Spektrum Identitas dalam Teh dan Pengkhianat

spektrum-identitas-dalam-teh-dan-pengkhianat
Iklan terakota

Judul Buku      : Teh dan Pengkhianat

Penulis             : Iksaka Benu

Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakkan         : April 2019

Tebal               : 164 halaman

 

Terakota.id–Spektrum warna terbentuk karena cahaya yang terdispersi oleh sebuah prisma. Melalui spektrum warna, mata manusia disadarkan pada aneka ragam warna karena pembiasan cahaya. Apabila identitas manusia diibaratkan sebagai seberkas cahaya dan mata sebagai sudut pandang, maka cerpen Iksaka Banu hadir sebagai prisma yang mampu mendispersi cahaya itu.

Kehadiran Iksaka Banu dalam belantara sastra Indonesia juga merupakan spektrum tersendiri. Pria yang  mengenyam pendidikan dalam bidang desain grafis dan menggeluti bidang periklanan ini, ternyata menaruh hati pada sastra. Kemampuan Iksaka dalam periklanan sudah tidak perlu diragukan lagi. Dia sering didaulat menjadi senior art director dalam proyek penggarapan iklan.

Proses kreatif inilah yang sedikit banyak berpengaruh pada proses kreatif pembuatan cerpenya. Sebagai seorang yang lama bergelut dalam bidang pembuatan iklan, Iksaka tahu benar bagaimana cara memikat penonton. Dia tahu kapan harus memulai, memainkan konflik, hingga menutup cerita. Dalam hal ini ada benang merah antara karya sastra tulis dengan karya visual yang disajikan Iksaka. Ia seolah menjadi spektrum dalam kesusastraan Indonesia dengan menghadirkan cerita-cerita yang visualis dan filmis.

Dari segi isi cerita, melalui kumpulan cerpen (kumcer) ‘Teh dan Pengkhianat’, pembaca dapat menyaksikan spektrum identitas manusia dalam kisah-kisah yang disajikan Iksaka. Hal itu disebabkan oleh keberanian Iksaka yang mendobrak, bahkan mengobrak-abrik legitimasi-legitimasi yang telah tertancap dalam benak masyarakat. Seorang Sosiolog, Ariel Heryanto, mengatakan bahwa beberapa masyarakat Indonesia cenderung rasial dan anti kiri. Hal ini dipengaruhi oleh bacaan sekaligus tayangan yang diakses masyarakat.

Rasial dilihat dari wacana yang terus menerus didengungkan yaitu pembedaan secara dikotomis antara pribumi dan non pribumi. Anti kiri dilihat dari sebagian besar karya sastra yang dihasilkan cenderung menampilkan wajah penganut ideologi yang dianggap kiri sebagai wajah yang tertindas, bernasib malang, hingga meninggal.

Dekonstruksi legitimasi

Kumcer yang ditulis oleh Iksaka berusaha mendekonstruksi legitimasi yang sudah diamini oleh masyarakat pada umumnya. Iksaka bahkan berani menampilkan tokoh-tokoh yang notabene adalah orang Belanda tapi sangat mendukung kemerdekaan Indonesia. Gaya bercerita seperti ini sebenarnya pernah dia gunakan dalam kumcernya yang memenangi Kausala Sastra Katulistiwa bertajuk Semua Untuk Hindia (2014).

Perbedaan mendasar kumcer kali ini dengan kumcer sebelumnya adalah kronologi waktu yang disusun. Pada buku bertajuk Semua untuk Hindia, Iksaka membalik kronologi peristiwa yaitu dimulai dari waktu Kemerdekaan Indonesia (masa bersiap) menuju kedatangan Belanda pertama kali. Sedangkan pada kumpulan cerpen bertajuk Teh dan Pengkhianat, Iksaka menampilkan kronologi cerita secara maju yaitu dari kedatangan Belanda di Bangka (hlm 1) hingga persiapan kemerdekaan Indonesia.

Kelebihan yang paling mencolok adalah keberanian Iksaka dalam mendekonstruksi rasis dan stigma negatif terhadap ideologi kiri. Kelebihan ini nampak pada cerpen berjudul “Indonesia Memanggil” (hlm 139). Cerpen yang mengisahkan tentang pemogokkan kapal-kapal dari Australia menuju Indonesia ini mampu menghadirkan identitas baru yang selama ini masih terbungkam.

Identitas tersebut adalah keberhasilan orang yang dianggap berideologi kiri dalam menggagalkan keberangkatan kapal-kapal Belanda dari Australia menuju Indonesia. Kapal-kapal yang diberangkatkan ini mengangkut senjata serta para prajurit Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia ketika Jepang datang menjajah Hindia Belanda.

Saat itu, Belanda juga membawa para tahanan politik Indonesia yang dianggap berbahaya. Ketika sampai di Australia, para tahanan politik ini sudah bukan lagi berstatus sebagai tahanan. Mereka beraviliasi bersama serikat buruh di Australia dan menjaring koneksi dengan berbagai negara yang saat itu tinggal di Australia untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.

Salah satu bentuk dukungan terbesar adalah dengan membatalkan keberangkatan kapal kapal di Australia yang dinahkodai oleh pihak Belanda menuju Indonesia. Apabila kapal-kapal ini jadi berangkat ke Indonesia saat proklamasi sudah dikumandangkan, pasti kemerdekaan Indonesia akan terganggu.

Keberhasilan orang-orang yang dianggap berideologi kiri ini mampu diapresiasi dengan baik oleh Iksaka melalui cerpennya. Bahkan dalam cerpen bertajuk “Indonesia Memanggil”, Iksaka mampu menghadirkan tokoh seorang anak muda Belanda yang bersimpati terhadap gerakan buruh masyarakat Indonesia di Australia. Hal itu menunjukkan bahwa identitas bukanlah penghalang bagi manusia untuk menjunjung tinggi kemanusiaaan.

Jangan sampai pudar

Secara isi, cerpen Iksaka bukan berarti absen dari kelemahan. Kelemahan paling mencolok dalam kumcer ini adalah kurangnya keberanian Iksaka untuk mengangkat ketokohan. Iksaka masih terpaku pada peristiwa demi peristiwa, sedangkan tokoh yang disajikan hanya merupakan pemanis belaka. Ada Sentot Ali Basjha dalam “Teh dan Pengkhianat” (hlm 30), ada pula J.P Coen dalam “Kalabaka” (hlm 1).

Sayangnya, kehadiran mereka kurang memperoleh porsi lebih. Cerpen bertajuk “Teh dan Pengkhianat” memang mengisahkan sosok Sentot Alibasjha. Namun, Iksaka kurang berani menilisik masuk pada akal sekaligus mental Sentot Alibasjha. Iksaka masih menjadi pengamat atau orang ketiga yang ragu pada tokoh yang hendak diangkatnya. Padahal, ada motif dari seorang tokoh berbuat sesuatu dan apabila motif ini dibongkar, maka kita tahu landasan atau akar pemikiran tokoh tersebut. Inilah yang tidak disentuh oleh Iksaka.

Lepas dari kelemahan tersebut, cerpen Iksaka perlu diapresiasi. Kehadiran Iksaka mampu menyadarkan penikmat sastra bahwa proses kreatif khususnya kepenulisan, tidak lepas dari ideologi yang diusung penulisnya. Genre sastra sejarah, khususnya sastra kolonial juga menambah literatur bagi pembaca sastra Indonesia. Bagi Iksaka, sastra bisa menjadi energi untuk membiaskan legitimasi hitam dan putih sekaligus menyajikan spektrum warna identitas manusia hingga mencerahkan kembali kesadaran historiografi yang memudar.