
Wis kebacut ambyar, ambyar kaya ngene …
Manise janjimu mung ana lambe …………….
Wis kebacut ambyar, ambyar kaya ngene ..
Ning ngapa kowe tega nyiksa aku kaya ngene …
Sapa sing ra gela yen digawe kuciwa, ambyar….
Stasiun Balapan yang Menginspirasi
Terakota.id–Siapa sangka, fasilitas publik seperti stasiun kereta api (KA), terminal dan pelabuhan dijadikan syair lagu. Itulah maestro campursari Didi Kempot. Baginya tak ada yang tak bisa disyairlagukan dan kemudian dinyanyikan. Memang, didi kempotterkait stasiun KA, jauh sebelumnya Ismail Marzuki pernah menyinggung Stasiun Yogya dalam lagu karyanya “Sepasang Mata Bola”, namun Dionisius Prasetyo yang “lebih beken” dengan sapaan “Didi Kempot” lebih pekat dalam menkontekskan suasana Stasiun Balapan dalam syair lagunya.
Pada lagu “Sepasang Mata Bola”, yang diciptakan Isanail Marzuki pada 1946, stadiun KA di Yogya itu dijadikan latar kisah (setting story) tentang kejuangan dari pejuang yang berangkat dari Jakarta menuju palagan Yogyakarta dengan naik KA. Lagu ini merupakan salah sebuah tembang paling mujarab untuk memantik semangat para pejuang dalam pertahankan kemerdekaan Indonesia dari ambisi Belanda yang ingin berkuasa kembali di Bhumi Pertiwi. Demikian paruh pertama dari keseluruhan isi syair lagunya.
Hampir malam di Jogja
Ketika keretaku tiba
Remang-remang cuaca
Terkejut aku tiba-tiba
Dua mata memandang
Seakan-akan dia berkata
Lindungi aku pahlawan
Daripada si angkara murka
Sepasang mata bola
Dari balik jendela
Datang dari Jakarta
Menuju medan perwira
…………….
Didi Kempot dalam syair lagunya “Stasiun Balapan”, menjadikan stasiun KA di Kota Solo itu sebagai ajang kisah asmara pilu tentang “menghatarkan pergi (ngeterke lungo)” Sang Kekasih, yang dirasai “bagai orang yang kehilangan (koyo wong kelangan)“, hingga tak terasa “meneteslah air mata di pipi (netes eluh ning pipiku)“. Kepergian kekasih yang hanya berpamitan sebentar, tidak sampai sebulan, namun ternyata hingga lebih dari itu, bahkan tanpa berkirim berita. Di baris akhir syair lagunya, Didi Kempot yang adik pelawak Mamiek Prakoso — pelawak senior Srimulat — itu kemudian berujar “Lali opo pancen nglali // Yen eling mbok enggal bali (lupa ataukah melupa // apabila ingat segeralah kembali)”.
Ning Stasiun Balapan
Kuto solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku
Naliko ngeterke lungamu
Ning Stasiun Balapan
Rasane koyo wong kelangan
Kowe ninggal aku
Ra kroso netes eluh ning pipiku
Da a… Dada sayang
Da… Slamat jalan
Reff:
Janji lungo mung sedelo
Jare sewulan ra ono
Pamitmu naliko semono
Ning Stasiun Balapan Solo
Jare lungo mung sedelo
Malah tanpo kirim warto
Lali opo pancen n
Yen eling mbok enggal bali
Bagi penyanyi Didi Kempot, yang adalah putra dati seniman tradisional Solo terkenal, Ranto Edi Gudel atau lebih dikenal dengan sapaan “Mbah Ranto”, lagu ” Stasiun Balapan” bukan sekadar fiksi dalam syair lagu, melainkan “saksi bisu” dari kisah kasih yang pernah terjadi di stasiun KA, yang pada kontes ini adalah Stasiun Kota Solo yang telah beroperasi sejak 10 Februari 1870.
Entah, telah berapa puluh atau bahkan beratus kisah asmara, baik suka atau duka, yang tertoreh di stasiun bernama “Balapan” ini. Bagi Didi Kempot yang pernah melakoni hidup sebagai “seniman jalanan”, yakni musisi pengamen di Stasiun Balapan di era 1984-1986, dia melihat banyak orang yang pelukan sampai nangis karena perpisahan di stasiun KA ini. Tragedi cinta demikian mengilhami untuk menulis syair lagu dan kemudian merilisnya pada 1999,. Lewat lagu ini, Didi Kempot menorehkan prestasi di dekade 90-an..
Stasiun KA adalah salah satu fasiltas publik yang banyak menorehkan dan menyimpan kenangan. Bukan hanya Stasiun Balapan di Solo (disingkat SLO), namun tentu juga Stasiun KA Malioboro di Yogyakarta dan stasiun-stasiun KA lainnya. Tidak hanya stasiun KA-nya yang menjadi kenangan, kadang pasar di dekat stasiun pun acap torehkan kemangan, seperti pada lagu keroncong Betawi berjudul “Pasar Gambir” — yang berlokasi di dekat Stasiun Gambir. Demikian sebagian syair lagunya..
Pasar Gambir, Kota Betawi
Ai Kota Betawi
Ai indung disayang
Sampai di Gambir, Nona
Sampai di Gambir, Nona… membeli pala
Terminal Tirtonadi yang Juga Menginspirasi
Bukan hanya stasiun KA yang menginspirasi Didi Kempot dalam menulis syair lagi, terminal bus pun juga turut menginspitasi. Misal pada lagu berjudul “Terminal Tirtonadi”. Lagu ini juga diciptakan oleh Arie Wibowo dan Didi Kempot — seperti halnya lagu “Sewu Kuto”. Tema “perpisahan” dan ‘ingkar janji, tak kunjung kembali”, lagi-lagi mewarnai syair lagu ini, seperti tergambar pada syair — yang terjemahan di dalam bahasa Indonesia “Rasanya menghitung sampai lupa, sudah berapa tahun diriku menunggu, menunggu dirimu, disini ku tunggu”. Berikut syair lagu “Terkenal Tirtonadi” secara utuh.
Nalikane ing tirtonadi
Ngenteni tekane bis wayah wengi
Tanganmu tak kanthi
Kowe ngucap janji
Lungo mesti bali
Rasane ngitung nganti lali
Wis pirang taun anggonku ngenteni
Ngenteni sliramu
Neng kene tak tunggu
Nganti saelingmu
Mongso rendeng wis ganti ketigo
Opo kowe ra kroso
Yen kowe esih eling lan tresno
Kudune kowe kroso
Nalikane ing tirtonadi
Ngenteni tekane bis wayah wengi
Tanganmu tak kanthi
Kowe ngucap janji
Lungo mesti bali
Wis suwe3x
Kangen sing tak rasakke
Rasane3x
Rasane koyo ngene
Neng kene3x
Aku ngenteni kowe
Aku kangen
Kangenku mung kanggo kowe
Rasane ngitung nganti lali
Wis pirang taun anggonku ngenteni
Ngenteni sliramu
Neng kene tak tunggu
Nganti saelingmu
Wis suwe3x
Kangen sing tak rasakke
Rasane3x
Riasane koyo ngene
Neng kene3x
Aku ngenteni kowe
Aku kangen
Kangenku…
Dalam syair lagu ini, Didi Kempot memilih waktu malam sebagai latar terminal untuk gambarkan kisahnya. Bagi Terminal Tirtonadi di Solo, yang merupakan “terminal bus antar kota sekaligus antar provinsi yang tidak pernah tidur”, waktu malam dipandang Didi Kempot sebagai lebih “nges” untuk menggambarkan “kerinduan” dan “menunggu janji’. Yang lebih awal ditunggunya adalah : ingatnya akan janji untuk kembali, seperti di dalam kalimat “Kowe ngucap janji // Lungo mesti bali // Rasane ngitung nganti lali // Wis pirang taun anggonku ngenteni //Ngenteni sliramu // Neng kene tak tunggu /Nganti saelingmu”.
Penantian terhadap sang kekasih itu hingga lewat musim “Mongso rendeng wis ganti ketigo”, namun sejauh itu kekasihnya tak kunjung merasa. Yang jika masih ingat dan cinta, tentu akan merasa. Oleh karena telah demikian lama, maka yang dirasakan adalah teramat rindu. Tak diingat lagi, entah telah berapa tahun menunggunya. Adapan tempat menggunya adalah disini, di Terminal Tirtonadi. Yang akan ditunggui, hingga kekasihnya mengingatnya.
Bukan hanya Terminal Tirtonadi yang menginspirasi Didi Kempot untuk mencipta syair lagu. Terminal Kertonegoro di Ngawi pun — tepatnya suatu jalan baru (dalan anyar) di barat terminal ini dijadikan sebagai latar untuk menggambarkan kisah kasih. Menceritakan tentang seseorang memacari kekasihnya, dan tertangkap basah tatkala tengah berduaan di sebuah jalan baru di sebelah barat Terminal Kertonegoro Ngawi. Perasaan cinta yang telah memghilang, kesetiaan yang cuma kiasan. Ironisnya, perselingkuhan kekasihnya itu dilihat dengan mata sendiri. Kenangan menyakitkan itu tidak mudah dilupakan, bagai bunga tebu yang tak mengering meskipun d musim kemarau.
Demikian syair lagu “Dalan Anyar”.
Kembang tebu sing mabur kanginan,
Saksi bisu, sing dadi kenangan..
Prasetyamu kuwi mung kiasan,
Tresnamu sak iki wis ilang..
Neng dalan anyar kowe karo sopo,
Aku ngerti dewe neng ngarepe moto..
Neng dalan anyar kowe karo sopo.
Neng kulon Terminal Kertonegoro ….
Ngawi ……
Kembang tebu sing neng sawah nggrudo
Ora garing senadyan mongso ketiga
Tansah eling jamane semono
Neng kulon Terminal Kerrtonegoro
……………..
Pelabuhan Tanjung Mas pun Menginspirasi
Apabila stasiun KA (misalnya Stasiun Balapan di Solo) dan terminal bus (Terminal Tirtonadi di Solo dan Terminal Kertonrgoro di Ngawi) memberinya inspirasi bagi penciptaan lagu, demikian pula dengan pelabuhan laut. Paling tidak ada dua lagu Didi Kempot yang menjadikan pelabuhan sebagai latar kisah asmara yang dilaguka olehnya, yaitu Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang maupun Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Pelabuhan laut Tanjung Mas di Semarang menjadi latar kisah yang juga bertema “tunggu kedatangan kekasih” dan “pemenuhan janji”.
Kisah mengenai kekasih telah satu tahun meninggalkannya. Padahal, janji perginya tak sampai sebulan. Meskipun hanya sekehap, seperti titik air hujan di musim kemarau, kepulangannya dinantikandinantikannya, paling tidak untuk mendinginkan hati. Dengan telatennya ditunggui kedatangan sang kekasih di Pelabuhan Tanjung Mas sembari pendam rasa rindu. Teringat manakala dulu mengantar pergi kekasihnya lewat Pelabuhan Tanjung Mas. Kali ini, pada Pelabuhan Tajung Mas itu pula ia setia menunggu kekasihnya datang.
Demikian syair lagu “Tanjung Mas Ninggal Janji”.
Bebasan koyo ngenteni udan
ning mongso ketigo
Najan mung sedelo ora dadi ngopo
Penting iso ggademke ati
Semono ugo rasane atiku
Mung tansah nunggu tekamu
Ra kroso setaun Kowe ninggal Aku
Kangen… kangen’e atiku
Aku sik kelingan naliko nang pelabuhan
Kowe janji lungo ra ono sewulan
Nanging saiki wis luwih ing janji
Nyatane kowe ora bali-bali
Ning Pelabuhan Tanjung Mas kene
Biyen aku ngeterke Kowe
Ning Pelabuhan Semarang kene
Aku Tansah Ngenteni Kowe
Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya pun tak luput dijadikan inspirasi dalam ber- campursari. Sebenarnya lagu “Tanjung Perak” adalah lagu lama yang belum jelas siapa penciptanya (NN),. Dalam beberapa hal, ada penggubahan di syair dan cara membawakan lagunya, sehingga menjadi lebih marak dan khas dengan cengkokan Didi Kempot.
Demikian syair lagu “Tanjung Perak”
Tii tit tuiitttt
Damar mati muliho
Siti lungo pasar babi mati semar mendem
Doremisol jenang dodol geyol geyol
Mire… mire… Tahu tempe nak rasane
Satu Nada
Satu irama
Satu lantunan
Satu tujuan
Bernyanyi bersama
Waktu terang bulan
Udara bersinar terang
Teranglah sekali
Di kota lah Surabaya
Belum berapa lama
Saya duduk dengan bimbang
Datang kawan saya
Mbak Isma itu namanya
Mari-mari-mari Kita pergi
Tanjung Perak
Panggil satu taksi
kita soraklah bersorak
Taksi !
Tanjung Perak tepi laut
Siapa suka boleh ikut
Sama bapak
Pak RT…Yo Pak RW…
Bapak Lurah.. Bapak Camat…
Monggo tindak ing Tanjung Perak
Tanjung Perak tepi laut
Siapa suka boleh ikut
Bawa gitar kroncong piyul
Jangan lupa minum anggur
Tanjung Perak tepi laut
Tanjung Perak tepi laut
………………..
Sama bapak?
Pak Andik,Pak Eko,Pak Kodir..
Wes to pokoke seneng-seneng kabeh
Nggowo gitar
Joget ning kono
…………………..
Tanjung Perak
Yo jelas .. tepi laut
Kristalisasi Tualang Panjang di Syair Lagu
Beberapa lagu yang dicipta dan dinyanyikan Didi Kempot kerap diberi judul dengan memakai nama tempat, seperti dalam judul lagu “Stasiun Balapan, Terminal Tirtonadi, Dalam Anyar, Kopi Lampung, Perawan Kalimantan, Parangtritis, Pantai Klayar, Tanjung Perak, Tanjung Mas Ninggal Janji, Magelang Nyimpen Janji, Ademe Kutho Malang, Aku Kangen Magetan, Kangen Nickerie, dsb”. Secara tidak langsung Didi Kempot promosikan tempat-tempat tersebut melalui lagu ciptaannya. Perjalanan panjang Dudi Kepot dalam berkelana, utamanya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur memberinya bahan yang cukup untuk berolah cipta syair lagu. Pengalaman dirinya sebagai musisi jalanan memberinya bekal rasa untuk lebih menghayati kisah-kisah yang suratkan pada syair lagunya dan cara bernyanyinya
Gaya hidup jalanannya turut memberi warna yang “sedikit urakan” pada lagu-lagunya, yang meskipun sering berkisah tentang “patah hati (broken heart)”, namun kepiluan cinta itu tidak lantas menjafikan lagu-lagunya melankolis, justru “gembira”, sehingga kesedihan menjadi “ambyaaaaaar”. Lantaran itu, maka Didi Kempot sering disapa “The Godfather of Broker Heart”. Lagunya yang berirama Campursari dan berbahasa Jawa itu itu melulu disuka warga pedesaan dan generasi setengah banyak ke atas, namun diminati pula oleh generasi era milenial di perkotaan. Memang, Didi Kempot bukanlah musisi yang pertama di jalur Campursari. Paling tidak ada dua maestro yamg mendahului, yaitu : (1) Andjar Any (K.R.T. Andjar Any Singonegoro, 1936-2008) dan (2) Manthous (Anto Sugiarto, 1950-2012).
Andjar terbilang produktif, yang menulis lebih dari 2000 lagu — salah satunya ‘Jangkrik Genggong” yang dipopulerkan oleh Waljinah dan lagu “Yen Ing Tawang Ono Lintang”. Begitu pula halnya Manthous, yang lagu karyanya berjudul “Gethuk” populer lewat lantunan Nurafni Octavia. Meski lagu ciptaan Didi Kempot tak sebanyak Anjar Any, yakni sekitar 700 sampai dengan 800 lagu, namun Didi Kempot tak hanya hadir sebagai pencipta lagu, sekaligus menyanyikannya, mempopulerkanmya, dan kian populer lagi dengan dinyanyikan oleh banyak prnyanyi lain, baik dalam irama Campursari, Dangdut Koplo, dan genre musik lain.
Kesemuanya itu mengatarkan Didi Kempot sebagai maestro Campursari. Itulah buah upaya yang sejak digekuti sejak tahun 1980-an, dengan kariernya sebagai “penyanyi trotoar jalan” di Solo dan Jakarta,. laku, memasuki tahun 1990-an, Didi Kompor konsisten di jalur musik Campursari,yang menjadikan dirinya sebagai “Mega Legenda” bagi masyarakat Jawa, bahkan kemungkinan juga bagi orang Indonesia kebanyakan.
Seorang pria yang lahir dengan nama “Dionisius Prasetya” di Surakarta pada tanggal 31 Desember 1966 ini, Selasa 5 Mei 2020.tutup.usia di Surakarta dalam usia 53 tahun. Didi Kempot nama tenarnya, seorang musisi yang komplit, yakni pencipta lagu, penyayi dan piawi bermain gitar. Di kalangan pencinta lagu- lagu Congdut (keroncong dangdut) maupun Campursari, boleh dibilang Didi Kempot lah yang terkemuka. Selamat jalan musisi tangguh, yang mampu mengangkat lagu tradisi-kreasi Jawa menjadi bukan lagu “pinggiran” dan cuma beredar di Jawa, namun dapat menembus blantika musik nasional bahkan internasional, yang berada sejajar dengan lagu-lagu modern.
Nuwun.
Sangkaling, 6 Mei 2020

Sejarawan dan arkeolog. Tinggal di Malang