Terakota.id-Mengenakan pakaian serba putih, berbalut celana panjang putih, dipadu semacam rok lebar, kemeja putih panjang, dan peci tinggi berwarna hijau. Tubuh lelaki itu berputar-putar mengikuti alunan musik. Dengan putaran semakin cepat dan panjam, kostum penari berupa rok lebar berkibar indah. Dia meliung seolah mengikuti gerakan bumi berputar dalam rotasinya. Putaran tubuh dan irama musik mengalun, menyatu dalam harmoni.
Selaras dengan atraksi seni dan budaya yang disajikan untuk memperingati haul ke tujuh Kiai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur) Yayasan Pelayanan Pekabaran Injil (YPPI), Sabtu 13 Januari 2016. Tarian Sufi atau Whirling Dervishes (Darwis berputar) merupakan tarian relijius asal Turki pada abad ke 14. Tarian ini dekat dengan kaum sufi dan umat Islam. Mereka berputar dengan bertumpu pada kaki kiri, telapak kanan yang dihadapkan ke atas sedangkan tangan kiri menunjuk tanah.
Tarian Sufi merupakan tarian spiritual, menari dikaitkan dengan berdzikir sekaligus berdoa. Tari suci ini merupakan bagian dari pertujukan kesenian yang diselenggarakan oleh Jaringan GusDurian Kota Batu. Selain tari sufi juga dipertontonkan kesenian tradisi berupa tari remo, tarian dari Nusa Tenggara Timur, Batak dan pagelaran wayang.
Perpaduan seni ini, menunjukkan kekayaan dan keberagaman seni budaya nusantara. Sekaligus untuk merawat keberagaman dan membangun toleransi. “Sejak 17 tahun lalu, saya aktif dalam aliansi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sejak tahun lalu bergabung dalam GusDurian,” kata ketua panitia, Neli.
Sekitar 300 an orang lintas agama memenuhi ruang pertemuan bukit zaitun YPPI. Selain pertunjukan seni dan budaya, peringatan haul ketujuh Gus Dur juga dilakukan bedah buku “Jalan Perdamaian : Refleksi Kolektif Penggiat Keragaman.” Buku tersebut ditulis 19 orang yang terdiri dari berbagai agama yang bergelut dalam aktivitas komunikasi lintas iman dan menjaga keberagaman.
Salah satu penulis adalah Presidium Gusdurian Jawa Timur, Aan Anshori. Aan menulis dua artikel, salah satunya berjudul “Dua Perempuan Lajang Miskin Kristen Thionghoa: Kisah mengejar identitas.” Dalam artikel ini Aan menceritakan dua perempuan Thionghoa tua beragama Kristen, dan miskin yang mengurus administrasi kependudukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
“Petugas menetapkan denda KTP Rp 1 juta karena terlambat mengurus SKBRI,” katanya. Padahal, kedua perempuan keturunan Thionghoa ini lahir di Jombang. Kedua perempuan tua itu, katanya, hidup di komunitas muslim di Jombang.
Menghadapi persoalan itu, dia bertemu Aan yang saat itu aktif menemui Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU). Lantas Aan membantu untuk mendapat KTP selayaknya Warga Negara Indonesia (WNI) yang lain. Lantas Aan bersama dengan aktivis perhimpunan Thionghoa, dan aktivis lintas iman mendatangi kantor Dispendukcapil.
Aan juga sempat mengalami pertentangan batin, lantara Kepala Dispendukcapil merupakan teman sesama pengus PCNU Jombang. Proses advokasi berlangsung lama, sampai enam bulan lebih. Mereka juga melaporkan pungutan itu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jombang. Bahkan mereka sampai akan melaporkan kasus ini ke Ombudsman Republik Indonesia. “Akhirnya petugas memberikan pelayanan KTP sesuai nama Thionghoa,” katanya.
Jalan, baca dan makan