
Terakota.id—Tari Soreng adalah tari tradisional Jawa, berupa tari keprajuritan yang populer di daerah Kabupaten Magelang dan sekitarnya. Kemungkinan besar berasal dari lereng utara Gunung Merbabu, tepatnya di daerah Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Kabupaten Magelang adalah sebuah daerah tujuan wisata di Jawa Tengah yang kaya akan kesenian tradisional.
Kabupaten Magelang memiliki semboyan Magelang Gemilang yang diartikan Magelang gemah ripah, iman, dan cemerlang. Sementara itu, slogan wisatanya adalah The Park of Java. Dengan luas wilayah 1.085,73 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 1.219.371 jiwa (2012). Kabupaten Magelang adalah salah satu tujuan wisata penting di Jawa Tengah, terutama Candi Borobudur.
Kecamatan Ngablak terletak di lereng utara Gunung Merbabu dengan ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Ngablak terbagi dalam 16 desa yang masing-masing desa memiliki kekayaan kesenian tradisional. Salah satu kesenian yang akhir-akhir ini ramai diperbicangkan adalah Tari Soreng dari Desa Bandungrejo.
Tari Soreng menceritakan konflik dan peperangan antara Kadipaten Jipang Panolan dan Kesultanan Pajang yang ide ceritanya berasal Babad Tanah Djawi. Prajurit Kadipaten Jipang Panolan dipimpin Adipati Arya Penangsang dan Patih Matahun disertai dengan prajurit Soreng, di antaranya adalah Sorengrono, Sorengrangkud, dan Sorengpati. Sementara itu, prajurit Kesultanan Pajang dipimpin oleh Danang Sutawijaya.
Arya Penangsang adalah Adipati Jipang Panolan yang digambarkan memiliki watak adigang, adigung, dan adiguna. Ia memiliki sifat iri hati atas kedudukan Sultan Hadiwijaya yang menjadi Sultan Pajang. Ia berusaha menyusun kekuatan prajuritnya dan berlatih keras setiap hari di alun-alun untuk mempersiapkan peperangan. Pada suatu hari, saat latihan perang sedang berlangsung, tiba-tiba datanglah seorang pekatik (pencari rumput untuk kuda) kadipaten yang di-perung (dipotong daun telinganya) dan diikatkan surat tantangan pada telinga yang sebelah.
Setelah membaca surat tantangan yang ternyata berasal dari Sultan Hadiwijaya, Arya Penangsang menjadi sangat marah. Tanpa banyak pertimbangan ia segera memerintahkan semua prajuritnya untuk bergegas menyambut peperangan berangkat menuju ke tepi Bengawan Sore.
Slamet Santoso (42) koreografer grup kesenian Komunitas Soreng Warga Setuju (KSWS) Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang mengemukakan bahwa Soreng bisa dikatakan sebagai andalan kesenian di Kecamatan Ngablak. Salah satunya keunikannya, tarian keprajuritan ini meskipun hampir sama dengan Kuda Lumping, Kubro, ataupun Topeng Ireng, tetapi memiliki alur cerita dan latar belakang sejarah legenda peperangan di tanah Jawa (Arya Penangsang melawan Sultan Hadiwijaya). Selain itu, Soreng identik dengan tarian yang rancak dengan iringan musik yang sederhana, tetapi keras dan bertenaga.

Tanggapan (permintaan pentas) Soreng bisa dikatakan dari warga biasa hingga instansi Pemerintah. Pementasan biasa dilakukan pada saat sadranan (upacara menghormati keluarga yang telah meninggal), merti dusun (bersih desa/selamatan desa/sedekah bumi), upacara pernikahan, sunatan, acara di instansi pemerintah, dan festival kebudayaan. Biaya pementasan bervariasi, untuk warga antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Sedangkan untuk instansi pemerintah Rp 5 juta – Rp 10 juta (Berikut disediakan transportasi dan konsumsi untuk 70 anggota ).
Bandungrejo memiliki sembilan dusun, memiliki tiga grup Soreng, yaitu di Bakalan, Noyogaten, dan Bandungrejo . Karena kreativitasnya sebagai koreografer, Slamet diminta untuk melatih Grup Soreng di Armed Magelang, Polres Magelang, SMAN 1 Magelang, SMAN 2 Magelang, SMPN 2 Mertoyudan, SMPN 1 Ngablak, dan SMPN 2 Ngablak. Ia juga sempat menjadi dosen tamu selama sebulan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Berkaitan dengan masalah regenerasi, Slamet mengaku sangat optimistis. Ngablak adalah daerah pegunungan yang diapit oleh Gunung Merbabu dan Gunung Andong bisa dikatakan sebagai surga untuk tumbuh dan berkembangnya kesenian tradisional. Profesi sebagai petani membuat warga dan anak-anak memiliki banyak waktu luang untuk berkesenian pada waktu sore dan malam hari.
Ia mengatakan bahwa anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) di desanya sudah berani untuk dipentaskan dalam beberapa jenis tarian tradisional. Persediaan sumber daya manusia sangat melimpah. Didukung kecintaan dan kebanggan masyarakatnya yang sangat apresiatif dalam setiap pementasan yang berduyun-duyun menonton. Baik siang maupun malam hari, sehingga membuat seniman Soreng bersemangat untuk terus berkarya.
Grup Kesenian Soreng Komunitas Warga Setuju berdiri sejak 1944 yang berupa tari Minak Koncer. Yakni tarian keprajuritan dengan kostum yang sudah terpengaruh Belanda dan diiringi dengan lagu religi dan perjuangan (hampir sama denga Kubro atau Ndolalak). Namun, pada 1964 ada warga yang memasukkan kisah Arya Penangsang agar tarian menjadi menarik, ada unsur cerita sejarah, dan berisi nasihat.
Tarian ini kemudian disebut sebagai tarian Soreng. Lebih lanjut, Slamet tidak menampik jika ada yang mengatakan bahwa Soreng kemungkinan memang berasal dari Ngablak. Terutama karena kesenian Soreng di Ngablak sudah lama dimiliki oleh masyarakat, sedangkan di daerah lain merupakan grup atau kelompok kesenian yang berdiri belum lama (sekitar 1980-an).
Pengakuan atas keberadaan grup kesenian Komunitas Soreng Warga Setuju (KSWS) antara lain dengan beberapa pementasan di berbagai daerah:
- Gedung Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta
- Anjungan Jawa Tengah, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) ,Jakarta
- Festival for Peace di JITEC, Jakarta
- Hotel Pecatu, Bali
- Parade Budaya di Bali
- Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta
- Festival Walisongo di Surabaya
- Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
- Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
- Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)
- PRPP Semarang
- Parade Seni Jawa Tengah
- Gedung Permadani Jawa Tengah
- Gedung Gubernuran Jawa Tengah
- Festival Borobudur
- Mahakarya Borobudur
- Kolaborasi dengan seniman Sdr. Miroto di Jakarta
Penghargaan yang pernah diterima antara lain:
- Juara 1 Tingkat Kecamatan Ngablak
- Juara 1 Tingkat Kabupaten Magelang
- Juara 1 Tingkat Provinsi Jawa Tengah
- Juara 1 Tingkat Nasional (Festival Tari Nusantara)
Slamet Santoso mengatakan bahwa mencintai kesenian tradisional adalah sarana transformasi nilai-nilai dan kesenian secara alamiah. Dia mengatakan bahwa di Ngablak, anak belum sekolah saja sudah terbiasa akrab dengan irama dan gerakan tarian. Tak heran saat menginjak bangku Sekolah Dasar sudah bisa menjadi penari yang siap untuk dipentaskan. Apresiasi dari pihak sekolah juga dibuktikan dengan bersemangatnya pihak sekolah untuk menampung kesenian lokal dengan menjadikannya sebagai kesenian unggulan tiap-tiap sekolah.
Arya Penangsang yang Kasar dan Haus Kekuasaan
Tari Soreng adalah seni tari keprajuritan yang lebih mengandalkan kostum, gerak, dan irama musik untuk mengkomunikasikan makna dan pesan. Istilah “soreng” di ambil dari nama kesatuan atau laskar prajurit Kadipaten Jipang yang bernama “Soreng”. Asal kata “soreng” sendiri masih simpang-siur, tetapi ada beberapa pendapat dari narasumber yang dekat dengan situs Keraton Jipang sebagai berikut:
Menurut Kushariyadi (Ketua Yayasan Keraton Jipang di Cepu). Istilah “soreng” berasal dari kata dalam bahasa Jawa “suro” untuk menunjukkan bahwa guru-guru prajurit Soreng banyak yang menggunakan nama “suro” di depan namanya dan “ing” berarti setia bergabung.
Menurut Sukarjan (Juru Kunci Makam Gedong Ageng Jipang di Cepu). Istilah “soreng” berasal dari kata dalam bahasa Jawa “sun” untuk menunjukkan makna saya, “reh” untuk menunjukkan makna berjanji dengan diri sendiri, dan “ing” berarti setia bergabung dalam (membela tuannya/Adipati Jipang).
Tari Soreng yang mengambarkan tokoh Arya Penangsang yang muncul dari awal sampai akhir pementasan sebagai sosok Adipati Jipang Panolan sebagai berikut:
Sosok kasar dan garang
Arya Penangsang ditampilkan sebagai tokoh bicaranya keras, kasar, dan tidak bisa dipotong (ada beberapa percakapan singkat dalam pementasan). Ia menari dengan gerakan yang lebih garang dan berputar kesana-kemari untuk memberikan kesan sebagai pimpinan yang paling kuat dan berkuasa.
Arya Penangsang berdiri gagah mengawasi prajurit
Arya Penangsang berdiri gagah mengawasi prajurit Soreng digambarkan sedang gladi perang (latihan perang) untuk persiapan menghadapi serangan dari Pajang. Ia juga berjalan dengan tangan mengepal, mata melotot, dan sesekali berbisik kepada Patih Mataun (patih tua yang digambarkan kurus, lemah, dan seringkali batuk-batuk)
Arya Penangsang menggunakan kostum merah menyala
Merah menyala adalah lambang dari nyala api yang siap membakar, bisa juga diartikan sebagai kemarahan, keangkuhan, dan haus kekuasaan.
Arya Penangsang berkumis tebal seperti kelabang melintang
Kumis tebal seperti kelabang melintang membangun persepsi sebagai sosok yang kasar dan kejam.

Pementasan diawali dengan narasi singkat oleh salah satu pemusik yang melukiskan jatidiri Arya Penangsang dan Laskar Soreng dari Kadipaten Jipang Panolan. Alunan musik pelan mengiringi kedatangan Adipati Arya Penangsang, Patih Mataun, dan Laskar Soreng di atas panggung. Alunan musik mulai menjadi keras saat para Laskar Soreng melakukan latihan peperang di alun-alun Kadipaten Jipang Panolan.
Sang Adipati yang didampingi patih Mataun merasa bangga melihat semangat dan kehebatan prajuritnya berlatih keras jika suatu saat harus melakukan peperangan. Sultan Hadiwijaya dan Kesultanan Pajang yang selama ini dianggap sebagai musuh sewaktu-waktu bisa bertemu dalam peperangan. Sesekali irama keras dari alunan musik yang memekakkan telinga membangun kesan bahwa Laskar Soreng adalah prajurit pilihan yang tidak akan bisa dikalahkan dalam setiap peperangan.

Penulis adalah dosen dan peneliti pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang