunan ini. Bioskop Kelud telah berhenti bernafas jauh sebelum saya menginjakkan kaki di Kota Malang. Pasar buku telah dibuka sejak Sabtu, 27 Juli 2019, dan bakal dipungkasi Minggu, 4 Agustus 2019. Selain tumpukan buku-buku murah (pas yang murah), selama sembilan hari pengunjung dimanjakan dengan “Festival Kecil Literasi.”
Beragam tema obrolan, lokakarya, dan acara menarik digelar. Para penulis jempolan, musisi, sineas, juga penggerak komunitas dihadirkan. Saat pembukaan, penulis “Sepotong Senja untuk Pacarku”, Seno Gumira Ajidarma hadir bersama dosen Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang, Wawan Eko Yulianto. Seno membabar seputar jurnalisme sastrawi. Perpaduan pembicara dan tema yang memesona.
Terbukti, seluruh kursi yang disediakan terisi. Bahkan, banyak pengunjung rela berdiri selama hampir dua jam. Memang sudah sepatutnya seperti ini. Buku dan pengetahuan dikerumuni layaknya barisan semut menemukan gula. Dari antusiasme peserta, kita bisa menduga bahwa tema ini amat penting untuk diketahui. Apalagi disampaikan seseorang yang mumpuni.
Sebenarnya sudah lama orang mempercayai jurnalisme mempunyai peran dan kekuatan untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sehingga pers diletakkan sebagai salah satu pilar demokrasi. Anda tentu tahu fungsi pilar. Jika ia lepas atau doyong, maka bangunan yang disangganya bisa roboh kapan saja. Orde Baru telah mencontohkannya selama 32 tahun. Rezim itu membunuh demokrasi dengan mengekang dan membonsai pers sedemikian rupa. Tidak cocok sedikit dengan penguasa, bakal dibredel.
Pasca reformasi, ketika kebebasan pers sudah berhasil direbut, jurnalisme sastrawi lahir di Indonesia. Itu terjadi sekitar tahun 2000-an. Dengan rendah hati Andreas Harsono, sosok yang berjasa membawa dan menghidupkan genre penulisan jurnalistik ini ke Indonesia, mengaku bahwa semuanya berawal dari keisengan.
Andreas berkesempatan menimba ilmu di program Nieman Fellowship on Journalism di Universitas Harvard. Ia risau dengan kontradiksi antara apa yang ia dapat dan pelajari di sana dengan kondisi pers di Indonesia. Ia pun mengirim pertanyaan ke dua mailing list yang mayoritas anggotanya orang Indonesia.

“Mengapa di Indonesia tak ada surat kabar di mana orang bisa menulis narasi secara panjang dan utuh? Mengapa jurnalisme sastrawi (literary journalism) tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, seniman, dan cendekiawan Indonesia?,”tulis Andreas menumpahkan keresahannya di dua grup milis. Hingga menuai beragam tanggapan.
Sekembalinya Andreas ke Jakarta, genre ini coba diterapkan di majalah bulanan, Pantau. Majalah terbitan Institute Studi Arus Informasi (ISAI). Tidak bertahan lama. Pada 2003 majalah Pantau terpaksa ditutup karena alasan keuangan. Meski telah dicoba dihidupkan kembali oleh yayasan berbeda, Yayasan Pantau, majalah itu kembali bernasib buruk. Tutup.
Andreas Harsono bersama rekan-rekannya telah mencoba. Mereka tak sepenuhnya gagal. Toh, hingga hari ini kita masih bisa membaca hasil jerih payah mereka. Hikayat Kebo karya Linda Cristanty adalah salah satunya. Benar belaka apa yang dituturkan Wawan Eko Yulianto, bahwa pertaruhan jurnalisme sastrawi adalah keabadian. Reportase dalam sajiaan jurnalisme sastrawi tidak lekas basi.
“Meski bertahun-tahun, ketika ditemukan orang akan tetap dibaca,” kata Wawan.
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu genre dalam jurnalisme yang muncul di Amerika tahun 1960-an. Tom Wolfe, jurnalis sekaligus novelis mengenalkan genre dengan nama new journalism. Seiring waktu para pemikir jurnalisme mengembangkan temuan Wolfe. Ada yang mengistilahkan “narrative reporting”, “passionate journalism” ataupun “explorative journalism”. Sedang istilah jurnalisme sastrawi, menurut Andreas Harsono, adalah terjemahan dari “literary journalism”.
Istilah bisa berbeda-beda. Namun, esensinya tetap sama. Bahwa jurnalisme sastrawi merupakan tulisan mendalam, bahkan lebih mendalam daripada in-dept reporting. Pengerjaannya mirip dengan karya sastra: Ada plot, adegan demi adegan, penokohan atau karakter, kuat di setting, konflik, dan kejutan. Pengerjaannya bisa memakan waktu yang lama, ongkos yang tak sedikit, dan ruang penyajian yang panjang.
“Tegang, dalam, dan terasa,” begitu gambaran Linda Christanty tentang jurnalisme sastrawi.
Penjelasan ini dapat kita temukan di buku “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat” (2008: vii-xxii). Buku ini berisi 8 tulisan bergenre jurnalisme sastrawi dari 8 orang penulis kenamaan. Seperti, Andreas Harsono, Linda Christanty, Coen Husain Pontoh, dan Eriyanto.
Selain menemukannya dalam buku, saya beruntung bisa mendengarkan langsung, siang itu, dari Seno. Meski Seno bukan orang yang mula-mula mengenalkan genre ini di Indonesia, tapi tetap saja ia adalah sosok yang absah berbicara tentang jurnalisme sastrawi. Seno Gumira Ajidarma adalah seorang sastrawan sekaligus wartawan. Meskipun akhirnya kita lebih akrab mengenalnya sebagai sastrawan.
Kumpulan cerpennya “Saksi Mata” dan novel “Jazz, Parfum, dan Insiden” bisa lahir sehat karena seorang Seno yang wartawan sekaligus sastrawan. Ia mengakui bahan mentah Saksi Mata berasal dari fakta yang dilaporkan majalah Jakarta Jakarta (JJ), terkait invasi Indonesia atas Timor Timur. Seno adalah salah satu redakturnya. Gara-gara laporan ini pula Seno akhirnya dicopot dari pekerjaannya.
Saksi mata adalah bentuk pemberontakan, lantaran fakta harus ditutupi dan dimanipulasi atas nama kekuasaan. Media yang hendak menyodorkan fakta diluar selera penguasa, harus siap mendapat represi dan dimatikan.
Karena laporan dalam bentuk jurnalistik dikontrol penguasa. Maka Seno berkreasi. Ia menjumput fakta di dalam laporan jurnalistik untuk dikreasikan ke dalam bentuk karya sastra. Dalam situasi seperti itulah kredo Seno yang kita kenal muncul,“ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara.”
“Dalam keadaan seperti itu , perbedaan antara fakta dan fiksi tidak banyak artinya bagi saya, bahkan mungkin tidak berarti sama sekali. Apa yang saya lakukan dalam jurnalisme maupun kesusastraan merupakan jawaban saya terhadap tuntutan temporalitas – yang bagi saya berarti tanggung jawab saya kepada sejarah,” begitu tulis Seno dalam salah satu artikelnya berjudul Fiksi, Jurnalisme, Sejarah: Sebuah Koreksi Diri (1), di buku “Trilogi Insiden” (2010: 389).

Oleh banyak orang, Saksi Mata dianggap sebagai representasi dari Jurnalisme Sastrawi. Padahal bukan. Saksi Mata murni karya fiksi. Ia produk dari kepiawaian kepengarangan Seno lengkap beserta keliaran imajinasi dan khayalannya.
Jadi, jurnalisme sastrawi bukan khayalan, bukan pula imajinasi. Seno, siang itu, menerangkan bahwa jurnalisme sastrawi muncul karena pemberitaan membosankan. Tidak menarik. Dan ternyata laporan jurnalistik bisa disajikan seperti novel.
“Sebenarnya new journalism tidak ngomongin bahasa. Tapi alur. Alur dibuat tegang, suspens, biar mirip sastra. Main plot. Jurnalisme sastrawi bukan sibuk kata-kata yang melambai-lambai, mendayu-dayu. Tidak. Tapi jurnalisme sastrawi tetap bersetia pada fakta. Sastrawi itu berbau sastra. Bukan sastra beneran,” ujar sastrawan berambut putih, dan gondrong ini menegaskan. Hampir setiap kesempatan selalu mengenakan baju dan celana cargo warna hitam.
Sekarang, sambil menanti munculnya karya-karya baru jurnalisme sastrawi, kita coba membayangkan ketahanan generasi hari ini merampungkan tulisan panjang dan mendalam di media. Teknologi telah memungkinkan mereka belajar dan memperoleh informasi meski dari video pendek atau grafis berisi kutipana-kutipan.
Ditambah, beragam media yang bermunculan mengiringi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hari ini. Meski tidak semua, tapi seolah banyak yang mendewakan kecepatan dan viral. Produksi konten dikebut seperti penjaja makanan siap saji. Agar viral, berkejaran konten yang bombastis dan tidak penting diproduksi sebanyak mungkin. Kalau sudah begini, masihkah jurnalisme sastrawi akan dibaca dan dibutuhkan?
Seno menawarkan jalan tengah. Menurutnya, bahasa literer memang tengah terdesak. Jika masih bicara pokoknya, maka akan sia-sia. “Kini tuntutannya, bagaimana disiplin science disajikan dengan bahasa mudah. Misal dengan art, infografis. Ia pengembangan dari statistik,” tukas Seno.
Dan saya sendiri juga tidak tahu. Apakah tulisan ini akan dibaca hingga tuntas atau tidak. Yang pasti, selamat belanja buku dan berfestival literasi di Patjar Merah.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict