
Oleh : Nabila Nailurrahmah*
Apa yang terjadi apabila negara bangsa tidak pernah lahir dan nasionalisme tidak pernah menjadi ideologi yang diterima oleh hampir seluruh negara-negara di dunia? Barangkali perebutan wilayah kekuasaan antar imperium-imperium besar di dunia akan terus berlanjut. Barangkali kolonialisme masih akan terus terjadi. Atau mungkin perjuangan kelas akan menjadi cara yang lebih populer dalam menghadapi arogansi politik kekuasaan.
Kelahiran negara bangsa pada abad ke-18 di Eropa menyebarkan pengaruh dengan cepat dan pada abad ke-20 sebagian besar negara-negara di dunia menganut paham ini serta menganggap ideologi nasionalisme sebagai cara hidup bernegara yang paling absah, bersama dengan demokrasi. Nasionalisme bersifat ambivalen, sebagai kekuatan konservaif namun secara bersamaan juga berperan sebagai faktor revolusioner.
Sebagai kekuatan konservatif nasionalisme memiliki kekuatan dan legitimasi ke dalam untuk menekan warga negara di wilayah kekuasaannya. Dan sebagai faktor revolusioner nasionalisme memiliki kekuatan dan resistensi ke luar dalam menjalankan otonomi dan menjaga integritas suatu negara dalam politik Internasional.
Dalam pidatonya dihadapan sidang BUPKI 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan bahwa Indonesia yang akan dibangun sebagai negara merdeka ke depan adalah Indonesia sebagai negara bangsa (nation state). Negara bangsa bagi Soekarno adalah suatu kesatuan dan kedaulatan politik yang menyatukan berbagai perbedaan sosial dan budaya di tanah Nusantara.
Namun demikian Soekarno menegaskan bahwasanya geopolitik kepulauan Nusantara adalah sesuatu yang bersifat given, suatu hal yang bersifat kodrati dan tidak bisa diganggu gugat oleh ‘campur tangan politik manusia’.
Pidato Soekarno tersebut menampakkan dua wajah nasionalisme, yakni sebagai kesatuan dan kedaulatan politik bangsa- bangsa di Nusantara dalam kancah politik global, namun juga sebagai doktrin kewajiban bernegara yang mutlak. (Hingga hari ini masih kita jumpai doktrin kewajiban bernegara secara mutlak ini telah banyak melahirkan penindasan dan marginalisasi dalam internal negara bangsa).
Berubahnya road map manuver kekuasaan ekonomi politik dunia dari kolonialisme menjadi pasar bebas telah turut merubah ‘nasib’ negara-negara bangsa dan sifat nasionalisme yang dianutnya. Di negara-negara belahan bumi bagian selatan nasionalisme lahir atas dasar pengalaman historis dan visi politis masa depan untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Namun ketika ini tak kuasa menghadapi pergerakan arus modal global, terjadi pendangkalanyang manifes mengkaburkan batas-batas nasionalisme dan kosmopolitanisme.
Pendangkalan ide nasionalisme di sini di bahas dengan tanpa melupakan bahwa ideologi nasionalisme itu sendiri adalah sebuah bentuk anomali dalam kacamata teori Marxian, namun dengan kesadaran bahwa nasionalisme adalah sebuah pilihan yang tak terelakkan atas situasi ekonomi politik dunia yang terus-menerus memarginalkan negara-negara bekas jajahan Barat. Dalam konteks ini, dipandang sebagai kesadaran politik revolusioner untuk membendung hegemoni barat melalui globalisasi ekonomi dan politik.
Namun peleburan ideologi nasionalisme dengan kekuatan arus modal membuat ideologi inimengalami pendangkalanyang condong kepada konsumerisme dan populisme masa. Pertama, nasionalisme telah menjelma populisme. Kita bisa melihat tren ungkapan-ungkapan simbolis perayaan hari besar nasional, penyakralan artefak nasional, hingga penyimbolan atribut dan aparatur negara sebagai ekspresi nasionalisme yang membanjiri ruang sosio-kultural dan jagat maya.
Namun euforia ekspresi nasionalisme ini terputus dari konteks historis yang membangunnya. Ingatan terhadap sejarah lahir sebagai romantisme ketimbang determinasi politik. Kesadaran nasionalisyang reaktif dan ekspresif ini diterima secara mutlak, sehingga siapa saja yang berani mengkritik ruang geraknya akan dianggap anti nasionalis dan anti pancasilais.
Kedua, nasionalisme telah menjelma konsumerisme. Nasionalisme hari ini adalah nasionalisme membeli produk berlabel “Aku Cinta Indonesia”, meskipun perusahaan yang membuat produk tersebut sebagian besar modalnya adalah milik asing. Sementara nasionalisme tontonan dalam kasus seperti bulu tangkis dan sepak bola mengharuskan kita mengkonsumsi informasi olahraga dari perusahaan media.
Gejala pendangkalan ideologi nasionalisme menjadi konsumerisme ini didukung oleh warisan penjajahan Belanda yang keindahan alam, keunikan budaya, dan kekayaan bumi sebagai pusat self-pride bangsa kita. Nasionalisme didomestifikasi diurusan keindahan alam dan kekayaan budaya dan bersifat apolitis. Maka tak heran jika campur tangan modal hari ini banyak melahirkan tanyangan televisi dan publikasi media yang mengasosiasikan kecintaan terhadap tanah air dengan semangat menjelajahi tempat-tempat wisata alam dan menyaksikan budaya lokal. Nasionaisme menjelma semboyan “Nature, Culture, Adventure” sebagaimana didengungkan para agen wisata dan pengiklan. Tren ini membuatmasyarakat Indonesia kehilangan sensitifitas untuk memahami bahwasanya pariwisata adalah sebuah bentuk penjajahan baru bagi negara pasca-kolonial.
Kita tenggelam dalam euforia perayaan nasionalisme, sementara pemahaman dan kepedulian kita terhadap kebijakan sosial politik nasional dan ekonomi politik Internasional tidak mumpuni. Nasionalisme pop ini tidak mampu menggerakkan masa untuk mengambil keputusan politik yang berhubungan dengan nasibnya sendiri.
Ideologi nasionalisme yang dipandang sebagai bendungan terakhir bagi negara-negara pasca-kolonial dalam menghadapi serangan politik ekonomi neoliberal setelah kekalahan komunis Internasional ternyata tidak mampu menghadapi penetrasi arus modal global. Semangat nasionalis yang seharusnya syarat dengan kesadaran politik primordial justru menyimpang kepada konsumerisme, populisme, dan simbolisme yang melihat masarakat dunia sebagai kesatuan masyarakat global dengan ‘keunikan’ masing-masing.Nasionalisme dengan demikian dipahami hanya menjadi perbedaan kekuasaan antar negara-negara di dunia atas alam dan budaya.
Dalam kondisi kebanalannya ini nasionalisme menjadi lunak dan kehilangan sifat revolusionernya. Patriotisme diganti dengan populisme, dan perjuangan politik diganti dengan hasrat untuk mengkonsumsi. Jika sebelumnya tantangan bagi negara-negara nasionalis adalah arogansi negara dan legitimasikelompok penguasa untuk mengakumulasi sumberdaya politik di atas segala penindasan yang terjadi, maka hari ini tantangan ini semakin besar dengan dimodifikasinya unsur politis dalam ideologi nasionalisme menjadi penggerak roda aktifitas pasar.
Kedalam ia menjadi pemersatu berbagai anasir kebangsaan bagi kemaslahatan bersama. Dan keluar ia menjadi benteng dan alat resistensi bagi gempuran pasar bebas yang destruktif nan penuh kontradiksi? Mari kita uji di tahun 2017 ini.
*Relawan di Badan Pekerja Malang Corruption Watch

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi