Bartleby
Terakota.id–Salah satu cerita pendek (cerpen) karya sastrawan besar Amerika Serikat Herman Melville (1819-1891) kesukaan saya adalah “Bartleby, the Scrivener” (terbit pertama kali 1853). Pertama kali saya membacanya secara utuh adalah pada 2010. Saat itu, saya sedang menjadi asisten dosen (teaching assistant) di kampus saya belajar, Clark University di Massachusetts. Dosen pengampu meminta para mahasiswa membaca Bartleby dan, tentu saja, saya pun sebagai asdos perlu membacanya. Karena, bagaimana mungkin saya dapat mengomentari ulasan yang ditulis para mahasiswa atas cerpen itu jika saya sendiri tidak mengetahui ceritanya.
Demikianlah awal perkenalan saya dengan Bartleby. Saya membaca cerita pendek yang cukup panjang ini dalam sekali libas. Sambil menyeruput kopi Sumatra di sebuah kedai kopi lokal di suatu hari di musim dingin yang menggelap lebih awal, saya menikmati narasi yang digelar oleh Melville melalui mulut sang narator, pengacara paruh baya pencinta ketenangan yang adalah atasan Bartleby. Saya merasa seperti mendengar pengacara itu mencerocos di hadapan saya dan mengalirkan kisahnya. Mungkin terdengar agak dramatis, tetapi begitulah kesan saya. Saya seperti melihat narasi itu terbangun dari situasi dua dimensionalnya menjadi alam tiga dimensionalnya. Saya tidak seperti sedang menonton film di layar perak atau layar kaca; saya seperti masuk ke dalam dunia cerita.
Dan, dunia yang saya masuki itu penuh dengan tokoh-tokoh sehari-hari, yang meskipun tidak lazim tetapi saya bisa relate with. Ketika saya membaca Bartleby, saya berkenalan dengan para jurutulis atau jurusalin (scrivener), profesi yang sejatinya tidak saya kenal secara langsung. Saya tahunya adalah Pak Carik atau Mbak Sekretaris. Jurusalin yang diperkenalkan dalam Bartleby bertugas menyalin dokumen legal yang perlu diperbanyak untuk kepentingan pengadilan atau lain-lain. Dan, karena pentingnya dokumen tersebut, mereka perlu menyalinnya dengan seakurat mungkin sesuai dengan dokumen aslinya. Mereka bahkan mesti mau meluangkan waktu khusus setelah selesai menyalin untuk mengoreksi hasilnya dengan cara mencocokkan bersama-sama. Seseorang membaca keras-keras dokumen yang asli sementara yang lain mencermati salinan-salinannya. Seorang memegang satu salinan.
Pengacara kalem yang menjadi narator kisah atau reflector of fiction Bartleby pada mulanya memiliki dua jurusalin dan seorang magang. Ketiganya eksentrik. Yang pertama disebut Turkey, seorang yang sebaya dengan sang narator dan memiliki ‘kebiasaan’ menyalin dengan rapi dan bersikap secara santun di paruh pertama kerja (pagi sampai siang), tetapi berubah menjadi temperamental dan ceroboh di paruh kedua. Jurusalin yang kedua dinamakan Nipper, seorang perlente yang memiliki ‘kebiasaan’ berkebalikan dengan Turkey.
Nipper sangat pemarah dan ceroboh dalam kerja pada pagi sampai siang, tetapi menjadi tenang dan dapat diandalkan setelah istirahat siang sampai sore hari. Turkey dan Nipper saling melengkapi dan menutup kekurangan yang lain. Karyawan yang ketiga adalah seorang pemuda magang yang sangat diharapkan oleh ayahnya dapat bekerja kantoran yang disebut Ginger Nut. Bocah ini belum diberi kepercayaan untuk menjadi jurusalin dan lebih sering diminta untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan pesuruh.
Karena kebutuhan pekerjaan, Bartleby direkrut menjadi jurusalin ketiga. Dia digambarkan sebagai sosok yang tidak banyak bicara, cak-cek dan efisien dalam bekerja. Sang pengacara, yang secara pribadi juga seorang yang pendiam dan tidak suka keributan, terlihat menyukai Bartleby. Dia bahkan menyinggat ruangannya agar Bartleby dapat memiliki satu sudut yang nyaman untuk bekerja.
Rafilus
Novel Budi Darma, Rafilus (terbit pertama kali 1988 oleh Balai Pustaka), dibuka dengan kalimat yang sekarang menjadi sangat terkenal (paling tidak, menurut saya): Rafilus mati dua kali. Ini adalah semacam kalimat tesis dan seluruh novel yang sangat hidup ini tampaknya menjelaskan tesis ini. Siapa itu Rafilus? Kenapa Rafilus? Kenapa Rafilus mati? Kenapa Rafilus mati dua kali? Bagaimana bisa begitu? Dan seterusnya.
Cerita Rafilus dikisahkan melalui narasi Tiwar, yang disebut laki-laki yang basah karena kata-katanya mampu menggerakkan hati dan pikiran orang. Tiwar sendiri tidak terlampau yakin akan hal itu, karena penilaian akan dirinya muncul bukan dari dirinya sendiri, melainkan dari tokoh Pawestri. Pawestri sendiri adalah perempuan miskin yang dijumpai dan dikenalnya secara tidak sengaja di kantor surat kabar ketika mengambil hadiah. Pawestri disukai Tiwar dan juga menyukainya, tetapi tampaknya Tiwar tidak akan dapat menyunting dan membuatnya hamil, seperti didambakan Pawestri, karena Tiwar mati pucuk.
Rafilus, seorang laki-laki yang kuat dan bak besi berani itu, secara fisik sangat menawan Pawestri dan dalam angan-angannya Pawestri membayangkan bergumul habis-habisan dengan Rafilus, tentu dengan seizin Tiwar. Dan, sampai taraf tertentu mereka berusaha mewujudkan angan-angan ini.
Di sisi lain, Rafilus adalah sosok yang kasar. Dia bukan laki-laki yang basah, seperti Tiwar. Dia mencoba membaca dan menulis, bahkan pernah mencoba menjadi mahasiswa, tetapi tidak seorang pun tampaknya menyukai dan membaca tulisannya. Tidak ada yang percaya bahwa orang yang sekasar dirinya dapat berpikir muluk atau abstrak. Novelnya yang telah terbit, berjudul Bambo, tidak pernah disentuh dan dibuka orang di perpustakaan. Ada sesuatu yang kasar, yang tak layak sentuh, dalam novel karya dan pikiran Rafilus. Ada sesuatu yang membuatnya layak dibenci, entah apakah sesuatu itu.
Tokoh-tokoh Itu
Saya tidak hendak mengatakan bahwa tokoh-tokoh baik dalam Bartleby maupun Rafilus sangat unik dan, karena itu, tidak dapat dijumpai dalam kehidupan nyata atau dibaca di berbagai karya sastra yang lain. Ada banyak tokoh dalam kehidupan nyata yang lebih unik daripada mereka. Dan, terdapat banyak sekali karya sastra yang lain yang juga menampilkan atau mengisahkan atau membangun kisah di seputar tokoh-tokoh yang unik. Bahkan, rasanya sulit sekali untuk mengatakan bahwa tidak ada karya sastra yang tokoh-tokohnya tidak unik. Gabriel Garcia Marquez, John Steinbeck, Ernest Hemingway, Pramoedya A. Toer, Mangunwijaya, Ahmad Tohari dan banyak sastrawan lain, selain mengandalkan tema, pasti juga bersandar pada tokoh dan penokohan yang unik untuk membangun kisah.
Yang hendak saya sampaikan adalah bahwa membaca Bartleby dan Rafilus membawa saya ke dalam tamasya pada tokoh-tokoh yang tidak hanya unik, tetapi juga sehari-hari. Bartleby, walaupun pada awalnya dilukiskan sebagai karyawan yang cekatan dan efisien, ternyata memiliki masa lalu yang membuatnya begitu murung dan menolak dunia dengan segenap sistem dan logikanya. Bartlebly bukan raja atau pangeran atau manusia setengah dewa. Dia adalah orang kecil.
Rafilus, walaupun dalam penokohan terdengar nyaris metafisik, juga bukan seorang dengan kekuatan adikodrati yang mampu melemparkan gada ke langit hingga menjadi petir atau seorang bertameng perisai dengan kekuatan super atau dewa yang mampu mendendam dan menjatuhkan hukuman pada bangsa-bangsa. Rafilus tetap seperti kebanyakan dari kita, dan akhirnya dia mati, seperti makhluk fana lain, bahkan sampai dua kali. Dia berusaha keras mengubah nasib, tetapi takdir berkata lain.
Cerita-cerita modern, berbeda dengan tradisi karya klasik, berkisah tentang manusia kebanyakan dan sehari-hari, lengkap dengan problematika dan dilema mereka. Ternyata, tokoh-tokoh kecil, manusia-manusia sehari-hari, mereka yang tidak akan bercerita dalam karya klasik, memiliki kisah yang layak didengarkan. Bisa jadi, inilah yang coba digaungkan dalam, salah satunya, Death of a Salesman (1949) karya Arthur Miller, dramawan asal Amerika Serikat, itu: DIa (Willy Loman, seorang wiraniaga) bisa jadi hanya manusia biasa, seorang ayah yang kurang berhasil, tetapi kisahnya layak didengarkan.
Di sekitar kita, ada banyak sekali kisah yang bisa didengarkan dan diangkat, jika saja kita punya waktu dan energi dan kemauan untuk mendengarkannya dan mengisahkannya.
Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.