Iklan terakota

Saat mengajar, saya pernah bertanya pada mahasiswa di kelas.

“Apakah kalian pernah ketinggalan Hand Phone di rumah atau kos?”

“Pernah pak, “jawab mereka hampir serentak.

“Terus apa yang kalian rasakan?”

Jawaban mereka bermacam-macam diantaranya, “Saya mending balik dulu baru ke kampus pak”, “Ya, agak repot pak. Saya bisa kudet”, “Bingung pak”, “Gak bisa dibayangkan jika ketinggalan HP” dan jawaban lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Lalu kemudian saya bertanya lebih lanjut, “Seandainya kalian harus memilih antara ketinggalan HP dengan dompet, pilih mana?”

“Dompeeeeeeet, “jawab mereka bersamaan.

Pada tahun 2016 saya juga pernah mengadakan penelitian ke mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa merasa cemas jika harus ketinggalan Hand Phone (HP). Singkat kata, mereka pun lebih cemas ketinggalan HP dari pada dompet. Gejala kecemasan ini disebut dengan Nomophobia (no mobile phone phobia). Seolah kalau sudah ketiggalan HP akan hilang segala-galanya. Karena HP sekarang sudah menjadi barang wajib dan gengsi yang setiap orang punya kecenderungan untuk selalu membawanya kemana pun pergi.

Memang tidak mudah meninggalkan HP bagi mereka yang sudah “kecanduan”. Bagi sementara orang, HP kadang sudah menjadi kantor, rumah atau  ruang rapat. Itu semua membuat orang tergantung pada HP. Bahkan HP miliknya tidak hanya satu.

Saya sendiri berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada informasi HP, meskipun memang untuk meninggalkannya total masih sangatlah sulit. Saya minimal sudah jarang membuka grup WhatsApp (WA) atau Line. Bahkan pernah pasca pemilihan presiden April 2019 ribuan pesan tidak saya baca. Saya hanya kadang malas dan mendapatkan informasi yang tidak wajib saya baca. Karena informasinya kadangkala sama dengan informasi dari grup lain. Disamping juga hanya mengumbar kebencian. Niat orang lain mungkin tidak mengumbar kebencian tetapi pesannya menyinggung dan tidak membuat nyaman.

Coba amati, siapa yang aktif di setiap grup? Siapa yang memancing pembicaraan dalam sebuah grup? Siapa yang kirim pesan yang sebenarnya tidak bermanfaat sesuai nama grupnya? Biasanya ya orangnya itu-itu saja.

FOMO

Ada banyak orang yang sangat tergantung pada informasi dari media sosial (Medsos). Mereka merasa “kudet” (kurang update) jika tidak setiap saat membuka layanan Medsos. Orang yang mengindap hal ini disebut dengan Fear of Missing Out (FOMO). Kelompok ini adalah komunitas orang yang merasa cemas jika tidak membuka Medsos. Mereka juga takut kehilangan informasi terkini. Takut dianggap “kudet”, takut dianggap kuno, takut dianggap ketinggalan zaman dan rasa takut yang lain. Pokoknya yang berkaitan dengan informasi terkini yang disajikan lewat Medsos.

Mereka juga merasa harus update banyak informasi tentang hal-hal yang menyenangkan. Misalnya berkaitan dengan kuliner, tempat wisata, lalu mendiskusikannya dengan teman-temannya. Seolah ia akan merasa menjadi pribadi yang kurang dan tak bisa mengikuti teman-temannya jika tidak menjadi manusia FOMO.

Mereka takut diolok-olok gara-gara tidak bisa mengaplikasikan teknologi di Medsos. Misalnya tidak paham soal google map. Seolah ini sebuah aib. Ini gejala manusia FOMO. Intinya juga, takut tidak bisa bersenang-senang bersama teman-temannya. Mengapa? Karena manusia FOMO itu tujuan umumnya adalah mencari kesenangan.

Tentu saja, gejala FOMO mempunyai plus dan minusnya. Ini sama dengan teknologi yang punya dampak negatif dan positif. FOMO memungkinkan orang “haus” informasi. Namun kehausan informasi ini lebih banyak berkaitan dengan sesuatu yang “remeh temeh”. Sebagaimana kita saksikan di Medsos, jarang orang mencari atau ketakutan ketinggalan informasi berkaitan dengan sesuatu yang substansial. Biasanya hanya seputar pesan yang “permukaan” atau dangkal saja.

Karenanya, dampak buruk seperti kecanduan Medsos bisa kita saksikan di sekitar kita. Berbagai analisis, penelitian dan pendapat beberapa ahli mengungkapkan bahayanya manusia FOMO ini. Tentu ini menjadi kekhawatiran bagi sejarah perkembangan peradaban manusia.

 

JOMO

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Saat ini berkembang atau dikembangkan jenis individu yang masuk dalam kriteria Joy of Missing Out (JOMO). Intinya, orang lebih mementingkan kebutuhan sendiri dan tak takut ketinggalan akan tren dunia saat ini. Orang JOMO tak takut ketinggalan informasi yang berkaitan dengan kuliner atau tempat-tempat wisata yang sedang menjadi pembicaraan hangat.

Ia tidak lagi juga bingung dengan Medsosnya. Ia juga tak harus membuka grup-grup Medsos yang dia ikuti. Dia juga tak takut dianggap “udik”, ketinggalan zaman, “kudet” atau semacam-macamnya yang menunjukkan seseorang “ambisius” dalam ber-Medsos.

Intinya, ia ingin menjadi dirinya sendiri. Orang kemudian menjadi kangen suasana sebelum ada Medsos. Mereka menganggp bisa hidup lebih tenteram tanpa gaduh akibat informasi dari Medsos. Ia juga menjadi lebih sehat dari akibat racun-racun informasi yang berasal dari Medsos. Bagi mereka, Medsos adalah racun. Ia telah membunuh hubungan harmonis sesama dan menghilangkan kekerabatan antar sesama. Karena Medsos kita terhubung, tetapi karena Medsos kita jadi tercerai-berai.

Saya sendiri saat ini jarang membuka grup-grup Medsos. Biarlah jika ada yang membutuhkan saya bisa “Japri”. Bisa juga saya akan “menjapri” seseorang yang saya butuhkan. Tak seluruhnya informasi yang bersifat pribadi harus disebar di grup.

Itulah kenapa banyak orang juga ingin kembali ke masa lalu. Suasana yang hangat hubungan kekerabatan satu sama lain sebelum dipisahkan oleh Medsos. Salah satu yang bisa menunjukkan secara fisik, manusia ingin suasana yang klasik-klasik. Lihat  saat ini juga banyak warung makan, tempat rapat, ruangan pertemuan lain, makanan yang “bebau” klasik atau zaman dahulu. Orang juga mulai sadar bahwa makanan zaman dahulu lebih sehat tanpa bahan pengawet. Bukan tolok ikut yang kuat memang, tetapi indikator ke arah itu tetap ada.

Di tengah hiruk pikuk banjir informasi dari Medsos, orang ingin menjadi manusia JOMO. Ia ingin menikmati informasi yang memang dibutuhkan. Ia ingin menjadi dirinya sediri. Bukan cuek, tetapi tak peduli informasi Medsos yang umumnya remeh-temeh.

Saat ini setiap orang bukan tidak mau lepas dari banjir informasi itu, tetapi kenyataan memaksa dia ikut arus banjir informasi tersebut Misalnya  jika Anda ingin, maka dalam seitap hari tidak akan terganggu dengan informasi dari Medsos. Sekarang semua terpulang dari kita masing-masing. Tentu saja, Anda harus siap dianggap “kudet”. Kalau siap, Anda bisa menjadi manusia JOMO. Ada kalanya menjadi manusia JOMO mempunyai kepuasan tersendiri. Tidak mudah memang tetapi bisa dilakukan.

 

 

Lalu bagaimana dengan informasi politik? Ini yang sebenarnya juga membikin geram. Saya punya contoh menarik soal kegeraman ini. Saya berusaha untuk menekan informasi politik di twitter. Namun dalam newsfeed twitter saya selalu muncul pesan apa yang “dilike” teman. Juga kicauan muncul sendiri saat teman kita itu mengikuti sebuah akun tertentu, meski dia tanpa “merepost” atau “mengelike”   Padahal saya sendiri tidak mengharapkan membaca pesan-pesan politik seperti itu.  Itu kadang muncul dengan sendirinya sebagai konsekuensi pertemanan dalam twitter. Akun-akun Medsos lain seperti Facebook dan  Instargam juga hampir sama.

Sekarang bola panas ada pada diri kita sendiri. Motto, “I Share,  Therefore I’am” atau saya menyebar (informasi), maka saya ada, bukan zamannya lagi. Kecuali jika memang Anda itu hanya menjadikan Medsos sebagai satu-satunya aktualisasi diri. Maka, hiruk pikuk politik yang tidak berkesudahan di Indonesia ini bisa diatasi dengan gejala individu JOMO. Saatnya kita tak usah takut dianggap “kudet”, “udik” dan semacamnya hanya masalah remeh-temeh, apalagi soal politik.

Gaduh politik itu kadang muncul dari orang-orang yang tidak cerdas dan kurang membaca serta haus aktualisasi diri. Di situlah mereka tak sadar sebagai sumber kedaguhan tersebut. Jadi, FOMO tak melulu soal kuliner atau tempat wisata tetapi juga soal politik. Ini pulalah yang mengasah kegaduhan politik. Saatnya menjadi JOMO.