
Terakota.ID–Sejak setahun terakhir, Bayu (Bukan nama sebenarnya) kehilangan pekerjaan sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Kota Malang. Selama setahun, ia tercatat sebagai tenaga kontrak perawat kesehatan, sesuai pendidikannya. Keinginannya bekerja sebagai perawat berstatus pekerja tetap pupus, setelah statusnya sebagai Orang dengan HIV.
Semua bermula saat pemeriksaan General Ceck Up yang rutin dilakukan saban enam bulan sekali. Termasuk pemeriksaan atas human immunodeficiency virus (HIV). Hasilnya, Bayu dinyatakan positif terinfeksi virus yang menyebabkan penurunan kekebalan tubuh. Setelah itu, ia menjalani konseling dan mendapat pengobatan.
“Belakangan teman-teman menjauh, saya dikucilkan,” ujarnya. Statusnya sebagai Orang dengan HIV bocor, diketahui teman-temannya. Padahal, selama ini pendamping yang mengambilkan obat bagi Bayu. Bahkan, ia dipindah ke bagian administrasi tak lagi melakukan layanan bagi pasien. Termasuk dilarang bersentuhan dengan jarum suntik.
“Puncaknya, kontrak tahun kedua berakhir dan tidak diperpanjang. Saya kehilangan pekerjaan,” ujarnya. Manajemen rumah sakit, katanya, dalam klausul kontrak tidak mengizinkan Orang dengan HIV bekerja. Sehingga, kini saat berstatus Orang dengan HIV, Bayu justru kehilangan pekerjaan.
Kisah yang sama juga dialami Surya (Bukan nama sebenarnya). Saban bulan ia memeriksa kesehatan sesuai layanan asuransi kesehatan yang diberikan perusahaaan tempatnya bekerja. Lantas, dokter perusahaan bertanya dan menyelidik mengenai sakit yang dialami Surya. Belakangan, dokter perusahaan mengetahui Bayu berstatus Orang dengan HIV.
Lantas, manajemen perusahaan mengambil keputusan Surya dialihkan ke bagian lain yang bekerja di ruangan sendirian. Tidak seperti sebelumnya, ia bekerja bersama para pekerja yang lain. Bahkan, ia tak bisa makan siang bersama-sama para pekerja lain. “Makan siang sedirian, makanan diantar ke ruangan khusus,” ujarnya.
Budi (bukan nama sebenarnya) juga mengalami stigma dan diskriminasi di tempat bekerja. Ia bekerja di perusahaan makanan dan minuman. Setelah, statusnya sebagai Orang dengan HIV diketahui manajemen, Budi diminta mengundurkan diri. “Perusahan khawatir produknya tidak laku, jika ada pekerja yang terinfeksi HIV,” ujarnya.
Tak hanya di tempat kerja, stigma dan diskriminasi juga dialami Orang dengan HIV anak-anak. Sebut saja namanya Arif, siswa kelas 3 sekolah dasar. Ia nyaris dikeluarkan dari sekolah, setelah guru dan wali murid mengetahui statusnya sebagai Orang dengan HIV. Guru setempat menuturkan jika desakan untuk mengeluarkan Arif berasal dari wali murid.
“Wali murid lain menolak anak Orang dengan HIV khawatir menularkan ke siswa lain,” kata Ketua Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Malang, Iwan Subagyo. Lantas, sejumlah pendamping dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang meminta agar Arif tidak dikeluarkan. Disusul sosialisasi dan penjelasan mengenai HIV/AIDS.
Agar wali murid mengetahui jika HIV/AIDS tidak menular dengan bersentuhan. Namun, penularan terjadi melalui hubungan seksual, dan jarum suntik. Hingga kini, Arif masih bisa belajar dan bersekolah. Namun, ia masih mendapat perlakuan berbeda dan dikucilkan. “Ia tak punya teman, bermain sendirian di dalam rumah,” katanya.
Arif tinggal bersama nenek, sedangkan kedua orang tuanya meninggal setelah terinfeksi HIV. Bahkan, ia harus mengambil obat sendirian di Puskesmas setempat setiap bulan. Kadang, ia juga menanyakan mengapa ia berbeda dengan anak-anak yang lain. Mulai harus minum obat pagi dan malam dan setiap bulan periksa ke puskesmas.
“Obat ini vitamin, agar pintar dan kuat,” kata Iwan merayu Arif. Ada pula yang menyebutnya sebagai pil ganteng atau pil cantik untuk anak-anak agar terus mengonsumsi obat secara rutin. Obat tersebut, katanya, diminum dalam jangka panjang, seumur hidup.
Iwan Subagyo menjelaskan stigma dan diskriminasi dialami Orang dengan HIV di semua tempat. Mulai di tempat kerja, tempat tinggal, antara teman, bahkan sarana layanan kesehatan. Orang dengan HIV mendapat stigma negatif karena dianggap HIV/AIDS penyakit yang kotor. “Stigma ada di manapun. Orang dengan HIV dijauhi, dianggap negatif,” katanya.
Padahal, katanya, siapapun bisa terinfeksi HIVAIDS. Bahkan kecenderungan maskin banyak bayi dan ibu rumah tangga yang terinfeksi. Tidak hanya orang berisiko tinggi penularan seperti pekerja seks, gay, waria dan pengguna narkoba suntik. “Ibu dan bayi kan tidak bersalah, mereka juga mendapat stigma,” ujarnya.

Bahkan stigma juga dialami Orang dengan HIV di layanan rumah sakit. Pendamping Sebaya Orang dengan HIV dari Netral Plus, Djodymenuturkan sejumlah perawat diskriminasi dalam memberi layanan. Padahal, Orang dengan HIV tersebut dalam kondisi kategori berat. “Mas, jangan disentuh. Nanti ketularan,” kata Jodhy menirukan sang perawat.
Jodhy kaget, atas ucapan perawat tersebut. Ia menanyakan mengapa seorang perawat yang seharusnya melakukan penanganan secara baik justru tidak memberikan dukungan moral bagi pasien. “Apa dia tidak mendapat pengetahuan HIV dasar? Apalagi jika pasien tidak didampingi keluarga, akan makin drop,” ujarnya.
Padahal, kata Jodhy, Orang dengan HIV butuh dukungan, dan perlu diajak komunikasi dengan baik. Apalagi, kadang pasien mengalami halusinasi. Mulai ngomong sendiri, dan ketakutan. Bahkan dalam kondisi tak terkontrol, bisa berteriak-teriak ketakutan.
Sementara Advocacy Officer Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) Deni Agus WR menjelaskan jika sejumlah transpuan justru mendapat stigma dan diskriminasi saat menjalani konseling. Konseling dilakukan setelah hasil testing HIV menunjukkan positif. “Kamu sih melanggar kodrat, jadilah pria sejati,” kata Deni menirukan ucapan konselor.
Konselor, katanya, justru menghakimi dan menyalahkan transpuan yang terdeteksi HIV. Stigma tesebut, katanya, membuat Orang dengan HIV cenderung menutup diri. Selain itu, berdampak terhadap kondisi kesehatan yang terus menurun. “Orang dengan HIV butuh dukungan dari lingkungan,” katanya.
Deni juga menceritakan seorang Orang dengan HIV batal menjalani operasi penyakit, gara-gara ia berterus terang menyampaikan statusnya kepada dokter dan petugas kesehatan. Tujuannya, agar petugas kesehatan menerapkan standard operating procedure (SOP) Alat Pelindung Diri (APD) dalam operasi Orang dengan HIV.
“Agar tidak tertular. Ternyata, operasi ditunda dan batal,” ujarnya. Sehingga, temannya tersebut pindah untuk mendapat layanan di rumah sakit lain.
Layanan diskriminasi juga dialami seorang Orang dengan HIV yang tengah menjalani operasi caesar untuk melahirkan. Sebelum operasi dijalankan, seorang tenaga kesehatan meminta pasien menandatangani surat pernyataan operasi steril. “Akhirnya, teman saya bersedia menandatangani surat persetujuan operasi steril,” kata Community Based Monitoring and Feed Back Officer Yakeba, Nurika Wandari.
Beruntung, seorang dokter yang mengetahui jika pasien berumur 28 tahun-an tersebut menjelaskan jika ia masih bisa melahirkan. Sedangkan petugas kesehatan yang menyuruhnya menandatangani surat persetujuan steril, sebagai pelanggaran.
Akhirnya dokter tersebut membatalkan operasi steril. Ia meminta sang ibu tersebut, untuk membatalkan sterilisasi. “Atas izin ibu, saya batalkan operasi steril,” ujar Nurika menirukan ucapan sang dokter.

Stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV, menganggu kesehatan mental. Seperti penelitian dosen Program Studi Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Sri Sunaringsih Ika Wardojo, PhD. Penelitian dilakukan 2019-2021 terhadap 600 Orang dengan HIV di Kota Malang. Penelitian berjudul Determinants of Quality of Life amongst PLHIV in Malang merupakan desertasinya saat menempuh pendidikan di PhD Program of Public Health Taipei Medical University, Taiwan.
Orang dengan HIV yang mendapat layanan kesehatan di Kota Malang meliputi Puskesmas Dinoyo, Puskesmas Kendalsari, RST Soepraoen dan RSI Unisma. Penelitian fokus terhadap kesehatan mental Orang dengan HIV. Stigmas dan diskriminasi, katanya, menyebabkan kecemasan, kualitas hidup dan perkembangan psikologis menurun.
“Awal terdiagnosis positif, mereka mengalami depresi. Tertekan,” katanya. Sehingga dibutuhkan dukungan dari pihak lain. Beban Orang dengan HIV semakin berat, katanya, lantaran stigma HIV/AIDS sebagai penyakit kotor dan dijauhi.
Dampaknya, banyak Orang dengan HIV yang tidak membuka status mereka kepada keluarga, teman bahkan pasangan. Mereka merahasiakan status Orang dengan HIV. Bahkan, ada yang menyampaikan statusnya kepada istri setelah lima bulan terinfeksi. “Saking takutnya, dia khawatir dikucilkan, dijauhi teman, dan tempat kerja,” katanya.
Sehingga, ia merekomendasikan Orang dengan HIV untuk mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitar. Serta tidak dikucilkan. Untuk memberi dukungan dan meningkatkan kualitas hidup. Selain itu, dilakukan upaya pencegahan dengan ABCDE. A (abstinace) tidak berhubungan seks di luar nikah, B (be faithful) saling setia pada pasangan, C (condom), menggunakan kondom saat berhubungan seksual, D (don’t use drugs) tidak memakai narkoba dan E (equipment) menggunakan peralatan steril untuk akupuntur atau tato.

Jalan, baca dan makan