Sunda Empire dan Bancarnya Sumber Fiksi Ilmiah

sunda-empire-dan-bancarnya-sumber-fiksi-ilmiah
Iklan terakota

Terakota.id–Ketika Rangga Sasana bercerita tentang Sunda Empire di sebuah acara televisi, semua narasumber tertawa, mulai politisi sampai akademisi. Ketika diminta berkomentar, Sujiwo Tejo justru sebaliknya: positif melihat itu. Alih-alih memperolok segala yang disampaikan Rangga Sasana sebagai omong kosong, dia mencoba berempati dan mendudukkan dirinya dalam posisi seorang yang hidup di sebuah tempat bersistem imperium.

Dia coba membayangkan seperti apa kritik pengikut kerajaan terhadap sistem demokrasi, terutama demokrasi yang bermasalah. Maka, penonton pun akhirnya dibuat terpana dan mencoba memasuki wilayah pikir yang lebih tinggi dari fenomena Sunda Empire ini. Jika dilihat dari sudut pandang itu, Sunda Empire pun akhirnya menjadi sebuah kesempatan untuk merenung. Kekaisaran yang ditertawakan orang itu pun memiliki signifikansi kritisnya.

Apakah hanya Tejo yang bisa mengambil sisi positif dari kejadian ini? Tidak. Banyak orang yang sudah melakukannya. Tejo sendiri sebelumnya menghubungkan besarnya sorotan kepada Sunda Empire di media dengan pengalihan isu. Karena naiknya isu ini, Jiwasraya dan kasus-kasus lain jadi redup. Ya, pengalihan isu adalah istilah yang lazim muncul saat membaca keadaan tertentu.

Saat kita berbicara tentang pengalihan isu, maka yang penting dari munculnya Sunda Empire ini bukanlah esensi dari imperium itu sendiri, tapi fakta bahwa ia muncul itu saja sudah memiliki nilai pentingnya. Tapi, tidakkah terlalu malas jadinya kalau persoalan apa saja kita baca sebagai pengalihan isu? Tidakkah kita bisa membacanya dengan cara yang lain?

Saya malah terpikir, jangan-jangan fenomena Sunda Empire ini membisikkan jawaban atas persoalan dunia bacaan di Indonesia: kita tidak punya cukup fiksi ilmiah.

Fiksi Ilmiah Alam dan Sosial

Perlu ditegaskan dulu di sini apa itu fiksi ilmiah, sekadar menyamakan persepsi. Secara umum, kita cenderung mengasosiasikan fiksi ilmiah dengan cerita-cerita yang futuristik, dunia penuh robot dan mobil terbang, mesin waktu, dan alat-alat canggih hasil eksperimen atau ilmu pengetahuan semacam ilmu fisika, kimia, biologi, dan sejenisnya. Pendeknya, fiksi ilmiah cenderung kita asosiasikan dengan teknologi, kemajuan, dan segala kemajuan yang dihasilkan oleh teknologi hasil penerapan ilmu alam. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena memang pada kenyataannya, kebanyakan film atau cerita fiksi ilmiah sangat mengandalkan kepada ilmu alam.

Tapi, kalau kita perluas jangkauan fiksi ilmiah kita, kita akan mendapati bahwa genre fiksi ilmiah ini tidak hanya soal ilmu alam. Tidak sedikit karya fiksi ilmiah yang berakar pada ilmu sosial. Kalau diingat lagi, kan memang yang namanya ilmiah itu hanya dari ilmu alam. Ilmu sosial juga bisa ilmiah, kan? Karya-karya fiksi ilmiah yang berakar dari ilmu sosial ini biasanya berupa sejarah alternatif atau kisah-kisah yang memelintir premis-premis dalam ilmu sosial. Dan ini dipraktikkan oleh nama-nama besar genre ini. Philip K. Dick yang karya-karyanya menginspirasi film-film fiksi ilmiah populer semacam Blade Runner, Total Recall, maupun The Matrix itu pun pernah menulis cerita fiksi ilmiah yang cukup populer hasil mengulik sejarah. Judulnya adalah Man in the High Castle, sebuah film sejarah alternatif yang mengimajinasikan apa yang terjadi bila Amerika Serikat tidak memenangkan Perang Dunia II dan tempat itu dikuasai Jerman dan Jepang.

Atau yang terkenal dalam dua dekade terakhir adalah karya ambisius Kim Stanley Robinson The Years of Salt and Rice, sebuah kisah sejarah alternatif tentang dunia dalam beberapa abad setelah populasi Eropa nyaris semuanya mati karena Pagebluk atau Black Death dan benua itu dikoloni oleh orang-orang Muslim dari Arab dan Afrika. Cerita-cerita menakjubkan ini memelintir premis-premis atau hipotesis-hipotesis dalam berbagai ilmu sosial untuk menghadirkan sebuah dunia yang berbeda.

Pengoprekan premis-premis ilmiah baik ilmu alam maupun sosial untuk menghasilkan sebuah dunia berbeda yang sewajarnya tidak akan ada inilah yang merupakan hakikat fiksi ilmiah. Dunia yang berbeda dan asing ini merupakan hasil dari proses cognitive estrangement atau keasingan kognitif dalam bahasa Darko Suvin, kritikus budaya yang menteorikan fiksi ilmiah. Asalkan bisa menciptakan dunia asing dengan penambahan elemen baru atau novum (misalnya kloning dengan DNA dinosaurus dalam tubuh nyamuk yang terperangkap batu katilayu seperti dalam Jurassic Park, atau kegagalan Amerika Serikat dalam Perang Dunia II), maka sebuah karya fiksi saat ini bisa masuk ke dalam genre fiksi ilmiah.

ilustrasi Jurassic Park 

Dan, yang menurut Darko Suvin penting, adalah karya-karya fiksi ilmiah ini memantik sikap kritis. Hal itu utamanya karena fiksi ilmiah berhasil menciptakan pemikiran-pemikiran alternatif, membuat orang-orang keluar dari pola pikir yang wajar, dan bahkan menjadi lebih waspada terhadap dunia sehari-hari yang lazimnya dijalani tanpa memikirkan terlalu jauh.

Karya-karya fiksi ilmiah semacam 1984 karya George Orwell (yang inspirasinya dari We karya Zamyatin) adalah contohnya yang paling berhasil. Di sinilah arti penting fiksi ilmiah yang seringkali dianggap sebagai hiburan sambil lalu itu (meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa memang banyak yang menonton fiksi ilmiah demi hiburan saja).

Tidakkah gambaran tentang fiksi ilmiah itu membuat Anda merasa bahwa kita sebenarnya punya cukup sumber bahan untuk kisah-kisah semacam itu?

Andaikan Sunda Empire sebuah Fiksi Ilmiah

Sekarang, mari kita main-main dengan Sunda Empire. Sayang sekali Rangga Sasana menyampaikan tentang Sunda Empire ini sebagai sebuah fakta. Hal tersebut membuat kebanyakan orang langsung menertawakan ucapan Rangga itu seperti ucapan oleh yang sedang berhalusinasi. Jelas terjadi beda frekuensi antara Rangga Sasana dan orang-orang lain yang mendengar ceritanya. Hal itu membuat orang-orang memandang cerita Rangga Sasana itu sebagai sesuatu yang konyol. Potensinya untuk menjadi sebuah hiburan dan kritik jadi sirna—kecuali bagi orang-orang semacam Sujiwo Tejo sebagaimana saya ceritakan di depan.

Akan lain ceritanya bila sejak awal Rangga Sasana sudah membingkai narasinya itu sebagai sebuah karya fiksi. Taruhlah dalam bentuk film. Sebuah cerita tentang sebuah organisasi rahasia yang berdiri sejak Perang Dunia II berakhir akan jauh lebih dekat dengan kenyataan dibandingkan, misalnya, kisah tentang makhluk-makhluk titan semacam Thanos atau manusia-manusia dengan kemampuan menakjubkan membelokkan waktu semacam Dr. Strange atau kemampuan berubah menjadi raksasa hijau seperti Hulk atau kisah tentang sebuah galaksi nun jauh di mato di zaman dahulu kala.

Tentu hal itu bisa dicapai dengan memelintir premis Perang Dunia II berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada sekutu menjadi Perang Dunia II berakhir dengan kesepakatan damai antara dua kekuatan global dan penyerahan kekuasan atas dunia kepada salah satu kekuatan selama sekian puluh tahun untuk kemudian dikembalikan ke kekuatan kedua. Artinya, cerita fiksi ilmiah di sini adalah fiksi ilmiah sosial.

Coba kalau Sunda Empire berbentuk cerita berbau teori konspirasi semacam itu, mirip cerita tentang Ksatria Templar dalam buku The Brotherhood of the Holy Shroud karya Julia Navarro itu. Pasti lebih menyenangkan, kan, dan lebih mudah hidup alami di imajinasi orang. Selain itu, para pembaca pasti lebih mudah membacanya sebagai entah itu metafora atau alegori yang bisa dipakai untuk mengkritisi kondisi saat ini.

Kemungkinannya untuk dikembangkan menjadi cerita fiksi ilmiah ini merupakan satu indikasi kecil saja dari potensi yang bisa kita gali, yang selama ini dianggap tidak ada. Hal ini tentunya lebih bagus bila potensi-potensi semacam ini hanya digunakan untuk mengambil keuntungan dari budaya lisan kita yang cenderung suka membicarakan dan mengikuti hal-hal seperti ini.

Di telinga orang-orang yang sangat menerima cerita-cerita lisan dari mulut-ke-mulut hal seperti ini bisa menjadi sesuatu yang sangat dipercaya. Hal itu utamanya karena narasinya menyenangkan dan memberikan harapan yang dibutuhkan. Potensi narasi ini pulalah yang membuat cerita ini juga bisa menarik sebagai karya fiksi.

Apa Pentingnya Fiksi Ilmiah?

Itulah pertanyaan yang mungkin akan muncul jika memang ada orang seperti saya yang berargumen bahwa narasi-narasi ajaib semacam Sunda Empire, Keraton Agung Sejagad, atau keraton-keraton yang lain bisa menjadi material yang baik untuk fiksi ilmiah. Memangnya apa pentingnya? Berbagai orang, mulai dari penikmat, pembuat, sampai kritikus fiksi dan film bisa memberikan banyak jawaban tentang ini. Mari kita eksplorasi dua jawaban saja, yang intinya adalah fiksi ilmiah tidak akan berhenti sebagai tontonan saja.

Yang utama adalah fiksi ilmiah bagaimanapun juga adalah hiburan yang mengasyikkan tapi juga membuat penikmatnya aktif berpikir. Dia bukan hiburan malas yang pembaca atau penontonnya tidak perlu repot-repot menalar ini itu. Estetika fiksi ilmiah yang menuntut adanya penjelasan-penjelasan atas segala keajaiban yang diceritakan akan membuat penontonnya tidak pernah berhenti menalar sambil menikmati hal-hal aneh yang ada di dalam cerita tersebut.

Bahkan, ada cerita-cerita fiksi ilmiah tertentu yang menyisakan tanda tanya tiada henti bagi penonton dan penonton harus mencari buku-buku lain untuk mendapatkan penjelasan atas tanda tanya yang diajukan di dalam karya tersebut.

Selain itu, yang lebih menyenangkan adalah fiksi ilmiah bisa menjadi ruang untuk kehadiran ilmu pengetahuan di luar domainnya yang kaku. Di sini, kita bisa menyitir Yasraf Amir Piliang yang buku Medan Kreativitas sempat mengajukan lima strategi untuk meminimalkan dampak dari berbagai kendala yang menghambat pengetahuan. Salah satu strategi yang diajukannya adalah membuka “ruang representasi” untuk semakin meresapnya ilmu pengetahuan ke dalam kebudayaan.

Televisi, novel, workshop, dan lain-lain adalah cara yang lazim untuk representasi tersebut. Namun, di antara contoh-contoh itu, Yasraf Amir Piliang menyisipkan fiksi ilmiah. Tentu hal ini berkaitan dengan benar-benar hadirnya ilmu pengetahuan dalam fiksi ilmiah. Penulis fiksi ilmiah (yang baik) akan menyertakan gagasan-gagasan dari dunia ilmu pengetahuan, yang kemudian akan dibengkokkan untuk menciptakan hal baru, yang tidak benar-benar ada di dunia.

Contoh paling mudah bisa ditemukan dalam Jurassic Park, film garapan sutradara Steven Spielberg yang diadaptasi dari novel Michael Crichton yang di atas sudah saya singgung sedikit. Dalam Jurassic Park, pengetahuan tentang kloning dengan menggunakan DNA dijadikan landasan, tapi kemudian pengetahuan itu dibelokkan dengan gagasan bahwa kita bisa mengekstraksi DNA dinosaurus dari nyamuk (yang telah menggigit dinosaurus) yang terjebak di dalam batu getah katilayu untuk menghasilkan dinosaurus baru. Di sini, penikmat film atau novel fiksi ilmiah itu diakrabkan dengan kloning, meskipun pada akhirnya dia tetap harus berjaga untuk tidak dengan serta merta meyakini bahwa kloning bisa melakukan itu.

Bahkan, ada buku-buku fiksi ilmiah yang juga mengajak pembaca mengetahui sumber inspirasi cerita fantastisnya. Dalam buku fiksi ilmiah gres berjudul Exhalation karya Ted Chiang, ada sebuah cerpen tentang sebuah alat bernama “pengasuh otomatis” yang bisa merawat anak ketika orang tua sibuk tetapi malah menyebabkan gangguan sosial tertentu bagi si anak. Di akhir cerita, Ted Chiang menceritakan sejumlah fakta ilmiah di bidang psikologi yang bersinggungan dengan gagasan pengaruh interaksi dengan mesin atau alat non-manusia bagi perkembangan anak.   

Sebuah karya fiksi ilmiah yang berlandaskan ilmu sejarah atau sosial, dengan demikian, bisa menjadi ruang mengakrabkan kita dengan elemen-elemen keilmuan dari bidang itu. Fiksi ilmiah sejarah alternatif yang memainkan sejarah Mataram kuno, misalnya, tentu membutuhkan penyertaan pengetahuan umum tentang sejarah Mataram Kuno sebelum akhirnya memasukkan elemen baru yang memungkinkan terjadinya kisah alternatif yang berbeda dengan narasi sejarah yang kita temukan di buku-buku sejarah.

Hal ini telah muncul, misalnya, dalam novel Aroma Karsa karya Dewi Lestari yang menggunakan fakta-fakta sejarah Majapahit yang selanjutnya dipelintir dengan penambahan elemen-elemen baru yang memungkinkan terjadinya pertemuan antara alam manusia dan dimensi lain. Dari kisah ini, misalnya, pembaca diakrabkan dengan pengetahuan tentang Majapahit yang diterima di lingkungan keilmuan sejarah nusantara.

Terlepas dari dua hal tersebut, fiksi ilmiah juga memiliki arti penting yang tak bisa diabaikan. Kritikus sastra Darko Suvin menilai fiksi ilmiah sebagai karya sastra populer yang selalu punya potensi kritis. Indonesia, sayangnya, sangat kekurangan karya-karya penting semacam ini. Dalam artikel pendeknya pada bulan Agustus di sini, Ardi Wina Saputra mengatakan banyak hiburan anak (yang mengandung fiksi ilmiah) yang turut membantu merawat imajinasi anak-anak Jepang untuk membayangkan dunia yang lebih canggih. Pendeknya, fiksi ilmiah yang merupakan genre penting dalam sastra populer dan sinema ini tidak merugikan dan bahkan menguntungkan.

Hasil dari Fiksionalisasi Sunda Empire

Sekarang, mari kita lanjutkan membayangkan apa yang akan terjadi bila seorang penulis fiksi ilmiah perlu menulis tentang Sunda Empire. Pengetahuan dari ilmu sosial apa saja yang kira-kira diperlukan sebagai dasar agar imperium itu setidaknya bisa dinalar oleh pembaca? Memang banyak kerja yang harus dilakukan si penulis: sejarah Perang Dunia II, sistem keuangan, Vatikan, legenda Atlantis, Konferensi Asia Afrika, dan sebagainya. Memang banyak. Tapi, dengan sebuah bibit yang sekelas dengan kisah-kisah konspirasi yang sangat laku itu, kita bisa mendapatkan cerita yang menghibur pembaca dan tetap memantik pikiran dan pertanyaan. Pembaca yang mengalami “keasingan kognitif” sebagai kata Suvin, akan terus mencoba menalar dunia alternatif ini.

Nah, kalau itu sudah terjadi, maka perbincangan-perbincangan yang mengikutinya akan menarik. Kalau Sunda Empire dan keraton-keraton baru lainnya sudah sejak awal dibingkai dalam bentuk fiksi, akan lebih banyak orang yang terhibur tapi juga tetap mendapat pengetahuan, tentu dengan sedikit usaha. Di samping itu, seorang pembaca yang jeli bisa segera membaca latar belakang sosiohistoris terciptanya karya tersebut.

Tidak akan ada lagi orang ditertawakan dan dianggap berhalusinasi hanya berdasarkan pemaknaan harfiah atas ucapannya tanpa menimbang lebih dalam implikasi dari ucapan tersebut. Atau, kita bahkan bisa membaca persoalan-persoalan dalam cerita itu lebih dari sekadar urusan pengalihan isu.

Dalam keadaan seperti itu, Sujiwo Tejo tidak perlu repot-repot turun tangan dan mengajak kita berpikir lebih dalam, ke kedalaman bumi jauh di bawah tumpukan sampah yang sebagian mulai mengompos. Sujiwo Tejo, Presiden Jancukers itu, bisa lebih fokus memikirkan Republik Jancukers yang dari penuturan Sujiwo Tejo benar-benar seperti sebuah utopia itu.