Iklan terakota

Terakota.ID–Satu waktu— tak penting tanggal dan jamnya— saya memerhatikan sebuah mobil pick up berjalan seperti bekicot kekenyangan, sangat lambat. Di bak belakang tampak seorang anak muda duduk menghadap kompor dan penggorengan, dan asik dengan aktivitasnya. Mobil itu berhasil memecah kepala saya yang bising oleh banyak hal: Obrolan bersama teman, suara knalpot brong, dan urusan-urusan lainnya.

Mobil itu berhasil mencuri perhatian dengan pengeras suaranya yang menggemakan bunyi tanpa jeda: “Tahuuuu bulat, lima ratusan, digoreng dadakan di mobil, gurih-gurih, halloo….”

Saya tidak tahu siapa yang memulainya, tapi jujur, mereka telah berhasil mencuri perhatian setiap orang dan membuat kehadiran mereka lekat di ingatan, meski tak ada niat sedikitpun untuk menghafalnya. Persis seperti mars sebuah partai yang sering ditayangkan untuk menjangkau perhatian banyak orang dan berhasil membuat banyak anak kecil menghafalnya di luar kepala, melebihi hafalan lagu-lagu kebangsaan.

Sebenarnya, hari ini kita tengah hidup di semesta kebisingan, banjir informasi— seolah semua minta diperhatikan. Tak sedikit orang tanpa berpikir panjang menebar urusan pribadinya ke jagad sosial media untuk mendapatkan perhatian banyak orang: Sukai, komen, dan bagikan. Kota-kota bersolek, menggelontorkan anggaran di setiap tahun untuk mejadi makin gemerlap, memancing hasrat banyak orang, lalu minta dikunjungi. Politisi bermanuver. Pelaku usaha beriklan. Dan kucing mengeong di kolong meja makan.

Di Selasa sore menjelang Maghrib, dua Juni 2022, saya berkunjung ke pameran seni rupa, lengkapnya, Pameran Drawing: Back to Basic vs Neo Madiun Kota. Lokasi pameran bukan di museum, gedung kesenian, maupun galeri. Namun, pameran itu tergelar di sebuah kedai kopi merangkap art space, Prosperus. Ia mudah ditemukan, berada di salah satu bagian dari beretan rumah tua belakang lapangan Pabrik Gula Kanigoro yang bersejarah. Jika Anda berangkat dari alun-alun Kota Madiun, kurang lebih 5 menit sudah sampai lokasi. Tentu saja tanpa lebih dulu mampir beli nasi pecel, es dawet, atau popok bayi.

Sesampainya di lokasi, saya lihat beberapa orang bercakap dan menikmati kopi di bangku halaman kedai. Kami saling menyapa, dan saya mengisi daftar hadir dan langsung masuk ke dalam: Menikmati karya yang dipamerkan. Sebuah kedai kopi telah dialihfungsikan sebagai galeri. Lukisan-lukisan menghias ruang utama dan sebuah kamar mungil dekat meja bar.

“Pameran ini mengusung konsep satu ruang dua kuratorial yang diversuskan. Perupa mengirimkan karya, lalu kami pilah sesuai bingkai tema Back to Basic atau Neo Madiun,” terang salah satu kurator, Sahalihah Ramadhanita, S.Sn.

Ada dua puluh lima karya dari lima belas perupa Madiun. Mayoritas karya masuk dalam bingkai Back to Basic, yang mengandung arti kembali ke akar seni rupa. Sementara,sangat sedikt karya yang merespon bingkai Neo Madiun, yang mengandaikan kebaruan Madiun sebagai sebuah wilayah, identitas, maupun kebudayaan.

Tidak ada karya berbentuk instalasi. Lukisan bercorak hitam putih mendominasi pameran. Lukisan dengan sapuan warna warni sedikit jumlahnya. Dan hampir semua perupa menggambar di atas kertas.

“Biasanya tema pameran meluas, tapi kali ini kami mencoba lebih fokus. Hanya saja, ada sedikit evaluasi, tentang rentang proses kurasi yang pendek dan banyak teman-teman perupa tidak menangkap tema,” tambah Sahaliha.

Saya tidak banyak paham tetek bengek seni rupa. Sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, saya tak suka pelajaran seni. Terutama seni rupa. Gambar saya selalu buruk, kerajinan tangan sebelas dua belas, dan itu mencoreng wajah rapor saya.

Guru seni gagal membuat saya tertarik. Dan saya makin menjauhi pelajaran seni. Dan saya menganggap sampai detik ini saya tak berbakat sedikitpun dalam seni, apalagi seni rupa.

Hingga satu masa, karena pengaruh ekosistem dan bacaan, saya berusaha mengakrabi dunia seni. Saya datang ke pameran, menonton pementasan teater, mendengarkan para penyair membaca puisi, dsb. Dan alamak! Hidup itu indah dan menyenangkan. Dan alangkah mengerikannya seandainya kita hidup di satu peradaban tanpa sentuhan magis para seniman?

Sialnya, iklim kebudayaan hari ini yang sangat bergantung pada kelompok dominan dalam struktur sosial kita, tak mendorong tumbuhnya kecintaan masyarakat pada wilayah seni-budaya, termasuk seni rupa. Seni budaya hanya sebatas asesoris pelengkap, bukan bagian integral dalam peradaban itu sendiri.

Bisa jadi persepsi saya salah kaprah. Namun, kita bisa mengujinya dengan serangkaian pertanyaan: Seberapa besar porsi seni budaya masuk dalam prioritas anggaran dan program tahunan pemerintah?; Seberapa sering pemerintah mendorong para seniman untuk bergerak dalam karya dan perhelatan seni?; Sesering apa seni budaya diperbincangkan dan dikenalkan kepada khayalak?; Berapa persen publik awam yang menyesaki ruang pameran?; Dsb.

Jika distratifikasi, bisa dikatakan, persinggungan saya di sore itu dengan pameran drawing di kota madiun merupakan persinggungan di jarak paling jauh, persinggungan publik awam. Mugkin, saya masuk komponen ketiga dalam tiga komponen seni rupa anggitan Jim Supangkat, seorang penulis seni rupa sekaligus kurator yang tinggal di Bandung. Dalam bukunya berjudul Tubuh-tubuh Provokatif: Membaca Karya-karya Mochtar Apin 1990-1993, Jim menawarkan dunia seni yang tidak eksklusif.

“Dunia seni rupa, dalam pemikiran masa kini, bukan lagi hanya dunia cipta-mencipta para perupa,” tegasnya.

Ia membabar tiga komponen yang saling bersinggungan. Pertama, dunia cipta-mencipta para perupa. Kedua, pranata atau institusi seni rupa tempat karya-karya seni rupa dikaji, dibaca, dipersoalkan, dan dipresentasikan kepada masyarakat. Ketiga, dunia publik seni rupa tempat publik bersikap aktif dalam membaca karya-karya seni rupa, termasuk memberi komentar dan makna.

Namun, Bagi Jim, mengkomunikasikan tiga komponen yang saling bersinggungan sehingga menciptakan iklim seni rupa yang harmoni dan sehat juga tak mudah. Jika hanya bergumul di antara komponen kesatu dan kedua beserta kerumitan teori, pemikiran, dan teknik, maka dunia karya seni rupa terancam menjadi esoterik, terkucil, dan berada di puncak gedung yang kedap, yang tak tersentuh publik luas. Dan sebaliknya, jika kerumitan di dunia seni rupa disederhanakan begitu saja agar dipahami, dimengerti, dan dapat dinikmati masyarakat luas, dapat pula mengancam karya seni rupa menjadi medioker, bahkan komersil.

Saya membaca tawaran Jim yang masuk akal. Dan ini bisa dioperasikan dalam semua bidang seni di luar seni rupa. Ia menawarkan dua pilihan yang harus sama-sama kuat: pilihan untuk mengutamakan kadar pemikiran pada karya seni rupa sekaligus pilihan untuk mengutamakan kadar komunikasinya. Tawaran Jim bukan jalan tol bebas hambatan, tapi setidaknya tawaran itu jalan tengah yang masuk akal.

Agar apa? Agar publik yang berjarak seperti saya, bisa tercuri perhatiannya, lalu mecoba bersinggungan, dan ketagihan. Dalam aspek lain, penjual tahu bulat telah membuktikannya. Dan karena itu, saya pikir, pameran yang digagas kawan-kawan seniman Madiun ini berhasil. Mereka tak ubahnya godam yang memecah kebekuan dan kebisingan di Madiun. Tabik.