
Oleh : Nurudin*
Terakota.id–Saat mengajar mata kuliah “Dasar-dasar Penulisan”, tiba-tiba saya melepas salah satu sepatu. Sepatu itu lalu saya taruh di lantai tengah kelas yang memungkinkan semua mahasiswa melihat. Kemudian saya bertanya pada mahasiswa, “Coba buat kalimat berdasarkan sepatu ini, “kata saya sambil menunjuk sepatu di depan kelas tersebut.
Ada banyak ragam pendapat yang muncul; (1) sepatu warna hitam, (2) sepatu tanpa pasangan, (3) sepatu butut, (4) sepatu yang menghadap ke utara, (5) sepatu tanpa kaos kaki, (6) sepatu pak Nurudin, dan lain-lain jawaban yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Saya kemudian bertanya lagi, “Mengapa jawabannya berbeda-beda? Padahal objeknya sama bukan?” Saya tidak menunggu jawaban mahasiswa. Saya lalu menjelaskan perihal menulis sebagaimana nama mata kuliah ini. Bahwa terhadap objek yang sama bisa jadi seseorang mempunyai beragam tulisan.
Memang objeknya bisa jadi sama, tetapi akan dibuat secara berbeda. Ini tentu baru menyangkut benda mati sebagaimana sepatu atau hanya satu objek yang dijadikan sasaran. Bagaimana jika itu menyangkut benda hidup? Bagaimana pula jika menyangkut banyak objek? Puluhan, ratusan, ribuan yang harus dibuat dalam sebuah kalimat secara ringkas, padat dan menjelaskan? Tentu ini tidak mudah dilakukan, bukan? Dan tentu juga tidak akan sama satu sama lainnya, meski objeknya sama.
Dengan demikian apakah jawaban para mahasiswa saya itu salah semua? Tidak. Mereka membuat kalimat jawaban berdasar latar belakang pribadi, lingkungan keluarga, organisasi yang diikuti, pengetahuan, pengalaman, pekerjaan, kepentingan dan kondisi lain dirinya. Mereka melihat dari sudut pandang masing-masing. Meskipun kelimat mereka tidak lengkap, paling tidak bisa menggambarkan wujud lahiriah sepatu saya. Tentu saja, akan lebih lengkap penggambarannya jika semua pendapat itu digabung menjadi satu. Apakah ini memungkinkan? Tentu ada banyak faktor yang ikut memengaruhinya.
Framing di Sekitar Kita
Itulah yang dinamakan bingkai (framing). Seseorang tentu mempunyai bingkai tersendiri dalam pikirannya. Bingkai seseorang dengan orang lain tentu berbeda. Ini pulalah yang menyebabkan ada beragam pendapat tentang sebuah objek, termasuk sepatu saya di depan kelas sebagaimana disebutkan di atas.
Ini baru menyangkut individu. Tentu saja, lembaga, institusi, organisasi atau komunitas lain mempunyai framing berdasarkan kesepakatan masing-masing. Framing ini berasal dari tujuan dibentuknya organisasi/lembaga/institusi/komunitas, kepentingan, era, kapan, dimana dan apa yang ikut memengaruhinya. Individu-individu yang berada dalam organisasi itu sedikit banyak akan terpengaruh oleh framing yang dipunyainya itu. Ini tentu alamiah.
Bagaimana dengan informasi dari media massa? Tentu media tetap punya framing. Kalau begitu tidak ada berita yang objektif, bukan? Jangan buru-buru menyimpulkan. Memang tidak ada berita yang benar-benar objektif. Dalam ilmu sosial ini tolok ukurnya beda-beda tergantung kesepakatan bersama. Bukankah terhadap objek yang sama, berita bisa berbeda dalam penyajiannya? Lihat saja perbedaan pemberitaan masing-masing dari lembaga media.
Itulah framing. Framing tergantung realitas yang ada. Contohnya begini. Terjadi kecelakaan di jalan tol. Seorang wartawan yang melihat akan mengumpulkan bahan-bahan. Tentu ia harus memilih dan memilah fakta-fakta mana yang cocok untuk ditulis jadi berita. Dalam posisi ini ia sudah membingkai fakta-fakta itu. Ini realitas pertama. Realitas ini tergantung pada konstruksi pikiran individu wartawan yang menulis. Wartawan satu dengan wartawan lain tentu berbeda dalam framing pikirannya.
Kemudian, ia menulis berita dari realitas pertama itu untuk diberikan ke redaktur. Sebut saja berita yang diberikan ke redaktur itu realitas kedua. Redaktur berdasar pengalaman, kepentingan, kedudukan dan kait mengkait dengan pihak lain akan mengedit berita dari lapangan itu. Ini namanya juga framing media yang dibuat oleh redaktur.

Maka, sangat mungkin framing individu wartawan akan menjadi berbeda jika sudah masuk ke framing redaktur. Redaktur tentu akan memilih dan memilah, berita itu harus masuk di headline atau halaman lain, kepentingannya apa, bagaimana kebutuhan pembaca, bahkan kaitanya dengan kepentingan politik. Jika pembaca (misalnya media cetak) menyimak berita, maka ia membaca berita hasil framing media itu. Maka, fakta-fakta kecelakaan yang terjadi bisa jadi telah berbeda jika sudah diframing dan dikonsumsi pembaca.
Maka tak heran jika dalam peliputan pertandingan sepak bola, ada yang fokus pada wasitnya, jalannya pertandingan, emosi suporter, atau suasana penonton yang tak dapat tempat duduk. Mungkin juga ada yang justru meliput penjual tahu yang berada di luar stadion. Bisa jadi ia wartawan kuliner yang lebih tertarik pada penjual tahu daripada pertandingan. Apakah mereka salah? Tentu tidak. Mereka punya framing sendiri-sendiri.
Jadi berita yang kita konsumsi setiap hari itu sudah melalui berbagai macam bingkai-bingkai tertentu. Tentu saja, menjelaskan bingkai tidak akan selesai dalam sebuah tulisan. Ada banyak tali temali yang mengikutinya. Dari sini, Anda bisa melihat bagaimana framing media A, B, atau C. Framing nyata terjadi dan ada di sekitar kita. Tidak usah merasa tertuduh atau tersudut bahwa apa yang dikatakan seseorang itu juga penuh dengan bingkai atau framing.
Tentu framing media mainstream lebih ketat dan lebih bisa dipertangggungjawabkan karena memakai berbagai sudut pandang. Nah, lebih celaka lagi framing yang dibangun oleh seseorang saja, misalnya yang terbaca dalam status media sosialnya. Tentu orang ini mempunyai kepentingan yang dibingkai dalam status.
Jangan heran, seseorang itu menulis status, komentar, menyebar link karena sesuai dengan kecenderungan, kepentingan dan kebutuhan pribadinya. Sangat sulit dikatakan seseorang menyebar link itu hanya sekadar menyebar. Tentu ia punya kepentingan tertentu. Dengan kata lain, orang menulis status, menyebar link/gambar/video atau mengonsumsi informasi sering disesuaikan dengan kecenderungan dirinya.
Kepentingan
Yang lebih tragis lagi jika informasi dari framing individu yang penuh kepenting itu buru-buru dipercaya lalu disebar ke orang lain. Jadilah framing-framing yang sangat mungkin tidak bisa dipertanggung jawabkan. Grup dalam WA atau line itu juga penuh dengan framing. Kepentingan-kepentingan untuk menguatkan solidaritas kelompok meski dengan menyebar kebencian seringkali tetap dilakukan. Dari sinilah hiruk pikuk munculnya hoaks bisa diteliti lebih lanjut.
Apakah dengan demikian kita tidak perlu membaca dan mendengar orang lain? Tentu saja tidak seperti itu. Tidak sesederhana itu pula. Mendengar dan membaca tetap harus ada. Niat untuk mencari informasi baik tetap perlu ditempatkan di garda depan. Tentu saja tidak perlu menelan mentah-mentah. Ini sebenarnya soal normatif, karena dalam pelaksanaannya tidak mudah dilakukan.
Secara sederhana saya pernah menyarankan pada mahasiswa untuk membaca dan menyimak informasi dari berbagai macam bingkai media. Itu akan membuat mereka lebih luas wawasan. Jadi informasi tidak hanya dari satu sumber saja, apalagi terus disebarkan ke orang lain. Inilah awal munculnya petaka penyebaran informasi yang menyebabkan situasi makin keruh.
Apakah para pejabat-pejabat politik yang selama ini berteriak-teriak lantang dan kadang tendesius itu punya framing? Tentu saja. Apakah politisi-politisi oposisi yang mudah membuat opini itu mempunyai framing pula? Tak jauh beda. Framing itu bisa juga diartikan bagian dari kepentingan tertentu. Tulisan ini pun jangan-jangan dianggap punya framing juga?

*Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Penulis bisa disapa lewat Twitter : @nurudinwriter IG: nurudinwriter

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi