Jurnalis Penangkal Hoaks di Tahun Politik

Sekitar 60 an jurnalis, jurnalis mahasiswa dan mahasiswa ilmu komunikasi mengikuti lokakarya etik dan profesionalisme jurnalis yang diselenggarakan AJI. (Terakota/Hari Istiawan),
Iklan terakota

Terakota.idTahun politik menjadi batu ujian bagi jurnalis untuk menjaga independensi ruang redaksi dan menghadirkan berita yang memenuhi kaidah jurnalistik. Lantaran menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) meliputi Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif, hoaks marak. Hoaks berkelindan di dunia maya melalui media sosial.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan hoaks meningkat mulai Desember 2018 sampai Maret 2019. Mesin dengan kecerdasan buatan (AI) yang dimiliki Kominfo melacak pada Desember 2018 sebanyak 75 isu, Januari 175, Februari 353 dan Maret 453 isu. Mendekati Pilpres hoaks naik secara signifikan.

Untuk itu, jurnalis harus melakukan kerja jurnalistik dengan mengedepankan kode etik. Tujuannya untuk menghasilkan berita yang berkualitas menangkal hoaks. Ketua AJI Malang Hari Istiawan menjelaskan jika etik dan profesionalisme perlu ditekankan sejak awal menjadi jurnalis. Untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas dan taat kode etik. Sehingga tak menimbulkan sengketa pemberitaan.

Sedangkan saat menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan Presiden jurnalis berpotensi terjebak dalam pelanggaran kode etik. Apalagi tak berhati-hati dalam menyajikan berita dan fakta di lapangan. Terutama media daring yang mengejar kecepatan sering mengabaikan akurasi sehingga menimbulkan sengketa pemberitaan.

“Tahun politik kali ini, ujian kali kedua bagi pers,” kata Hari dalam lokakarya etik dan profesionalisme jurnalis menghadapi hoaks. Apakah bisa memberikan berita yang berimbang dan tak berpihak kepada calon tertentu. Menjaga independensi ruang redaksi dan segala bentuk intervensi. Termasuk intervensi oleh pemilik modal.

Pada 2014, AJI menetapkan media sebagai musuh kebebasan pers. “Tahun ini media kembali diuji, apakah bisa menjaga independensi?,” kata Hari Istiawan.

Antara Bisnis dan Idealisme

Sementara Ketua AJI Indonesia Abdul Manan menjelaskan jika kecepatan menjadi tantangan media daring. Kecepatan pula yang menyebabkan akurasi dibaikan sehingg sering bermasalah. Media Siber antitesa dari media tradisional. Berita cepat tak bisa disajikan media cetak.

Ketika berita bergerak cepat di media daring. Kecepatan menjadi masalah karena godaan clickbait.” godaan besar membuat berita yang kliknya tinggi,” katanya.

Sehingga rumusnya bagaimana menyajikan berita yang menarik. Yang seringkali menjadi jurang yang menjerumuskan. Tenggat, kecepatan dan masalah verifikasi. Jurnalis bisa tergelincir, potensinya sangat besar.

Abdul Manan menjelaskan pemahaman terhadap kode etik mutlak harus dimiliki jurnalis. Kode etik penting sebagai panduan menjalankan profesi jurnalis. Intinya jurnalisme, katanya, menjalankan tugas untuk mencari kebenaran, melayani kepentingan publik, dan mengurangi penyalahgunan profesi.

Abdul Manaan menjelaskan Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) merupakan usaha menjawab problem profesionalisme jurnalis dan penegakan etika jurnalistik di Indonesia. UKJ yang diselenggarakan AJI sejak awal mengedepankan etik sebagai materi yang diujikan.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdiu Manan menyampaikan kode etik di hadapan 60 an jurnalis, jurnalis mahasiswa dan mahasiswa ilmu komunikasi di Malang. (Terakota/Hari Istiawan),

Ia meminta jurnalis mengedepn kepentingan publik dalam menyajikan karya jurnalistiknya.  Jurnalis juga dituntut taat kode etik, Undang Undang Pers  dan regulasi Dewan Pers agar menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas.

Sejak Oktober 2018 lembaga penguji harus menyesuaikan materi uji kompetensi dengan mengutamakan kode etik. Sebanyak 900 anggota AJI Indonesia yang telah mengikuti UKJ. Sedangkan 900 anggota lain belum mengikuti uji kompetensi.

Sementara data Dewan Pers jumlah jurnalis yang mengikuti sekitar 10 ribu orang. Terdiri anggota Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia 700 orang, selebihnya 9 ribuan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.

Menghindari Jerat Hukum Pidana dan Perdata

Lokakarya ini merupakan rangkaian pelaksanaan UKJ yang diselenggarakan oleh Pengurus Nasional AJI Indonesia. UKJ AJI di Malang diikuti 24 peserta berasal dari berbagai daerah di Jatim. Mereka bakal mengikuti jenjang ujian Muda, Madya, dan Utama.

Sementara jurnalis LKBN Antara Budisantoso Budiman memaparkan materi hukum pers,” menghindari jerat hukum pidana dan perdata”. Budi mengingatkan, mayoritas lembaga media atau jurnalis yang terkena jerat hukum karena lalai yang disebabkan tuntutan redaksional atau deadline harus segera tayang.

“Bukan karena tidak tahu,” kata Budisantoso yang juga salah satu penguji UKJ AJI.

Budi juga menjelaskan jeratan hukum pidana dan perdata yang bisa menyasar jurnalis, seperti membocorkan rahasia negara, pencemaran nama baik yang sering menggunakan pasal karet, berita bohong, dan juga menyebarkan konten berita di media sosial karena bisa terjerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Agar terhindar dari jerat-jerat hukum pidana dan perdata, salah satunya dengan mematuhi kode etik jurnalistik,” katanya.

Blogger juga Galau

Sementara Satriya Nugraha galau, sejumlah data dan nomor telepon di gawainya diretas. Data tersebut dibobol seseorang. Sejak itu, ia khawatir dengan keamanan data yang ada di gawai. Kekhawatiran dia beralasan lantaran sejumlah temannya juga mengalami hal yang sama.

“Phone book saya dipindai,” katanya. Ia juga kaget jika ada aplikasi melalui pesan pendek yang bisa disebar secara berantai dan massal. Termasuk mengirim pesan video dan foto.

“Ini kan rawan digunakan kejahatan. Apa ada fitur untuk mencegahnya,” ujar Satriya. Sebagai seorang blogger ia kerap ditanya warga Kabupaten Malang atas berbagai isu untuk menelusuri apakah kabar bohong atau hoaks.

Hoaks, katanya, berseliweran di berbagai grup media sosial. Sedangkan warga Kabupaten Malang juga banyak yang memiliki bekal untuk menelisik apakah informasi itu benar atau hoaks.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya  Neni juga mengaku gemes lantaran mengetahui banyak informasi tak jelas dan hoaks berkelindan di media sosial. Sementara saat ini ia tak apa yang harus dilakukan. “Kalau lapor kemana? Saya harus ngapain?,” tanyanya.

Akademikus Universitas Multimedia Nusantara Lilik Dwi Mardjianto dan jurnalis kompas.com Inggried Dwi Wedhaswary mengajak peserta menelusuri dan menangkal hoaks. Inggried menjelaskan jika hoaks menyebar lantaran tingkat literasi rendah.

“Literasi Indonesia menempati ranking ke 60 dari 61 negara sedangkan pengguna media sosial nomor lima terbesar di dunia,” ujarnya. Lantaran literasi rendah, tak memiliki daya kritis terhadap informasi sehingga kabar bohong terus terdistribusi melalui media sosial. Dampaknya, semakin lama hoaks semakin menyebar.

Sekitar 100 mahasiswa, warganet dan pegiat media sosial berlatih menangkal kabar bohong atau hoaks. (Foto : AJI Malang).

Sedangkan untuk melaporkan temuan hoaks dan kejahatan siber bisa dilaporkan ke polisi atau Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Pengaduan juga bisa disampaikan melalui Kementerian Informastikan dan Komunikasi. Selain itu, juga ada sejumlah forum dan lembaga masyarakat seperti Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) yang menerima dan melaporkan kasus tersebut.

Sementara menanggapi kerisauan Satriya, ia menjelaskan jika banyak aplikasi dan penyedia advertising yang menyediakan cara beriklan melalui operator seluler. Pesan iklan masuk ke pesan pendek yang ditelusuri dari lokasi pemilik gawai atau gadget melalui sistem navigasi berbasis satelit.

“GPS aktif, posisi kita bisa diketahui. Fitur lokasi bisa dimatikan. Kita harus melapisi sistem keamanan agar data aman dan tak mudah diretas,” ujarnya. Kemampuan mengolah informasi, katanya, rendah. Sehingga mudah menyebarkan hoaks.

Lilik Dwi Mardjianto menjelaskan jika internet bak belantara. Jika tingkat literasi rendah, tak bisa menyaring dan mengolah informasi seperti orang yang tak tahu arah karena tak memiliki kompas.  Sehingga bakal turut ikut menyebarkan hoaks.

Ada misinformasi dan disinformasi, katanya, misinformasi terjadi karena ketidaktahuan sedangkan disinformasi sengaja disebarkan dengan tujuan tertentu. Yakni mulai tujuannya mencari sensasi,  sekdar lucu-lucuan dan mencari untung secara bisnis.

Tak hanya warganet yang minim literasi, bekas pejabat Negara juga mengalami kekeliruan. Seperti yang dilakukan bekas Menteri Komunikasi dan Informatika yang membagi foto korban pembantaian dan memberi komentar foto tersebut merupakan korban pemberitaan pengungsi Rohingya di Myanmar.

“Setelah ditelusuri ternyata itu foto demonstrasi muslim di Thailand selatan. Sebanyak 78 orang tewas,” ujarnya. Lilik juga menyebutkan kasus Ratna Sarumpaet. Sikap dan aktivitas kita, katanya, terekam di dunia maya. Semua jejak digital tersimpan dan siapapun bisa mengetahui jejak digital yang ditinggalkan.

Untuk itu, Lilik mengajak peserta untuk memastikan semua informasi yang diterima. Penerima pesan harus skeptis atau tak mudah percaya. Serta harus menelusuri informasi tersebut. Meliputi mengecek alamat situs melalui domainbigdata.com.

Jika ada yang ditutupi, dan sengaja menyembunytikan identitas untuk tujuan tertentu. Serta harus mewaspadai situs berita yang sangat banyak iklan. Selain itu, juga harus dilihat karakter berita apakah nama penulis,  editor jelas, struktur, dan huruf ejaan sesuai standar jurnalistik.

“Siapa yang mengelola dan bertanggungjawab. Cek alamat dan pedoman pemberitaan media siber.”

Sekitar 100 mahasiswa, warganet dan pegiat media sosial berlatih menangkal kabar bohong atau hoaks. (Foto : AJI Malang).

Hoaks paling banyak disebarkan melalui media sosial. Bahkan disebarkan hingga ribuan kali, karena verifikasi berita lebih sedikit. Sehingga hoaks semakin viral. Paling banyak, katanya, hoaks muncul karena bencana. Seperti bencana di Lombok dan NTB sehingga menimbulkan keresahan.

“Bahkan relawan takut. Video berseliweran seolah terjadi saat bencana alam terjadi,” ujarnya

Ketua program doktoral Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya Bambang D Prasetyo menjelaskan hoaks menyebar dan berkelindan di media sosial setiap hari. Era banjir informasi, warganet harus cerdas memilih media dan memilah informasi.

“Polisi era sekarang tak harus gagah,  tapi juga memiliki intelektualitas,” katanya. Sehingga penting polisi untuk mengawasi dan menindak hukum.  Jika tahu informasi yang diterima hoaks, katanya, setop jangan disebarkan.

Sampai saat ini kabar tak benar, katanya,  tetap melintas di lini masa.  Bahkan warganet ikut mendistribusi informasi yang tak benar atau hoaks. “Bagaimana generasi kedepan jika setiap hari diasup setiap saat,” ujarnya.

Infrastruktur Dibangun di Seluruh Pelosok Negeri

Pemerintah membangun infrastruktur teknologi informasi dengan menghubungkan seluruh wilayah Nusantara dengan kabel serat optik. Infrastruktur internet bakal menghubungkan 554 Kota dan Kabupaten di Indonesia untuk memudahkan akses internet. Program Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengembangkan infrastruktur telekomunikasi Paket Palapa Ring ini dimulai sejak 2016.

Total panjang kabel laut mencapai 35.280 kilometer dan kabel di daratan sepanjang 21.807 kilometer. “Tol internet menghubungkan dari Sabang sampai Merauke. Paket Palapa Ring bagian Barat mencapai 100 persen,” kata Direktur Informasi dan Komunikasi Perekonomian dan Maritim Kemkominfo, Septriana Tangkary.

Diskusi dihadiri 44 pakar atau pelaku dunia digital dan akademikus. Terakota.id turut hadir dalam kelompok diskusi terarah tersebut. Akses internet berkecepatan tinggi diharapkan mampu meningkatkan daya saing Indonesia. Indeks daya saing Indonesia naik dua peringkat, kata Septriana, dari semula 43 naik pada peringkat 45 dari 140 negara.

Jaringan infrastuktur internet juga diharapkan bisa menggerakkan atau mempercepat gerakkan start up nasional. Pemerintah mencanangkan gerakan 1000 start up nasional. Sejak 2016 dilakukan di 10 kota dengan 8 ribu peserta.  Sedangkan 287 diantaranya berkembang dan menjadi start  up.

Pemerintah, katanya, menyiapkan infrastruktur dan mendorong dunia usaha untuk berinovasi. Selain itu pemerintah berperan sebagai fasilitator dan akselerator.  Ia berharap muncul The Next Unicorn. Selama ini di Indonesia ada empat unicorn antara lain traveloka, bukalapa, gojek, dan tokopedia. Pemerintah juga membuka dan mempertemukan investor dengan start upventure capital bisa bertemu dan bekerjasama dengan start up potensial.

Kantor Staf Presiden dan Kementerian Komunikasi dan Informatika menggelar diskusi kelompok terarah bertema daya saing Indonesia. (Terakota/Eko Widianto).

Selain itu, juga diharapkan menumbuhkan ekonomi kerakyatan dengan secara khusus mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Sebanyak 57 juta UMKM sekitar 9 persen mempromosikan usaha melalui market place,  36 persen melalui aplikasi perpesanan, 18 persen media sosial dan selebihnya secara luring atau offline. “UMKM masuk dunia e-commerce,” katanya.

Kemkominfo juga bekerjasama dengan 20 perguruan tinggi dan memberikan beasiswa kepada anak muda dalam program digital talent scholarship. Anak muda dilatih dan belajar bisnis digital dengan menggunakan kecerdasan buata atau artificial intelligence (AI). Pengembangan sumber daya manusia penting agar bisa berdaya saing.

Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho mengakui pengembangan sumber daya manusia merupakan kunci dalam daya saing sebuah Negara. Selain kesiapan infrastruktur yang sudah ada. Ia mencontohkan program vokasi di dunia pendidikan, yang berhasil mendirikan sekolah menengah kejuruan baru.

“Tapi SMK justru menyumbang pengangguran terbesar,” katanya. Ia menduga ada yang harus diperbaiki dalam pendidikan, sehingga tenaga terampil tak diserap dunia usaha. Apakah karena kurikulum, tenaga pengajar atau fasilitas penunjang yang harus diperbaiki.

“Vokasi harus diperbaiki,” katanya.

Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho memaparkan mengenai daya saing Indonesia dari sisi sumberdaya manusia dan ekonomi. (Terakota/Eko Widianto).

Termasuk akses internet berkecapatan tinggi yang bakal hadir jika tak disiapkan sumber daya manusia yang cakap bakal menjadi bencana. Jika tingkat literasi digital tetap, tak meningkat. Sementara pengguna internet, Indonesia menempati urutan ke lima terbesar di dunia. Sehingga kabar bohong atau hoaks bertebaran di media sosial.

Warganet tak menyaring informasi secara ketat, bahkan ikut-ikutan menyebarkan hoaks tersebut. Untuk itu, Kementerian Kominfo tak hanya menyiapkan infrastruktur internet saja tetapi bersama para pihak yang lain melakukan gerakan literasi digital.

Menggerakkan anak muda sejak dini menggunakan internet untuk belajar dan mengembangkan teknologi informasi. Sehingga Indonesia tak hanya menjadi pasar dan penonton atas kemajuan teknologi informasi.

 

2 KOMENTAR