Alat Musik Klenteng Sebagai Pengiring Takbir Menjelang Sholat Idul Fitri di Donggang, Taiwan. (Foto: Hasan Basri Maulana Firmansyah).
Iklan terakota

Oleh: Hasan Basri Maulana Firmansyah*

Terakota.IDMenjalani kehidupan rantau memang tidak selalu berisi kesenangan. Untuk sebuah menu makan malam saja, menu makan siang di rumah sendiri akan terasa lebih nikmat daripada menu hangat di perantauan. Berbicara tentang hidup di perantauan bisa disamakan dengan bicara tentang perjuangan. Perjuangan merantau antar kota saja sudah cukup menguras pikiran hingga tenaga, apa lagi dengan pejuang merantau lintas negara. Ketika berbicara tentang perantauan lintas negara, perbedaan yang dihadapi tentu bukan hanya tentang makanan dan pertemanan saja, tapi lebih kompleks kepada hal-hal struktural seperti budaya hingga agama.

Berbicara tentang tanah rantau, Taiwan merupakan salah satu negara yang banyak disinggahi pendatang dari Indonesia. Sejauh ini, jika dilihat dari populasinya, latar belakang kedatangan warga negara Indonesia di negeri Formosa ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu untuk bekerja dan belajar. Meski ada yang datang ke Taiwan untuk liburan, jumlahnya mungkin tidak lebih banyak dari dua jenis tersebut.

Narasi-narasi yang menghadirkan ketakutan kala akan tinggal di Taiwan mungkin sangat beragam. Namun, kenyataannya tidak semua narasi itu benar adanya. Bahkan, sebagai orang Indonesia, Taiwan bisa menjadi salah satu negara yang secara tidak langsung dapat menjalankan isi-isi dari Pancasila secara baik.

Realitas Pluralitas

Mengingat sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa, agama menjadi hal penting bagi warga Indonesia. Saking pentingnya, perihal agama pun seolah harus teridentifikasi dengan jelas di setiap dokumen seperti: KTP, KK, hingga CV. Di Taiwan sendiri, informasi tentang agama tidak dituliskan secara gamblang pada KTP, baik untuk KTP warga lokal atau pun pendatang. Warga lokal Taiwan sendiri hampir jarang melibatkan perihal agama dalam sebuah obrolan. Meski demikian, bukan berarti negara Taiwan tidak merayakan agama dengan baik.

Perayaan hari raya di Taiwan tidak kalah dengan perayaan hari raya di Indonesia. Salah satu contoh paling umumnya adalah saat perayaan tahun baru; atau biasa disebut Imlek. Pada perayaannya, kemeriahaan tidak hanya berpihak pada warga lokal, tapi juga pendatang. Bagaimana tidak, pada perayaan terkait, para pendatang yang berstatus sebagai pekerja atau pelajar tak jarang mendapatkan amplop merah berisi uang hingga bingkisan lain dari tempat mereka bekerja, sekolah, hingga dari teman dekat. Khusus pekerja migran di pabrik, sebagian besar dari mereka pasti mendapat bonus gaji pada perayaan ini.

Kesenangan orang Indonesia pada perayaan hari raya atau festival di Taiwan tidak berhenti pada uang atau barang, tapi juga pada keterlibatan. Wu Ting-Kuan dalam buku Nanyian di Perantauan menjelaskan bahwa warga Indonesia yang bekerja sebagai pelaut di daerah Kaohsiung sering terlibat secara langsung dalam berbagai festival tradisional. Pada Sembahyangan Ong-Ya atau Festival Ying Wang misalnya.

Suasana Khotbah Sholat Idul Fitri di Daerah Pelabuhan Donggang, Taiwan. (Foto: Hasan Basri Maulana Firmansyah).

Dalam festival tersebut, pekerja Indonesia yang terlibat dalam kegiatan arak-arakan turut memainkan alat musik tradisional rakyat Taiwan dan menyanyikan beragam lagu Indonesia seperti lagu dangdut, lagu rakyat, hingga sholawat. Ya, sholawat! Sebagai seorang minoritas, tidak ada yang mempermasalahkan sholawat pada perayaan festival terkait. Bahkan, pertunjukkan aktraktif dari orang Indonesia ini sering menjadi topik berita menarik pada stasiun televisi lokal Taiwan.

Sebagai salah satu negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia, warga Indonesia pun diberi kebebasan dalam merayakan kegiatan agama di Taiwan. Pada hari raya Idul Fitri misalnya, warga Indonesia mempunyai hak untuk melaksanakan kegiatan agama seperti takbiran keliling hingga sholat Idul Fitri. Dalam hal takbitan, aturan jam malam tentu dipatuhi demi kerukunan dalam hidup bersama. Untuk perayaan sholat idul fitri sendiri, selain menggunakan fasilitas masjid yang tersedia, pendatang juga diberi hak untuk memakai tempat umum untuk melaksanakan ibadah.

Sebagai contoh, pada tahun ini sekumpulan warga Indonesia yang tinggal di daerah Donggang berkesempatan menyelenggarakan sholat Idul Fitri di daerah sekitar pelabuhan. Fenomena ini cukup menarik. Bagaimana tidak, pagi yang biasanya tenang berisi dengan riuhnya orang dan lantangnya suara takbir. Orang-orang lokal sekitar pun menanggapi fenomena terkait dengan wajar, sebagian dari mereka masih bekerja di kapal hingga mengirim ikan ke pasar. Bahkan, ada pula beberapa pihak lokal yang membantu penyelenggaraan Idul Fitri ini.

Refleksi Jati Diri

Dari fenomena yang ada, Taiwan dapat dikatakan sebagai salah satu negara yang secara tidak langsung dapat melaksanakan nilai-nilai Pancasila dengan baik. Di Taiwan sila keempat Pancasila tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan seolah benar-benar terlaksana dengan baik dan dapat menjadi modal dalam mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial dalam melaksanakan sila pertama Pancasila tentang Ketuhanan yang Maha Esa. Pelaksanaan sila-sila terkait pada akhirnya juga dapat melaksanakan isi sila ketiga Pancasila tentang persatuan Indonesia; di negeri rantau – Taiwan.

Alat Musik Klenteng Sebagai Pengiring Takbir Menjelang Sholat Idul Fitri di Donggang, Taiwan. (Foto: Hasan Basri Maulana Firmansyah).

Jika melihat beberapa permasalahan di Indonesia, khususnya perihal agama dan ketentraman hidup bersama, jawaban permasalahan terkait mungkin terletak pada kurang maksimalnya Indonesia dalam melaksanakan Pancasila. Sebagai negara yang mempunyai Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia harusnya bisa menjadi negara yang sangat unggul dalam berbagai hal. Dan saat kondisi terkait tercapai, mungkin rakyatnya tidak perlu mengorbankan hidup di negeri orang; hanya demi mempertahankan hidup keluarga.

Singkatnya, hidup di perantauan ternyata tidak semenyeramkan yang dibicarakan kebanyakan orang. Memang benar jika ada yang berkata bahwa, “rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada milik sendiri.” Namun, saya masih percaya bahwa makan opor saat lebaran bersama keluarga di kampung halaman akan terasa lebih nikmat daripada di rumah tetangga. Dalam hal ini, besar harapan saya agar Indonesia bisa menjadi lebih baik dalam segala aspek. Sehingga kelak kita bisa menikmati hijaunya rumput kita sendiri tanpa tergiur dengan rumput tetangga. Semoga…

– Qin-Ye Dormitory NKUST, 30 Mei 2022

E-mail: hasan.bsr46@gmail.com
Twitter: @hasfirmansyah

*Mahasiswa Master di National Kaohsiung University of Science and Technology, Taiwan

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Tinggalkan Komentar

Silakan tulis komentar anda
Silakan tulis nama anda di sini