Terakota.id–Sepi dalam realitas kehidpan alam dunia, dan ramai di ‘alam maya’ adalah keadaan yang sedang terjadi pada dunia perteateran kita. Memang itu adalah suatu kenyataan yang sudah tak bisa kita pungkiri. Mau tidak mau, setuju tidak setuju, sepakat atau pun tidak, seakan-akan kita dipaksa, diseret, bahkan diancam untuk ikut arus yang sedang berjalan, bahkan tanpa “reserve”.
Yah, pada akhirnya pun banyak di antara kita yang berbondong-bondong ‘bermigrasi’ ke alam maya itu. Dan kita pun seperti menjadi gerah atau kurang merasa tertarik lagi berkiprah dan berteater di ‘alam nyata’. Apalagi, sejak wabah Corona yang sangat menakutkan itu menjangkiti dan memporak-porandakan kehidupan di alam nyata ini. Sebelum pandemi Covid 19 ini mewabah pun, gejala-gejala sikap yang berorientasi pada kecanggihan teknologi yang melahirkan ‘dunia baru’ yang kemudian sering disebut alam maya itu sudah mewabah pula.
Dunia baru yang nota bene menawarkan banyak kecanggihan, kemudahan, dan yang banyak menyedialan akomodasi kepentingan lewat berbagai bentuk media sosial dan aplikasi praktis, telah menjangkiti bahkan membius secara terus-menerus sikap dan perilaku kita.
Hingga kita pun, orang-orang teater, yang selama ini merasa sebagai habitat orang-orang yang memiliki daya kreativitas dan daya kritis tersendiri, seakan-akan telah kurang punya daya untuk mengkritisi (setidaknya untuk mempertimbangkan secara kritis) dunia baru yang datang mengharu-biru kehidupan manusia itu.
Sehingga?
Di antara kita pun secara beramai-ramai menyongsong dunia baru hampir tanpa reserve (pertimbangan). Dunia baru itu telah terasa benar-benar membuat kita tergiur. Dunia baru itu telah dengan dahsyat menggoda, melumpuhkan daya kritis, bahkan membutakan mata batin kita.
Dunia baru itu terbaca di otak dan di impian hidup kita adalah dunia yang menyediakan ‘syurga baru’ juga. Syurga dengan perspektif yang baru, yang berbeda dengan ‘syurga’ yang selama ini terdeskripsikan oleh keyakinan lama kita. Sebab dunia baru yang menawarkan ‘syurga baru’ ini juga harus dihayati dengan perspektif ‘keyakinan’ dan logika baru juga.
Pada akhirnya, dan pada kenyataannya banyak di antara kita toh sudah memulai bermigrasi untuk menciptakan ‘ruang panggung baru’, dan mulai meninggalkan ‘ruang panggung lama’.
Ruang panggung lama sudah dianggap stagnan. Kurang memiliki perspektif baru. Dan kurang mengeksplorasi kreatifitas dalam tren kekinian.
Banyak di antara kita yang menganggap bahwa merasa tak maju jika masih pentas di bentuk panggung lama. Banyak yang berpendapat bahwa tidaak ‘kekinian’ jika tak mau mengakses teknologi digital. Dan banyak pula yang mengatakan bahwa akan digerus oleh zaman jika kita tak mau mengikuti arus zaman.
Jadinya?
Ya seperti yang kita lihat, rasakan, dan saksikan sendiri. Teknologi akhirnya menjadi orientasi, tak lagi sekadar media atau alat bantu. Medsos menjadi dunia sehari-hari, bukan sekedar alat komunikasi.
Makin banyak kelompok teater yang bergairah untuk mengupload sepak terjang aktivitas mereka, namun kadang nihil masalah kualifikasi. Makin ramai siaran-siaran publikasi yang heboh dan provokatif, tapi tak sedikit kenyataan realitas acara atau pentas jauh panggang dari api. Makin banyak yang bikin pentas diviralkan (baik live streaming maupun streaming tunda) namun ya gitu, sering masih jauh dari kelayakan. Tak sedikit yang asal nampang.
Teater kita kedengarannya makin semarak, sangat ramai, tapi ketika kita telusur di realitas sehari-hari, terasa makin sepi. Isu-isu dan perdebatan tentang problematika dan kehidupan teater kita terbaca tak henti-hentinya sangat seru, tapi iklim realitas perteateran kita nampak makin lesu. Kabar dan peluang fasilitasi-fasilitasi makin banyak, tapi kualitas hasil dari program menarik dan akomodatif itu masih semu.
Segala sesuatunya menjadi terasa “abu-abu”. Semua yang terpublikasikan terdengar makin seru, tapi segala yang terkabarkan dalam keriuhan dan kegegap-gempitaan itu seperti suara riuhnya riak-riak air di pinggir laut biru.
Dunia itu menipu. Begitu inti dari salah satu firman Tuhhan dalam kitab-Nya. Kalau realitas kehidupan di alam dunia ini saja dikatakan oleh Tuhan sebagai keadaan yang menipu? Apalagi realitas ‘alam maya’?. (Seperti yang kita tahu, makin kacau-balaunya tatanan hidup, makin kaburnya jarak dan batas antara mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar, mana yang HOAX dan mana yang fakta, adalah setelah kita berada dalam zona kehidupan alam maya).
Oleh sebab itu, apakah kita akan terus-menerus melanjutkan progress hidup kita dalam ‘tumpuan dua kaki yang berbeda’? Satu pijakan kita jelas tak bisa mengingkari bahwa kita adalah makhluk bumi, sebuah dunia realitas yang sering disebut “alam fana”. Sementara pijakan yang satunya, kita sudah terlanjut merasa nyaman berada dalam zona realitas kehidupan alam ‘’maya”, yang tingkat kasunyatan-nya jelas dibawah alam fana.
Maka kalau sejak awal dalam tulisan ini saya katakana: teater kita “sepi ing ndunyo, rame ing medsos”, karena itu ekses dari keterbelahan kehidupan kita, dalam menyikapi arus zaman yang sedang terjadi, terhadap aktivitas berteater kita .
Satu sisi esensi teater adalah sebentuk kesenian. Ia menjadi salah satu wujud dari kebudayaan. Dan kebudayaan itu adalah hasil dari sikap dan perilaku manusia. Kebudayaan sangat erat kaitannya dengan manusia. Dan langung mengacu, menuju, dan tentang manusia.
Sementara, di sisi yang lain teater kita telah (akan terus) kita bawa bermigrasi ke dalam alam maya, yang berupa beragai medsos dan beraga aplikasi. Semua itu merupakan wujud-wujud canggihnya teknologi. Dan esensinya, teknologi itu adalah hasil rekayasa. Ia bersifat sistematis.
Dalam teknologi semua bisa direkayasa, dan menjadi tersistemisasi. Sementara dalam kebudayaan, semua terjadi karena sebuah sikap dan perilaku yang sudah membiasa, sehingga menjadi pola Dalam kebudayaan tak bisa direkayasa, juga tak bisa disistematisasi. Kebudayaan cenderung dinamis. Kebudayaan adalah polarisasi dari kebiasaan sikap dan perilaku.
Esensi dan karakteristik kebudayaan dant teknologi itu sangatlah berbeda. Bertolak belakang, malah. Maka, itulah eksesnya, jika kita, telah tanpa reserve menjadikan teknologi: alam maya (dengan berbagai medsos dan aplikasinya) sebagai “orientasi” dan bukan sekedar alat bantu dan fasilitas media bagi kehidupan teater kita. Kita pun akhirnya menjadi kehilangan esensi teater yang sebenarnya.
Namun sekali lagi yang perlu dicatat adalah, bahhwa dengan tulisan ini, bukan berarti ingin dengan pongah ‘mengharamkan’ teknologi. Menolak mentah-mentah kecanggihan teknologi. Atau menyiarkan sikap anti medsos dan dunia maya beserta segala aplikasinya.
Tidak sama sekali.
Tetapi setidaknyan tulisan ini sebagai salah satu bentuk ijtihad atau pengingat, bahwa kita perlu membijaki kembali, atas kondisi riil yang sedang terjadi. Jangan sampai kondisi kehidupan teater kita akan terus “sepi dalam realitas sehari-hari, tapi ramai dalam keriuhan kabar media sosial atau dalam berbagai aplikasi. Jangan sampai teater kita hanya makin seri pada perbincangan dan perdebatan isu, dan kurang hadir dengan kualitas yang memadahi.
Teknologi boleh saja kita ambil sebagai media atau alat bantu untuk percepatan distribusi, publikasi, atau eksplorasi berbagai kemungkinan. Tapi jangan sampai teknologi akan kita jadikan “orientasi” bagi proses berkehdupan teater kita, yang tujuan, komitmen, dan pengabdiannya seakan-akan adalah untuk eksistensi kita di dunia teknologi.
Teater adalah sebentuk peristiwa sosial-budaya “dari manusia, oleh manusia, dan langsung untuk sesama manusia”. Oleh sebab itulah, sejak awal, agak terbedakan antara teater dan film. Antara lain dari perbedaan bentuk dan sifat peristiwa komunikasinya. Langsung atau tidak langsungnya sebagai peristiwa komunikasi sosial-budaya.
Teater kita makin terasing dari masyarakat kita, sebab teater kita makin “sepi ing realitas sehari-hari, dan hanya ramai di alam yang ‘maya’ (tak pasti)”.
Janganlah kita biarkan teater kita makin terasing dari kehidupan masyarakat kita. Mereka masih sangat membutuhkan tontonan yang langsung bisa ditonton dengan kasat mata. Tanpa batas. Tanpa sekat.
Teater kita masih dibutuhkan hadir selain sebagai forum tontonan, juga sebagai forum silaturohim sosial-budaya. Untuk itu, silahkan gaung teater digegap-gempitakan dalam publikasi dan distribusi media sosial ‘alam maya’, tapi marilah, jangan membiarkan terus teater kita sepi aktivitas, dan sepi pentas yang berkualitas, dalam kehidupan riil kita.
Dan di masa pandemi ini, dimana banyak hal untuk hidup kita terbatasi, terus banyak-banyaklah berlatih, berpikir yang konstruktif-produktif, serta mengeksplorasi gagasan dan kreativitas yang lebih berkualitas, adalah hal yang sangat perlu dan tepat untuk terus kita lakukan.
Memang teater itu ujung-ujungnya adalah harus ada karya pentas. Tapi itu kurang identik dengan “berteater itu adalah berpentas!?”■■■.
Tegalgondo, 23 Januari 2021
Penulis adalah: Sutradara, Aktor, & Pemimpin Umum Teater IDEōT
Sutradara, Aktor, & Pemimpin Umum Teater IDEōT