Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh aju luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun
Paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala
Gunane wong luput, pan geni tanapi tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami,
Guna duduk pan sirna……
Terakota.id–Kidung Purwojati mengalun di gedung Dewan Kesenian Malang (DKM), Jumat malam 20 Maret 2020. Harum dupa menguar, Ki Ardi Purbo Antono ngidung dengan khusuk, sembari memanjat doa semoga wabah corona atau pageblug (banyak orang yang sakit) berakhir. Kidung Purwojati ditulis Sunan Kalijaga.
“Juru kunci Gua langse, Surowiti masih menyimpan lontar kidung purwojati,” katanya. Lontar ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa. Sehingga masyarat Jawa mudah memahami. Bukan menggunakan bahasa maupun aksara arab. Bahkan secara turun temurun melakukan ritual tolak balak, yang tersirat dan tersurat dalam kidung yang menjadi karya agung Sunan Kalijaga.
Kidung ini diwariskan secara turun temurun, dan dilestarikan sampai sekarang orang para santri dan pengikut Sunan Kalijaga. Keyakinan dan kepercayaan ini, katanya, menjadi ngeli ning ojo keli, obah ning ora owah. Artinya mengikuti arus perjalanan zaman tapi kita tak terbawa arus zaman. Petuah ulama dan leluhur, katanya, menjadi pegangan. Kebaradaan kidung Purwojati, tak lepas dari keteladanan leluhur dan ulama terdahulu.
“Mari bersama-sama berdoa. Bertawasul, berwasilah ke kanjeng Sunan kalijaga sampai ke Nabi Muhammad. Semoga doa dikabulkan demi memahyu hayuning bawana, untuk keselamatan seluruh alam, rahmatan lil alamin,” tutur Ki Ardi .
Ngidung tolak balak dan doa diikuti tujuh orang, terdiri atas seniman Kota Malang.Salah satunya sastrawan dan guru besar Bahasa Indonesia Profesor Djoko Saryono. Menurut Djoko, kidung tolak balak wabah virus corona ini menjadi sarana meneguhkan hati dan memperkuat keyakinan.
“Dalam tradisi Jawa, setahu saya pagebluk sebagai bagaian dari menyeimbangkan semesta,” katanya. Setiap pageblug ada makna yang paling dalam. Saat yang tepat kembali ke agama. Selama ini, banyak yang berpraktik beragama tapi tidak ber-Tuhan. Sejatinya, katanya, agama merupakan ke-Tuhanan yang berbudaya dan kemausiaan. Kembali ke esensi ke-Tuhaan.
Pandemi atau wabah dahsyat yang skalanya luas terjadi sejak abad ke 7 sebelum masehi, Setiap wabah pandemi besar disebabkan jamur, bakteri dan virus. Ketiga makhluk seperti bertugas bergantian. Wilayah yang menjadi sumbar muasal selalu berbeda. Bergilir. “Mendapat jatah arisan,” katanya.
Pandemi tak mengenal batas Negara dan agama. Wilayah agama semua rontok, wabah corona menyerang semua agama. Doa, ujarnya, menjadi bahasa paling jernih dan optimistis. “Setidaknya ingat doa, ingat Tuhan. Hari ini kita memerlukan Tuhan,” katanya.
Saat wabah kali ini, yang paling banyak terjadi caci maki, silang sengkarut, saling menyalahkan dan saling memanfaatkan Untuk itu, Djoko mengajak semuanya untuk bersama-sama berdoa dengan doa tolak balak. “Kembali lagi ke hal yang esensial. Selain doa, yang paling esensial mari kembali ke rumah masing-masing. Baik rumah batin rumah rohani maupun rumah fisikal,” ujarnya.
Dalam kebudayaan kita memiliki doa tolak balak. Meski sudah lama, pada zaman Islam masuk mengalami adabtasi. Salah satu di antaranya yang popular, dan mudah diingat kidung tolak balak Sunan Kalijaga. “Dia yang menciptakan kidung sehingga menjadi bagian hidup bagi orang Jawa. Meski tak hanya di Jawa, jejaknya sampai di Thailand selatan,” katanya.
Djoko menyebut tak banyak yang tahu mengenai kidung atau doa tolak balak ini. Selama ada wabah pandemi atau pageblug, katanya, selalu erat dengan doa. Hal itu, terekam dalam cerita dan karya sastra. “Doa bagian dari usaha melawan wabah. Mawas dan rasa. Rasa kita kembali murni dan bersih. Sehingga agama menjadi jalan menemui Tuhan,” ujarnya.
Doa tak hanya pasrah namun juga medium untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Daripada semua saling bermusuhan, serta ada sahwa sangka di antara umat beragama.
“Kita mengambil pilihan jalan yang berbeda dari yang berkembang. Setidak-tidaknya yang berkembang di media social matinya agama. Ini justru waktunya pemurnian agama. Menempatkan agama di dalam Ketuhanan berkebudayan dan berkemanusiaan.,” katanya.
[…] Tangkal Pageblug dengan Kidung Purwojati Sunan Kalijaga […]
[…] Tangkal Pageblug dengan Kidung Purwojati Sunan Kalijaga […]
[…] “Kita mengambil pilihan jalan yang berbeda dari yang berkembang. Setidak-tidaknya yang berkembang di media social matinya agama. Ini justru waktunya pemurnian agama. Menempatkan agama di dalam Ketuhanan berkebudayan dan berkemanusiaan,” katanya. (sumber) […]