Sungai Brantas Tercemar, Berpotensi Menimbulkan Bencana

Industri di bantaran Sungai Brantas membuang limbah cair beracun di badan sungai. (Foto: BRUIN).
Iklan terakota

Terakota.ID–Sebagian masyarakat Jawa Timur menilai Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa gagal mengelola Brantas. Hal ini tertuang dalam hasil survei  tentang Persepsi Masyarakat terhadap Kinerja Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa tentang Pengelolaan Sungai Brantas di Jawa Timur.

Survei dilakukan Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) yang dilakukan 3 Maret-15 November 2023. Survei dilakukan terhadap 535 responden, pendidikan SMA, Strata 1, Magister dan Doktor. Tersebar di 19 Kota/ Kabupaten di Jawa Timur yang dilintasi sungai Brantas.

Peneliti dan koordinator kampanye BRUIN, M.Kholid Basyaiban menjelaskan survei dilakukan dengan mengunakan metode skala likert, survei opini publik dan metode proportional stratified random sampling. Dengan menekankan data yang diperoleh berdasarkan dari sikap, pendapat dan persepsi individu atau kelompok yang mewakili populasi secara proposional tentang masalah dan fenomena sosial serta lingkungan yang terjadi di sungai Brantas.

“Hasilnya sangat mengejutkan, 64,5 persen responden menilai Khofifah gagal mengelola dan menjaga sungai Brantas dari kerusakan dan pencemaran,” tulis Kholid dalam siaran pers yang diterima Terakota.ID.

Kholid menjelaskan dalam survei, ada lima point variable yang diteliti. Pertama, bagaimana masyarakat menilai kinerja Gubernur Jatim Khofifah dalam perlindungan dan pengelolaan Brantas. Kedua, problem pencemaran dan kerusakan yang terjadi di sungai Brantas, termasuk indeks tingkat pencemaran. Ketiga, analisis resiko bencana di sungai Brantas akibat rusaknya ekosistem dan pencemaran. Keempat, efektivitas program pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait pemulihan sungai Brantas. Kelima, langkah efektif yang perlu dilakukan pemerintah dalam menanggulangi problem lingkungan di Brantas.

Bangunan Liar Menjamur di Brantas

Survei BRUIN menunjukkan 70 persen responden menyatakan bantaran sungai Brantas tidak terawat. Berubah menjadi kumuh, menjamur bangunan liar terdiri atas warung, toko, rumah, pergudangan serta pabrik. Padahal permukiman di bantaran sungai dilarang dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.

Dalam pasal 15 dijelaskan bangunan liar di dalam bantaran sungai dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai. Garis sempadan sungai di dalam kawasan perkotaan ditetapkan paling sedikit berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai sepanjang alur sungai. Kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan tiga meter.

Bantaran sungai Brantas menjadi kumuh, menjamur bangunan liar terdiri atas warung, toko, rumah, pergudangan serta pabrik. (Foto: BRUIN).

“Semakin dalam sungai, maka jaraknya semakin jauh,” kata M. Kholid. Sedangkan untuk sungai bertanggul dalam perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak tiga meter. Jika terdapat bangunan liar yang melanggar aturan dalam aturan  menjadi tugas Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dan pemerintah untuk segera menertibkan secara berkala.

Hasil survei berkorelasi dengan temuan lapangan BRUIN. Sepekan lebih tim BRUIN menyusuri sungai Surabaya dari segmen Warugunung hingga Terminal Jayabaya. Tim BRUIN menemukan sekitar 1.400 bangunan liar yang berdiri di bantaran Kali Surabaya.

Limbah Industri dan Domestik Mencemari Sungai Brantas

Pencemaran sungai Brantas juga dikhawatirkan warga Jawa Timur. Sebanyak 91 persen responden menyebut sungai Brantas dalam kondisi tercemar. Rinciannya, 70 persen menyatakan tercemar, 14  persen menyatakan tercemar sedang, dan 7  persen menyatakan tercemar berat.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP menyebutkan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain ke dalam Lingkungan Hidup oleh kegiatan manusia. Sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. PP mengatur baku mutu yang menyebutkan sungai harus nihil sampah.

Ribuan industri berdiri di tepi sungai, dan membuang limbah beracun di sungai Brantas. Namun, tidak ada tindakan. Sementara Peraturan Gubernur Jawa Timur mengatur baku mutu limbah industri yang mengatur indeks kepatuhan industri dalam membuang limbah. Dalam survei responden menyebutkan beberapa fakta yang menyatakan sungai Brantas tercemar dan rusak. Lantaran kelalaian tugas dan tanggung jawab pemerintah.

Industri di bantaran Sungai Brantas membuang limbah cair beracun di badan sungai. (Foto: BRUIN).

Meliputi sampah plastik, limbah cair, dan limbah domestik rumah tangga sebesar 73,5 persen. Sungai Brantas tercemar limbah industri,limbah peternakan serta pestisida, hingga berbusa, berbau dan berwarna pekat 27 persen. Ratusan kali terjadi kematian ikan secara massal di sungai Brantas 50 persen. Galian C dan Tambang pasir illegal rusak fisik dan fungsi sungai 15persen dan ilegal logging menyebabkan hilangnya mata air Brantas enam persen. 

“Kelima fakta ini menjadi alasan kuat bahwa Gubernur Khofifah tidak serius mengelola sungai Brantas. Serta mengabaikan upaya pengendalian pencemaran,” kata Kholid. Pemerintah yang abai, berdampak terhadap timbulan sampah liar, sampah di badan air, limbah industri dan perubahan fisik sungai. Sehingga menyebabkan rusaknya ekosistem Brantas yang ujungnya banyak kasus ikan mati massal dan bencana banjir, dan tanah longsor.

Potensi Bencana di Sungai Brantas

Bencana turut menghantui sungai Brantas. Sebanyak 65 persen responden menyatakan bencana banjir sering terjadi di sungai Brantas akibat kerusakan fungsi dan fisik. Sebanyak 35 persen responden menyatakan bencana longsor sering terjadi akibat aktivitas illegal logging dan tambang pasir ilegal.

Kerusakan sungai Brantas jika dibiarkan akan berdampak hilangnya sumber mata air dan kesediaan air bagi masyarakat yang hidup di sepanjang sungai Brantas.

Program Brantas Tuntas yang digagas Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak berdampak signifikan terhadap perbaikan sungai Brantas. Pada 2019, Gubernur Jawa Timur mengklaim melibatkan 5000 mahasiswa dari 16 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) se – Jawa Timur. Mereka dilibatkan melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Sebanyak 82 responden yang diantaranya berpendidikan sarjana hingga doktor menyatakan tidak mengetahui program Brantas Tuntas.

Responden beralasan mereka belum pernah mendengar, berpastisipasi maupun terlibat dalam program Brantas Tuntas. Sebanyak 98 persen responden menilai pemerintah harus segera melakukan tindakan konkrit untuk mempercepat pemulihan kondisi sungai Brantas. Diantaranya, pemerataan layanan sampah dengan pemilahan sampah dari sumber, pengumpulan dan pengangkutan di setiap daerah. Termasuk penyediakan dan pemerataan fasilitas Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) 3 R.

Sampah rumah tangga, limbah cair domestik mencemari sungai Brantas. (Foto: BRUIN).

Selain itu, segera ditertibkan bangunan liar di bantaran Sungai Brantas. Serta menetapkan bantaran Sungai Brantas menjadi kawasan suaka ikan dan edukasi yang disahkan melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur. Memasukkan program pemulihan kualitas air sungai Brantas dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dilanjutkan dengan membentuk satgas khusus untuk melakukan tugas pengawasan dan pengendalian pencemaran sungai Brantas. Menambah anggaran Dinas Lingkungan Hidup setiap Kabupaten/ Kota d Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas sebagai langkah optimalisasi pengawasan dan perlindungan sungai Brantas.

Melakukan pengawasan rutin dan patrol berjangka yang dilakukan institusi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sungai Brantas, kolaborasi antara BBWS Brantas, DLH, Dinas Pekerjaan Umum dan Perum Jasa Tirta 1. Merombak dan memperbaiki birokrasi dalam melakukan pengelolaan Brantas. Melibatkan NGO dan Komunitas Peduli Lingkungan dalam pengelolaan lingkungan dan sungai Brantas.

“Menindak tegas pelaku perusak sungai Brantas dan melakukan penegakan hukum dengan adil dan tidak tebang pilih,” katanya.  Serta dibutuhkan akses informasi dan transparansi dalam proses penegakan hukum dalam penanganan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan.