Tak Sengaja Lewat Depan Rumahmu

tak-sengaja-lewat-depan-rumahmu
Ilutrasi @coepanggoceng/Poliklitik.com
Iklan terakota

Tak sengaja lewat depan rumahmu.

Kumelihat ada tenda biru.

Dihiasi indahnya jamur kuning.

Hati bertanya, “Pernikahan siapa?”

Tak percaya tapi ini terjadi

Kau bersanding duduk di pelaminan

Air mata jatuh tak tertahankan

Kau khianati cinta suci ini

Terakota.idDi atas itu lirik lagu “Tenda Biru” yang pernah dipopulerkan Desy Ratnasari. Desy Ratnasari tentu akan merasa kecewa karena pujaan hatinya akhirnya menghianati tanpa kabar. Cinta sucinya tercampakkan karena diberikan pada orang lain. Desy tak sengaja Desy lewat di depan tenda biru tempat dilangsungkannya pernikahan mantan pacarnya. Kekecewaan pun terjadi. Tanpa putusan, tanpa bicara, dan tanpa berdosa.

Tanpa sengaja atau gak sengaja sedang trending topic pembicaraan publik akhir-akhir ini. Mengapa? Tak lain adalah kasus Novel Baswedan. Penyidik Komisi Pemberantasi Korupsi (KPK) itu harus menelan  pil pahit. Pasalnya, 2 orang (Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis)  yang diduga menyiram air keras Novel habis sholat subuh hanya dituntut satu tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fedrik Adhar Syaripuddin.

Mengapa tuntutan satu tahun itu menarik untuk dibahas? Karena ini peristiwa penting dan bersejarah di era ini.  Ia akan tercatat dalam ingatan kuat bahwa ketidakdilan memang masih menjadi barang mahal.  Menjadi semakin penting karena tanpa keadilan, yang dicita-citakan pendiri republik dan tertuang dalam konstitusi akan terhambat. Sekuat apapun, sehebat apapun atau sekaya apapun negara ini.

Tidak Adil

Mengapa itu dianggap tidak adil? Kita lihat beberapa catatan yang pernah ada. Kasus yang ditangani Novel Baswedan itu melibatkan pejabat Polri aktif. Penyiraman air keras merupakan tindakan pidana yang tergolong berat dengan kasus serupa pernah terjadi di Indonesia. Rata-rata vonis hakimnya di atas 10 tahun.

JPU pernah menuntut 20 tahun penjara pada Heriyanto (12 Juli 2019)  karena menyiram air keras terhadap istinya (Yeta Maryanti) hingga meninggal. Terdakwa sengaja menyiram air keras dan sudah memeprsiapkannya jauh-jauh hari. Ahmad Irawan dihukum 10 tahun penjara oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang. Ia melakukan penyiraman air keras pada M Rifai yang menyebabkan cacat permanen pada mata sebelah kiri. Tuntutan 10 tahun bagi Rika Sonata karena menyiram air keras ke suaminya (Ronaldo) pada Oktober 2018. Ronaldo akhirnya cacat permanen. Preman yang disewa Rika juga divonis 8 tahun penjara.

Nah, pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan yang menyebabkan cacat permanen itu  hanya satu tahun. Kata Jaksa Penuntut Umum (JPU),  Rahmat dan Kadir tidak sengaja melakukannya.  Logika orang awam pun muncul. Kok bisa dikatakan tak sengaja menyiram air keras ke orang lain? Logika masyarakat awam saja akan menanyakan hal ini. Tidak usah bertanya pada orang-orang pintar soal kesengajaan dan ketidaksengajaan itu. Secara logika normal, anggapan ketidaksengajaan itu jelas dianggap tidak masuk akal. Bagaiamana mungkin menyirm air keras pagi hari bisa dilakukan dengan tidak sengaja?

Pertanyaan lain, mengapa ia hanya dituntut hanya satu tahun? Karena itu perkara besar yang melibatkan elite politik. Sementara kasus yang menimpa Heriyanto, Ahmad Irawan dan Rika Sonata melibatkan “orang biasa”. Jadi perlu diingat hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Logika ini juga sudah tidak perlu ditanyakan pada orang-orang pintar. Masyarakat awam saja mungkin akan memahami dan tahu soal tersebut.

Gurita Keadilan

Apa pelajaran yang bisa dipetik? Pertama, hukum di Indonesia belum ditegakkan dengan baik. Hukum masih berada dalam ranah politik. Dengan kata lain, hukum bisa dibuat serta dilakukan sesuai kepentingan. Kepentingan siapa? Kepentingan yang punya pengaruh politik. Hukum pun hanya sekadar hiasan dinding agar rumah kita agar dianggap asri dan menarik. Padahal senyatanya keropos.

Kedua, tidak usah berharap banyak pada elite politik terkait penegakan hukum. Mengapa? Sejauh elite politik kita dikuasai oleh kau oligark maka hukum akan terus tumpul. Sekelompok orang ini dengan berbagai cara akan melakukan apa saja agar kepentingannya terus terwadahi. Elite politik kita bisa jadi hanya menjalankan skenario para kaum oligark ini. Bisa jadi asumsi ini akan dianggap mengada-ada bagi mereka yang mendukung elite politik secara membabi buta.

Ketiga, tidak usah berharap besar kesejahteraan masyarakat bisa dicapai dengan baik dalam waktu dekat sejauh hukum belum bisa ditegakkan dengan baik. Mengapa? Karena hukum yang tegak berbanding lurus dengan kesejahtaraan masyarakat.

Mau membuat petani itu makmur jika hukum tidak ditegakkan dengan baik, mana mungkin? Sementara itu, penegakan hukum justru tidak dilakukan oleh para elite politiknya. Petani hanya menjadi korban ambisi para pedagang, tengkulak yang “bermain” dengan leluasa karena tak ada hukum yang dijadikan pedoman.

Mungkin ada hukum tetapi dilanggar. Tengkulak bisa berbuat apa saja untuk memainkan harga karena mereka dilindungi orang-orang di atasnya. Ini belum termasu mata rantai kepentingan ekonomi dalam wilayah yang luas. Ini juga belum termasuk wilayah dalam jangkauan negara beserta kepentingan yang mengitarinya.

Keempat, meskipun ada banyak yang tetap ada yang membela para pelangar hukum itu,  suara kebenaran tetap harus diteriakkan dengan lantang. Tak ada cara lain. Karena berharap pada para elite politik sepertinya mustahil. Hanya gerakan menyeluruh masyarakatlah yang akan bisa mendobrak kebekuan ketidakadilan tersebut.

Mengapa? Karena tali temali kepentingan para elite politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) saat ini sangat kuat. Penting kiranya bagi masyarakat untuk berpikir ulang dalam memilih calon wakil rakyat atau elite politik lain di masa datang.  Ini bukan provokasi. Ini hanya sekadar menunjukkan sebuah cara. Cara lain juga masih banyak. Tanpa kesadaran ini, maka hukum kita tak akan bisa ditegakkan dengan baik.  Ini tentu harus menjadi pelajaran berharga.

Jadi jangan sampai seseorang bernasib seperti Desy Ratnasari. Ia ditinggalkan pacarnya karena menikahi perempuan lain. Karena janji manis pacarna tidak pernah ditepati. Jangan percaya janji-janji saat pacaran. Juga jangan percaya janji-janji politisi saat mau Pemilu. Bertaun-tahun kita sudah diberikan banyak pelajaran. Hanya kita tak mau mengambil pelajaran atau kita terlalu menikmati janji-janji yang tak terwujud itu?

Akankah seseorang lebih memilih menyiram air keras ke wajah seorang politisi  dari pada menulis kritik di media sosial? Kalau mengkritik di media sosial kita bisa dihukum satu tahun enam bulan. Kalau hanya menyiram air keras kita hanya kena satu tahun. Bisa berhemat lima bulan, bukan? Sebuah satir yang mengguncang.

3 KOMENTAR