Arca Dewi Laksmi dan Dewi Sri di Sumber Tetek. (Terakotaid/ Dyah A. Pitaloka)
Iklan terakota

Terakota.id- Sejumlah pemuda Desa Wonosunyo Kecamatan Gempol Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, silih berganti mengambil air di kawasan Sumber Tetek atau Sumber Belahan. Air jernih keluar dari bagian dada arca Dewi Sri yang diperkirakan telah ada pada tahun 971 Saka atau 1049 Masehi, ketika raja Airlangga  meninggal.

Seperti ASI pada perempuan, air yang keluar dari payudara Dewi Sri menyimbulkan air sebagai sumber kehidupan, sekaligus suci karena keluar dari simbol kehidupan dan kesuburan. Ribuan tahun hingga saat ini, air dipercaya tetap mengalir dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup lebih dari 40 kepala keluarga setempat, serta mengaliri ribuan petak sawah di lereng pegunungan Penanggungan.

“ Sejak saya lahir, sampai ayah saya meninggal, air di sini tidak pernah kering. Sumber airnya dipakai warga untuk minum dan mengairi sawah, karena di sini sumur tak keluar air,” kata juru pelihara situs Sumber Tetek, Aliyas. Aliyas lahir dan besar di desa setempat. Sudah 20 tahun menggantikan orangtuanya sebagai juru pelihara situs tersebut.

Air Keluar dari Dewi Sri dan Dewi Laksmi

Situs sumber tetek berada sekitar 15 menit dari jalan Raya Pasuruan. Pemandian yang berusia setidaknya lebih dari 1000 tahun itu memiliki sejumlah arca yang terlihat terawat dan dalam bentuk dan proporsi pahatan yang bagus. Situs tersebut memiliki panjang sekitar 6,8 meter, lebar 6,3 meter dan tinggi sekitar 4,6 meter , terbuat dari batu bata.

Di dalam kolam air terdapat dua arca, yaitu Dewi Laksmi di Utara dan Dewi Sri di Selatan mengapit arca yang diperkirakan adalah Dewa Wisnu di bagian tengah. Pada bagian atas arca terdapat pahatan yang menyimbolkan resi dan ukiran menyerupai lidah api pada dinding batu bata bagian atas.

Arca Dewi Laksmi dan Dewi Sri yang dikenal sebagai istri Wisnu dipahat dengan apik. Arca dengan tinggi lebih dari 1 meter itu memiliki bentuk proporsional dan terjaga dengan cukup baik, dari bagian kepala, wajah, tubuh,  hingga kaki. Air pegunungan memancur dari bagian payudara dan mengalir pelan  dari dua telapak tangan Dewi Sri. Air ditampung dalam kolam kecil yang sering digunakan mandi oleh pengunjung dan penduduk setempat. Sedangkan air yang keluar dari payudara sering diambil langsung untuk air minum.

“ Sejak saya lahir sampai sekarang sumber ini tak pernah kering. Air yang mengalir ke sungai kami bagi menggunakan pompa air. Banyak juga yang langsung mengambil air ke sini untuk minum. Air yang mengalir disungai digunakan untuk mengairi sawah,” kata Aliyas.

Warga setempat merawat situs sekaligus sumber air yang memenuhi kebutuhan hidup dasar bagi mereka, dengan sejumlah tradisi. Diantaranya selalu mengadakan syukuran di dalam situs yang berada di ketinggian 400 mdpl itu ketika hendak punya hajat.

“Kalau ada yang mau punya hajat misalnya pernikahan, pasti kenduri (selamatan) di sini. Membawa makanan yang dimakan bersama dengan pengunjung atau siapapun yang ada di sini,” lanjutnya.

Warga percaya, acara akan berbuah petaka jika lalai tak melakukan kenduri di sumber tetek. Setiap tahun, warga juga melakukan ritual bersih desa di dalam situs itu.

Dikenal Dengan Nama Sumber Tetek

warga setempat mengambil air dari arca Dewi Sri di Sumber Tetek. (Terakota.id/Dyah A. Pitaloka)

Situs tersebut kemudian dikenal dengan nama Sumber Tetek atau Sumber Belahan. Penamaan Sumber Tetek menurut Arkeolog dan akademisi dari Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono berasal dari masa yang lebih muda, merujuk pada sumber keluarnya air dari arca tersebut.

“Karena air yang deras keluar dari payudara, warga kemudian menamakan tetek atau puting dalam bahasa Jawa. Ini masih dugaan, karena di Jawa juga dikenal nama pentil dan susu untuk payudara,” kata Dwi.

Sedangkan nama Belahan diduga berasal dari arca Candra Sangkala, arca yang menggambarkan raksasa sedang memakan bulan, sebuah relief yang mengisahkan gerhana bulan bertahun saka 971 atau 1049 masehi.

“Tahun itu tepat ketika Airlangga meninggal, dan diikuti dengan terbelahnya kerajaan Airlangga menjadi dua, Kediri atau Panjalu dan Jenggala. Dari latar belakang kondisi itu kemudian menyebabkan candi ini juga dikenal dengan candi belahan,” lanjutnya.

Terkait fungsinya, Dwi Cahyono menyebut Patirtan tersebut lebih tepat digunakan sebagai taman pemandian, dibandingkan sebagai tempat persemayaman Wisnu. Keberadaan Dewi Laksmi dan Dewi Sri menggambarkan adanya simbol merubah air biasa menjadi air suci dan menjadi sumber kehidupan. Munculnya air dari Payudara melengkapi simbol air sebagai sumber kehidupan.

Air menjadi sumber penyubur sawaha dan hutan di lereng gunung, serta digunakan untuk kebutuhan ritual keagamaan. “ Di lain tempat, air juga muncul dari pusar. Pada proses kehamilan, pusar juga sumber kehidupan bagi bayi di dalam perut. Dewi Sri dan figur perempuan juga dikenal sebagai dewi kesuburan, tanah, air dan penghidupan,” katanya.

Dari sejumlah dokumen sejarah, arca Dewi Laksmi dahulu juga menyemburkan air. Total terdapat delapan sumber air yang menyembur masing-masing dari dua arca. Juga terdapat sejumlah pancuran di tepi kolam dari berbagai arca berbentuk aneka bunga. “ Mungkin karena sumber mengecil yang Dewi Laksmi tak keluar air lagi. Di bagian tepi kolam juga terlihat ada paralon untuk mengalirkan air.

Menurutnya, Sumber Tetek unik karena menampilkan Dewi Sri bersama dengan Dewi Laksmi di satu tempat. Di Jawa, Dewi Sri lebih umum daripada Dewi Laksmi. Sementara Dewi Laksmi populer di India. Penempatan sekaligus pahatan arca dengan hiasan relung di bagian belakang kepala juga dipengaruhi gaya India. “Gaya bangunanannya menunjukkan gaya Hindu Klasik, ada pengaruh India pada kehadiran Dewi Laksmi dan Hiasan bundaran di belakang kepala arca,” lanjutnya.

Hanya saja, arca Wisnu yang diduga berada di antara dua arca Laksmi dan Sri tak ada lagi ditempatnya saat ini. Namun menurutnya kondisi patirtan tersebut tergolong sangat terawat dibandingkan arca lain di sekitar Jawa Timur. “ Arca itu kondisinya sangat bagus dan dipahat sangat cantik. Bagian kepala utuh, tak seperti arca kebanyakan yang rusak diantaranya akibat kondisi politik di tahun 1960 an,” katanya.

Selain warga setempat, kesegaran air sumber tetek juga tenar di banyak wilayah di Jawa Timur. Setiap akhir pekan, jumlah wisatawan yang mampir di sumber yang relative kecil itu meningkat. Meskipun tak mencapai ribuan orang namun pemandian tak pernah sepi. Airnya segar dan pahatan arcanya dihargai sebagai warisan nenek moyang dan bagian dari sejarah peradaban.

“ Ada banyak arca yang rusak. Saya bersyukur arca ini tergolong masih utuh karena masyarakat setempat ikut menjaga. . Mungkin karena situs yang juga memberikan manfaat berupa air bersih itu,” tandasnya.

 

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini