Tari Soreng dari Lereng Merbabu: Kisah Pertarungan Dua Ksatria Jawa

tari-soreng-dari-lereng-merbabu-kisah-pertarungan-dua-ksatria-jawa
Tari soreng mengangkat kisah Aryo Penangsang.(Foto: Sukarjo Waluyo)
Iklan terakota

Terakota.idTari Soreng adalah tari tradisional Jawa, berupa tari keprajuritan. Tari keprajuritan ini populer di lereng utara Gunung Merbabu, tepatnya di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Sesungguhnya mengisahkan salah satu legenda peperangan yang pernah terjadi di tanah Jawa.

Pementasan diawali dengan narasi singkat oleh salah satu pemusik yang melukiskan jatidiri Arya Penangsang dalam lagu Jawa. Uniknya, meskipun  ditampilkan sebagai sosok antagonis, Arya Penangsang tampak dominan dan menjadi tokoh terpenting dalam tarian tersebut.

Sementara itu, keberadaan kuda perang Gagak Rimang, Laskar Soreng, Patih tua Mataun, dan kebesaran Kadipaten Jipang Panolan tampak dihadirkan untuk membangun kegagahan tokoh Arya Penangsang sang Adipati Jipang Panolan. Alunan musik pelan mengiringi kedatangan Adipati Arya Penangsang, Patih Mataun, dan Laskar Soreng di atas panggung.

Alunan musik mulai menjadi keras saat para Laskar Soreng melakukan latihan peperang di alun-alun kadipaten. Sang Adipati yang didampingi patih Mataun merasa bangga melihat semangat dan kehebatan prajuritnya berlatih keras jika suatu saat harus melakukan peperangan. Sultan Hadiwijaya dan Kesultanan Pajang yang selama ini dianggap sebagai musuh sewaktu-waktu bisa ancaman. Sesekali irama keras dari alunan musik yang memekakkan telinga membangun kesan bahwa Laskar Soreng adalah prajurit pilihan yang tidak akan bisa dikalahkan.

Saat mengawasi prajuritnya gladi perang, Arya Penangsang dikejutkan dengan kedatangan seorang pekatik (pemelihara kuda) kuda Gagak Rimang yang penuh darah karena terpotong sebelah telinganya. Sementara itu, pada telinga yang lain digantungkan sebuah surat. Surat itu diambil oleh Patih Mataun dan diserahkan kepada Arya Penangsang.

Setelah dibuka dengan tangan kiri, Arya Penangsang membaca surat ditujukan kepadanya. Ternyata isi surat tersebut adalah tantangan dari Sultan Hadiwijaya kepada Arya Penangsang untuk berperang tanding seorang diri. Isi surat dalam tari Soreng biasanya mengambil dari bagian Babad Tanah Djawi yang ditembangkan:

„Pèngeti Lajang-ingsoen kangdjeng soeltan Padjang toemekaa marang arja Panangsang. Lir ing lajang: jèn sira njata wong lanang sarta kendel, pajo, prang idjèn, adja nggawa bala, njabranga marang sakoelon bengawan saiki. Soen-entèni ing kono.”

Terjemahan:

“Ingatlah. Surat Kanjeng Sultan Pajang sampaikan kepada Arya Penangsang. Jika engkau nyata-nyata laki-laki serta berani, ayo perang tanding, jangan membawa prajurit, menyeberanglah sekarang ke sebelah barat sungai. Aku tunggu di situ.”

tari-soreng-dari-lereng-merbabu-kisah-pertarungan-dua-ksatria-jawa
Tari Soreng lestari dan dimainkan secara temurun di Gunung Merbabu, Jawa Tengah. (Foto: Sukarjo Waluyo)

Setelah selesai membaca surat tantangan ditujukan kepadanya, Arya Penangsang segera meledak kemarahannya. Ia mulai mengamuk kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Matanya melotot dan wajahnya merah menyala. Tangannya mengepal dan jalannya kesana-kemari karena merasa tak tahan dihina dengan kasarnya. Ia adalah seorang pangeran dari trah Kesultanan Demak.

Ia adalah cucu Raden Patah (pendiri Kesultanan Demak Bintoro) dan anak Raden Kikin (putra Raden Patah kedua). Sementara itu, Hadiwijaya hanyalah seorang pemuda desa Tingkir yang beruntung karena bisa mengabdi sebagai prajurit Kesultanan Demak Bintoro. Hadiwijaya juga beruntung dijadikan menantu oleh Sultan Trenggana hingga bisa memiliki kedudukan sebagai seorang Adipati di Pajang (bahkan selanjutnya menyebut dirinya Sultan pajang).

Patih Mataun dan Laskar Soreng yang berusaha meredam kemarahan Arya Penangsang tidak mampu menghalangi niat sang adipati untuk segera menghadapi tantangan perang tanding di tepi barat Bengawan Sore tersebut. Dengan menunggang kuda perang Gagak Rimang kesayangannya, Arya Penangsang dengan gagah berani berangkat menuju medan peperangan. Sementara itu, Patih Mataun dan Laskar Soreng mengikuti di belakangnya.

tari-soreng-dari-lereng-merbabu-kisah-pertarungan-dua-ksatria-jawa
Tari keprajuritan, tari soreng mengisahkan perang antara Adipati Arya Penangsang Melawan Danang Sutawijaya (Foto: Sukarjo Waluyo)

Perang Adipati Arya Penangsang Melawan Danang Sutawijaya

Tari Soreng lebih menonjolkan ketokohan Arya Penangsang dan Danang Sutawijaya, sedangkan Sultan Hadiwijaya tidak muncul dalam pementasan. Danang Sutawijaya adalah anak Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya. Hal tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut.

Pertama, upaya membangun persepsi Hadiwijaya adalah seorang Sultan Pajang yang kuat. Tari Soreng tampak berusaha membangun persepsi bahwa Hadiwijaya sudah menjadi seorang Sultan Pajang yang kuat. Suatu hal yang tidak pantas seorang raja atau sultan datang langsung ke medan perang. Seorang sultan cukup mengutus seorang senapati untuk menghadapi lawan yang tidak sebanding dengannya.

Kedua, membangun persepsi Arya Penangsang sebagai pemberontak. Tari Soreng  tampak membangun persepsi Arya Penangsang sebagai pemberontak dari wilayah kecil yang tidak sebanding dengan Kesultanan Pajang. Kekalahan tragis dan kehancuran adalah konsekuensi yang harus ditanggung seorang pemberontak.

Ketiga, mengeksploitasi kepahlawanan Danang Sutawijaya. Hal ini menunjukkan bahwa tari Soreng lebih muda daripada kethoprak  atau bahkan muncul setelah era Kesultanan Mataram Islam.  Kesultanan Mataram Islam yang pada awalnya berpusat di Kotagede (Yogyakarta) tersebut sangat mengagumi kepahlawanan Danang Sutawijaya sebagai pendirinya. Tokoh ini, setelah menjadi Raja Mataram, kemudian lebih dikenal sebagai Panembahan Senapati.