Terakota.id–Eka Kurniawan, sastrawan kelahiran Tasikmalaya pada 1975, baru saja menerbitkan buku berisi satu cerita pendek. Ya, tidak salah. Buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini hanya berisi satu cerita, yang berjudul Sumur. Saking tipisnya buku ini (51 halaman, termasuk ilustrasi dan bagian ‘Tentang Penulis’), ia hadir dan dijual dengan dipak di dalam amplop yang serupa dengan amplop coklat yang biasa digunakan untuk mengirim paket dokumen. Bisa jadi, ini adalah strategi pemasaran yang baru, atau sekadar untuk tampil beda, kita tidak tahu pasti.
Meskipun tipis, Sumur-nya Eka Kurniawan ini tetap sanggup ‘mengisi ember perhatian pembaca sampai penuh’, minimal saya sendiri. Saya sanggup menyelesaikan membaca cerita tersebut dalam ‘sepertarikan nafas’. Maksud saya, dalam sekali duduk, nyaris tanpa sempat meleng.
Sumur berkisah tentang Toyib dan Siti yang hidup sekampung dan saling menyukai semenjak kecil, tetapi tidak bisa bersatu. Keduanya tidak dapat bersama-sama lagi berangkat ke sekolah semenjak ayah Toyib memburaikan usus ayah Siti dengan sabetan aritnya saat keduanya berduel berebut air guna sekadar membasahi ladang mereka yang kurus.
Telaga yang menjadi sumber air telah mengering dan berubah menjadi rawa-rawa penuh lumpur pada musim kemarau serta sumber bencana bah pada musim penghujan. Semuanya itu terjadi karena pohon-pohon telah dibabati, hutan sudah digunduli. Para cukong dan pembabat tak pandang bulu dan tak peduli pada kerusakan alam dan sosial yang diakibatkan oleh keserakahan mereka.
Persahabatan, rasa kasih, dan mungkin bahkan percintaan yang mungkin terjalin dengan indahnya antara Toyib dan Siti sekiranya tidak ada musibah yang dipicu oleh perebutan air yang semakin langka dan mahal itu kandas. Oleh ‘bencana alam’ yang disebabkan tindakan sekelompok manusia pemburu harta, manusia lain menderita dan kehilangan kesempatan untuk berbahagia.
Dipandang dari sisi akhir yang tragis seperti itu, cerita Sumur terasa agak klise, memang. Tetapi, apa mau dikata, ramuan dari cerita yang menarik adalah tragedi atau penderitaan tokoh-tokohnya. Cerita yang berakhir indah hanya muncul dalam dongeng, film Holywood, dan kisah-kisah remaja labil.
Saya sendiri cukup yakin bahwa bukan keniscayaan ketidakbersatuan cinta antara Toyib dan Sitilah, seperti disimbolkan oleh posisi berdiri keduanya di kedua sisi sumur—satu-satunya sumber mata air di kampung itu—yang berseberangan, yang menjadi fokus utama dari cerita pendek ini. Bukan berarti bahwa ceritanya tidak menarik dan penting, karena bagaimana pun ini adalah karya sastra, di mana wadag atau bentuk punya fungsi praktis dan estetis yang esensial.
Seperti apakah sastra menyuarakan pengalaman manusia di hadapan bencana yang ditimpakan oleh alam atas diri mereka karena ulah manusia sendiri? Dan, sikap seperti apakah yang ditawarkan sastra agar ditempuh manusia ketika berhadapan dengan bencana ekologis?
Sastra sebagai Paradigma Kehidupan
Sastra menawarkan cerita, dengan manusia dan kemanusiaan pada posisi sentral. Tidak ada sastra tanpa manusia dan pengalaman, perasaan, sikap, dan kedirian mereka. Bahkan jika sastra mengambil rupa fabel, misalnya, atau kartun, pada intinya itu adalah tentang manusia dan kemanusiaan.
Sebaliknya, manusia dan kemanusiaan, tentu saja, bukan hanya merupakan domain sastra. Manusia dan kemanusiaan bisa jadi merupakan pengisi posisi sentral dari hampir semua ilmu pengetahuan selepas Abad Pertengahan dan Aufklarung. Tetapi, sastra menduduki peran yang unik dalam menjelaskan manusia karena sastra berupaya mengungkapkan konsep yang pelik ke dalam keseharian melalui kisah.
Konsep bencana ekologis dapat dijelaskan dengan pendekatan biologis, kosmologis, ekonomis, dan semacamnya. Penjelasan yang diberikan oleh berbagai ilmu tersebut sangat bermanfaat dan mencerahkan, bisa juga, sampai kadar tertentu, membawa pada solusi. Namun, tidak jarang penjelasan yang diberikan oleh cabang-cabang keilmuan tersebut sangat dingin dan rigid serta terbaca hanya oleh mereka yang memang familiar dengannya.
Sastra menawarkan sebuah ‘guncangan’, karena sastra menghadirkan apa-apa yang seringkali luput dari radar berbagai ilmu lain. Sastra menghadirkan manusia-manusia dengan segala problematika, perasaan, pengalaman, harapan, ketakutan, cinta, kebencian, emosi, dan semacamnya. Sastra bahkan bukan sekadar merupakan representasi dari kehidupan, karena representasi by definition tidak pernah melampaui yang direpresentasikannya. Tiruan atau gambaran tidak pernah lebih ‘murni’ daripada presentasi atau aslinya.
Melalui kisah-kisah yang bisa jadi terdengar sederhana, sastra menyingkap perasaan yang disembunyikan dan menelanjangi kemunafikan. Dalam ‘kenaifan’-nya, sastra membongkar kepura-puraan secara subtil. Saking subtilnya cara sastra, kadang orang tidak menyadari hal tersebut.
Membaca sastra bisa membuat orang merasakan kesedihan yang menggigit-gigit, seperti ketika di Sumur kita membaca tentang Toyib yang tetap menimba air dan mengisi bak bagi keluarga Siti tanpa pernah sekali pun bersitatap dan beramah-ramah dengan pujaan hatinya itu. Juga ketika dia menjadi sadar bahwa Siti telah berangkat ke kota tanpa pamit kepadanya. Sastra pun sanggup membuat orang penuh dengan kegembiraan.
Sastra di Hadapan Bencana atau Malapetaka
Sastra semestinya memberi atau menawarkan suatu ruang kreatif bagi pembaca untuk menemukan jalan dalam menghadapi berbagai pengalaman, termasuk pengalaman bencana atau malapetaka. Bukan berarti bahwa sastra memberikan jawaban langsung dan ces pleng bagi pengalaman berat tersebut. Sastra mestinya membuka wawasan manusia akan kebebasannya, dalam pengertian kebebasannya untuk melawan, untuk menentukan, atau untuk membuat komitmen tertentu.
Orang yang membaca sastra, karenanya, akan menyadari bahwa bencana atau malapetaka bukanlah hukuman dari Tuhan, karena sekali lagi, posisi sentral dalam sastra adalah manusia dan kemanusiaan, bukan yang ilahiah. ‘Sastra’ yang serta-merta melemparkan kepada Tuhan atau malaikat atau setan nasib apa pun yang menimpa manusia layak menyandang gelar khotbah alih-alih karya sastrawi.
Sastra mengajak pembacanya untuk memandang bencana atau malapetaka sebagai kesempatan yang menantang untuk bekerja keras mengatasi penderitaan dan kejahatan, serta untuk memberi makna pada hidup. Sastra juga mengajak untuk berbela rasa dengan korban, karena lebih seringnya perspektif korbanlah yang digunakan oleh penulis sastra untuk menceritakan kisah yang dibangunnya.
Bela rasa itu tidak jarang memanifestasi dalam bentuknya yang luar biasa dan ekstrem dalam sastra, yaitu dalam pemberian atau pengorbanan diri. Toyib berusaha untuk setia kepada Siti dan keluarganya, atau setidak-tidaknya pada bayangannya sendiri tentang Siti, dengan cara bekerja lebih keras dan mengisi bak air di rumah keluarga Siti.
Namun demikian, kesan kuat yang saya baca dari cerita Eka Kurniawan berjudul Sumur ini adalah bahwa kurang ada gereget tentang tekad kuat untuk melawan nasib, berjuang keras memperbaiki keadaan, atau sekadar menerima dengan kritis. Tokoh-tokohnya serupa tokoh yang narimo ing pandum dan kurang tahu atau tidak sadar akan ketidakadilan dalam malapetaka yang menimpa mereka. Tetapi, mungkin juga itu adalah strategi mereka bisa bertahan hidup di tengah ketidakberdayaan besar yang mereka hadapi.
Satu hal yang saya sukai dari cerita Eka ini adalah betapa dia tidak tergoda untuk menggiring tokoh-tokohnya menemukan jawaban yang mudah, entah di dalam agama atau konsep Tuhan. Dalam hal ini, Sumur setia pada cerita serta pengalaman manusia dan kemanusiaan; juga ketika dihadapkan pada pengalaman bencana atau malapetaka.
Dosen prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung, penerjemah buku, dan pembaca yang giat.