Pemandangan alam Gunung Bromo dari Bukit Seruni. (Terakota.id/Abdul Malik)
Iklan terakota

Oleh: Hafied Fasholi

Dalam konteks pariwisata berbasis alam yang menjadi tren pembangunan di tanah air serta berparalel dengan program pembangunan pariwisata nasional, alam telah ditempatkan sebagai komoditas utama. Sistem pariwisata yang demikian ini melihat alam sebagai aset ekonomi dan pijakan dari pembangunan (developmentalism) industri pariwisata. Ekspansi kapital berkembang secara masif.

Pada akhirnya, mulai dari fenomena alam pegunungan yang sejuk dan hijau sampai pada putihnya pesisir laut dan terumbu karang, terkooptasi menjadi daya tarik wisatawan dengan harapan memberi dampak signifikan bagi perekonomian daerah dan nasional. Sistem pariwisata ini seolah tampak menjadi urusan teknis yang bisa menyejahterahkan masyarakat serta melindungi alam. Untuk mendukung itu, segenap kebijakan terus diproduksi untuk mewadahi iklim investasi yang terus berkembang.

Uniknya, ada wacana-wacana populis dan ekosentrisme dibalik kebijakan tersebut. Salah satunya adalah menjaga kelestarian alam dan melibatkan masyarakat lokal untuk berperan dalam pembangunan pariwisata. Tapi, apakah kita yakin seperti itu? Padahal jika ditelusuri, ada ragam kontestasi. Dalam sistem tersebut. Sistem pariwisata kerap meninggalkan kondisi masyarakat lokal dan relasi keberadaan pariwisata berbasis alam yang ditopang industri pariwisata dengan alam saling menegasikan.

Pariwisata Alam, Privatisasi, dan Eksploitasi

Air, hutan, dan tanah merupakan sumber daya publik sebagai pijakan untuk kesejahteraan masyarakat (bonum commune). Sumber daya tersebut memiliki ikatan yang cukup kompleks dengan kehidupan masyarakat lokal di sekitarnya, seperti ikatan ekonomi, sosial, budaya bahkan spiritual.

Namun, tata hubungan antara manusia dan alam perlahan berubah ketika industri pariwisata yang katanya menyeimbangkan kelestarian alam di berbagai daerah (ekosistem meso) dengan pertumbuhan ekonomi mulai terbentuk. Dalam hal ini ada relasi kekuasaan yang tidak seimbang di antara keduanya, alam dipandang secara objektif seperti benda mati yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder manusia, yakni berwisata.

Alam yang sebelumnya dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia, kini telah sampai pada fase dimana manusia terdorong untuk mengembangkan tindakan-tindakan manipulatif berbentuk mekanisme adapatif yang rumit (complex adaptive mechanism) namun eksploitatif di setiap aras ekosistem mikro-meso-makro di seluruh pelosok bumi.

Berbagai kepengaturan digambarkan secara teknis agar alam mampu beradaptasi dengan kegiatan manusia guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kelestarian alam hanya sebagai ritus-ritus suci dari sistem pariwisata untuk mendogma wisatawan agar mereka datang melihat alam yang mereka impikan sedari niat berwisata. Tentunya dengan duit yang mereka bawa. Kepengaturan tersebut dapat kita telisik melalui peraturan daerah, provinsi, sampai pada pemerintah pusat, semuanya mengamini perlunya pembangunan pariwisata yang melibatkan korporasi atau investor.

Biasanya peraturan tersebut dibungkus dalam sistem yang kolaboratif, dimana pemerintah, investor dan masyarakat saling bersinergi dalam pembangunan pariwisata dengan tujuannya yakni menjaga kelestarian alam.

Peraturan tersebut kemudian membentuk suatu iklim investasi dalam pembangunan resort mewah, hotel berbintang, sampai pada menjamurnya hotel-hotel melati.

Dalam analisa ekologi-politik, melihat konteks pembangunan tersebut sangat sempit jika hanya menggunakan sudut pandang kelestarian alam.

Jika ditelisik lebih dalam, para aktor yang membentuk ruang kekuasaan dalam memproduksi pengaturan tentang pariwisata berbasis alam, syarat akan ideologi untuk memaksimalkan laba (profit-maximizing economy) yang selalu melakukan kalkulasi benefit and cost analysis dalam operasional praktek ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi) sehingga mengukuhkan proses kehancuran sumberdaya alam dan lingkungan. Alam dan kelestarian lingkungan hanya menjadi kedok seperti jargon-jargon “eco-tourism” yang menjadi tendensi rusaknya ekosistem.

Penulis Hafied Fasholi dari Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Malang (Dok. Pribadi)

Eksploitasi dan Kontestasi Pariwisata Daerah

Untuk membuktikan fenomena di atas, coba kita tengok konsep pariwisata berbasis alam di Kota Batu.Berkenaan sisi eksploitatif pariwisata, tak bisa dilepaskan dari kondisi geografis Kota Batu yang menyediakan berbagai sumber daya alam. Tanah yang subur, sumber mata air melimpah, serta hutan yang masih berdiri merupakan sumber daya yang tersimpan di kota ini.

Sebagai sumber daya publik, kekayaan alam Kota Batu telah lama menyokong kehidupan masyarakat, seperti pada sektor pertanian dan perkebunan. Menurut data yang ada, daerah ini memiliki 111 titik mata air yang mampu menyokong 2/3 kehidupan masyarakat Jawa Timur.Namun, sayang diantara titik mata air tersebut, ditemukan hampir 50% titik telah mati dan berkurang debit airnya dari tahun ke tahun. Selain itu, juga terdapat ribuan hektar hutan yang botak akibat alih fungsi lahan.

Matinya sumber mata air, bukan semata-mata diakibatkan oleh sektor pertanian yang diolah warga sebagai penyokong kehidupan warga Batu.Pemerintah seolah lupa bahwa iklim investasi di sektor pariwisata juga mengantarkan dampak besar terhadap sumber mata air, seperti pembangunan hotel mewah maupun hotel melati yang membutuhkan air untuk dikonsumsi oleh wisatawan.

Tercatat pada tahun 2014 ada 500 hotel dengan 5.484 kamar, belum lagi pertumbuhan industri pariwisata buatan yang mengatasnamakan edukasi, serta pertumbuhan hunian exclusive. Tingginya kandungan air tanah memicu penggunaan air untuk industri tersebut semakin tinggi dan cenderung terjadi privatisasi serta eksploitasi air.

Contohnya adalah konflik di sumber mata air Ranu Gemulo, Bumiaji, sumber mata air sebagai sumber daya publik masyarakat terancam rusak karena adanya privatisasi yang diupayakan oleh salah satu hotel sebagai bagian unit bisnis industri pariwisata Kota Batu sehingga memantik perlawanan masyarakat Batu.

Melanjutkan upaya privatisasi dan eksploitasi industri pariwisata terhadap alam dapat kita telisik dari peristiwa “Bali Tolak Reklamasi!” akibat penerbitan Peraturan Presiden No.52 tahun 2014 oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya reklamasi berkedok revitalisasi Teluk Benoa yang sebelumnya adalah kawasan konservasi tidak hanya berpengaruh pada industri-industri kecil masyarakat di sekitar dari sisi ekonomis, namun berpengaruh pada kerusakan ekosistem meso yang menyebabkan ancaman banjir rob, sosial, dan ikatan budaya atau spiritual masyarakat Bali.

Untuk ikatan spiritual, agama Hindu sendiri mengajarkan keterikatan manusia terhadap alam yang diperjelas menurut Atharwa Weda XII, 1.1, bahwa “Kebenaran yang Maha Besar, Hukum Alam yang harus dipatuhi, pengabdian, kesederhanaan, doa dan pengorbananlah yang dapat mempertahankan bumi ini sehingga dapat terus berlangsung”.  Perlu diketahui, secara spiritual, Teluk Benoa, Pura Sakenan dan Gunung Agung adalah gugusan sipiritual yang diyakini menjaga pulau Bali, dan jika ini terganggu maka akan berpengaruh pada masyarakat Hindu di Bali.

Kontestasi paling kuat adalah dimana ruang pariwisata dipunggungi oleh masuknya sektor lain yang dirasa menguntungkan tapi dengan dampak eksploitasi besar-besaran, seperti pertambangan. Fenomena ini terjadi di Pulau Merah yang dipetakan dalam RTRW Kabupaten Banyuwangi tahun 2012-2032 dan dimasukkan sebagai kawasan suaka alam laut serta bagian dari WPP III (Wilayah Pengembangan Pariwisata) daerah.

Promosi untuk pariwisata di daerah ini sangat gencar ketika itu, sampai-sampai menggelar event surfing internasional dengan diimbangi pembangunan fasilitas dan infrastruktur untuk menunjangnya. Perlahan ada kontestasi yang memuai, pasca IUP (Izin Usaha Pertambangan) dikeluarkan oleh pemerintah setempat untuk mengeksploitasi Gunung Tumpang Pitu yang kandungan emasnya bahkan melebihi Batu Hijau, Sumbawa, NTB yang dieksploitasi oleh PT Newmont (sekarang PT Amman Internasional). Akibatnya lumpur hasil eksploitasi perusahaan milik Sandiaga Uno ini mencemari kawasan wisata Pulau Merah dan mata pencaharian penduduk yang meliputi pertanian sampai pada nelayan.

Pendekatan konservasionistik yang cenderung ke ekofasisme juga mengatasnamakan pariwisata berbasis alam dan hewan-hewan dilindungi sebagai kesatuan ekosistem. Hak masyarakat adat yang mempunyai ikatan kuat terhadap tanah mereka di hutan, kini dirampas dan diusir atas nama kepentingan kelestarian alam, flora dan fauna di dalamnya. Mereka dipersalahkan karena selama ini, cara-cara perekonomian masyarakat untuk hidup dianggap eksploitatif, sehingga mereka diusir dan dihadirkan beragam kepengaturan untuk kesejahteraan mereka.

Peristiwa ini terdapat dalam terusirnya masyarakat asli di Taman Nasional Lore Lindu dan Taman Nasional Komodo. Beragam kepengaturan dengan alasan memperadabkan mereka dalam ritus-ritus modernitas serta janji-janji kesejahteraan justru acapkali dilupakan dan mengakibatkan carut-marut konflik vertikal serta memperlebar jurang kemiskinan secara struktural.

Permasalahan Lingkungan dan Prioritas Politik

Kerusakan alam akibat industri pariwisata yang masif sangat kentara sekali jika kita menyebut akibat dari sistem politik-oligarkis yang terlembaga (politisi-birokrat-pengusaha). Urusan-urusan kerusakan lingkungan tidak bisa dipandang sebagai urusan administratif atau teknis seperti penerbitan AMDAL maupun ANDAL, karena urusan lingkungan hidup seutuhnya merupakan persoalan kekuasaan.

Melalui tata aturan legal yang mereka produksi, semakin memperbesar dampak kehancuran dari industri pariwisata.Tidak bisa dipungkiri, logika dalam memaknai alam seperti ini menempatkan alam sebagai benda mati atau objek yang harus mengikuti logika pembangunan.

Dalam lingkup ekologi-politik, bingkai permasalahan lingkungan sangat kompleks adanya karena bertautan dengan beberapa bidang, dimana para aktor saling tarik-menarik untuk menguasai diantaranya, yaitu: (1) ilmu pengetahuan, (2) power, (3) praktek atau operasionalisasi kegiatan ekonomi, (4) politik, (5) keadilan, (6) tata-pengaturan atau governance, baik dalam ruang-konflik maupun ruang-kekuasaan.

Membayangkan hal ini, (meminjam kata Tania Murray Li) mengibaratkan negara sebagai wahana netral yang mengabdi pada kesejahteraan masyarakat dan lingkungan dalam sektor pariwisata merupakan kenaifan. Coba kita lihat bagaimana proses izin pengusahaan lingkungan untuk pariwisata yang banyak diterbitkan dan wilayah konservasi yang diturunkan statusnya, meskipun disamping itu juga terdapat legalitas yang menguatkan hak masyarakat atas alam mereka.

Tanpa adanya pengawasan yang ketat serta keterlibatan masyarakat dan LSM yang peduli, maka ruang kontestasi atas pemanfaatan lingkungan untuk pembangunan semakin menganga. Oleh sebab itu, untuk mengawal bagaimana persoalan alam untuk menahan gempuran pembangunan, harus ada keputusan politik yang harus diprioritaskan.

Banyak gambaran bahwa pendapat yang demikian ini makin mengukuhkan ekofasisme yang memihak alam daripada masyarakat, tapi jika kita melakukan pendekatan dialogis dalam wilayah individual, wilayah kemasyarakatan (sistem sosial), sampai pada makro-politik (negara) dengan mengutip Arya Hadi Dharmawan yang solutif, ada kemungkinan keseimbangan antara manusia dan alam, termasuk membendung segenap usaha industri parwisata yang eksploitatif.

Dari aras individual, diperlukan adanya proses pendidikan dan pembelajaran yang mampu membangkitkan kesadaran individual dan perubahan etika-moral untuk menekankan pentingnya ekosistem bagi kehidupan manusia secara berkelanjutan. Sedangkan dari aras wilayah kemasyarakatan, harus ditumbuhkan kelembagaan dan sistem hukum seperti struktur ala Durkhemian yang mampu mengatur perilaku yang akrab lingkungan dan adanya sanksi bagi mereka yang tidak sadar lingkungan.

Terakhir dalam aras negara, diperlukan perjuangan politik-ekologis yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup sebagai putusan politik yang termanifestasi dalam kebijakan negara. Selain itu, ada konsep pariwisata yang justru menghargai alam dengan mengutamakan masyarakat lokal di sekitar destinasi pariwisata seperti tourism based community.

Konsep pariwisata tersebut sangat minim eksploitatif karena adanya ikatan pertanggung jawaban terhadap kondisi sosial dan ekologis.Misalnya dalam hal ini, masyarakat bisa memetakan dan mengelola potensi pariwisata secara mandiri untuk kehidupan bersama. Tentunya konsep ini harus didukung dengan beragam penyadaran dari aras individual dan kemasyarakatan seperti di atas dan perhatian dari pemegang kekuasaan (pemerintah).

Jangan sampai, pemerintah menggulirkan konsep ini beriringan dengan masuknya industri pariwisata makro di sekitar masyarakat lokal.Apabila itu terjadi, saya sangat meragukan konsep pembangunan pariwisata terpadu, karena masyarakat sendiri tidak mempunyai modal dan minim SDM sehingga rawan digerus oleh aktivitas industri pariwisata makro.

*Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Malang