
Terakota.id—Ratusan pemuda dan mahasiswa berkumpul di Jalan Raya Langsep Kota Malang. Mereka berdendang menyanyi, membacakan puisi, berorasi dan memekikkan yel-yel. Aktivitas mereka berlangsung sejak pukul 19.00 WIB. Semakin malam, jumlah mahasiswa yang bergabung semakin banyak.
Mereka menyebutnya sebagai panggung solidaritas untuk petani Kulon Progo, Yogyakarta atas pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA). Mereka berasal dari berbagai kampus di Malang, Komite Aksi Kamisan Malang, Gusdurian, Gubuk Tulis, Kalimetro, Intrans Institute, dan aktivis pers mahasiswa Malang.
Perlawanan bisa disuarakan di mana saja dan setiap saat. Sudut kota pun dapat disulap menjadi panggung solidaritas. Hal itulah yang tampak malam itu. Taman kota di Terusan Dieng Kota Malang dikreasikan menjadi panggung solidaritas. Bertajuk, “Stop NYIA, Solidaritas dari Malang untuk Kulon Progo.”
Kampanye dan panggung solidaritas ini menyita perhatian publik. Terutama pengguna jalan dan pengunjung pusat perbelanjaan di Cyber Mall Kota Malang. Lagu-lagu yang memompa semangat dan bait puisi melantun di antara deru kendaraan. Pengguna jalan sebagian sesaat berhenti, menoleh, dan menyimak aksi mereka.
Puisi berjudul “Menanam Bandara, Memanen Durjana” ditulis dan dibacakan Diatama. Puisi itu senafas dengan pesan yang tengah mereka suarakan malam itu. “Dari puing-puing mengudara do’a-do’a/ Milik mereka yang ditindas penguasa/ Alam masih bungkam/ Tapi haruskah menunggunya muntah?//
“Kami sedang menggalang solidaritas dan donasi yang dikemas dalam bentuk panggung seni,. Bantuan dapat berupa uang , baju, atau barang untuk warga Kulon Progo. ” kata inisiator acara, Miftahu Ainin Jariah.
Disediakan juga sablon atau cetak kaos bertuliskan “STOP NYIA: Penggusuran di Muka Bumi Harus Dihapuskan Karena Tidak Sesuai Dengan Perikemanusiaaan dan Perikeadilan.” Pengguna jasa sablon membayar donasi minimal Rp 15 ribu. Seluruh uang yang terkumpul akan disalurkan bagi perjuangan petani di Kulon Progo.
Selain dari sablon, dana terkumpul dari donasi stiker dan zine yang bisa didapatkan dengan membayar seikhlasnya. “Kita melihat saudara-saudara membutuhkan dukungan. Kita ikut merasakan sakitnya, meskipun tidak ada di sana. Apalagi, masalah mereka bisa menimpa kita,” ujar aktivis pers mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang ini.
Solidaritas itu penting, katanya. Gerakan rakyat yang berjuang melawan penggusuran dan represi aparatus Negara harus didukung. Agar mereka tak merasa sendirian.
“Semoga kuat melawan penggusuran dan ketika rakyat tidak berhenti melawan, rakyat akan menang,” ujarnya.
Dari panggung solidaritas ini terkumpul dana sejumlah Rp 921 ribu, serta bantuan pakaian, dan beras. Donasi ini nantinya bakal disalurkan langsung ke Kulon Progo.
Sekilas Penggusuran di Kulon Progo

Pemerintah berencana membangun bandara NYIA di Kulon Progo, Yogyakarta. Bandara merupakan rencana pembangunan infrastruktur yang dirancang pemerintahan Jokowi-JK. Proyek NYIA dikerjakan PT. Angkasa Pura I (AP I). Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 56 tahun 2018 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional ini memuat daftar 227 proyek infrastruktur. Pembangunan NYIA tertulis pada Nomor 90 bersama dengan Bandara Kertajati dan Bandara Kediri.
Dalih pembangunan proyek strategis dijadikan pemerintah untuk melakukan apa saja yang dianggap menghalangi. Termasuk menggusur pemukiman, pertanian, perkebunan, dan peternakan warga. Warga dihadapkan pada proses pembebasan lahan yang represif. Aparat, preman, dan alat berat dikerahkan. Warga yang memilih bertahan dan menolak seolah menjadi pesakitan di atas tanahnya sendiri yang telah dihuninya turun temurun.
In’amul Mushoffa, peneliti Intrans Institute, menuturkan cacat bawaan yang diidap proyek pembangunan bandara NYIA di Kulon Progo. Kepada Terakota.id, In’am mengatakan pembangunan bandara tidak semata didasarkan pada kepentingan rakyat.
Secara ekonomi politik, pembangunan bandara merupakan bagian dari reproduksi ruang kapital. Yaitu penataan ruang yang merepresentasikan perluasan surplus kapital atau modal yang dimiliki para investor.
“Dengan dalih pembangunan untuk kepentingan umum tetap tidak bisa dibenarkan. Karena bandara sebenarnya dibangun untuk melayani kelas atas. Dan bersandingan dengan arena kapital. Berupa eksploitasi sumber daya alam, pembangunan dan penguasaan pusat-pusat wisata di sekitar Kulon Progo,” kata In’am.
Jika bandara Adi Sucipto dirasa tidak lagi memadai, katanya, mengapa tidak memperluasnya saja. Disekitar bandara Adi Sucipto juga masih ada lahan cukup luas, berupa lapangan golf. Sehingga tidak perlu menggusur ruang hidup warga.
“Ganti rugi bukan bagian dari penyelesaian. Ini justru mereduksi tanah sebatas ganti rugi yang sifatnya ekonomis semata,” katanya. Padahal hubungan tanah dengan warga itu berlapis, yakni berhubungan dengan sejarah, budaya, dan ruang sosial. Bahkan, tanah itu tanah produktif pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
Pada 27 November 2017 sekitar pukul 09.00 WIB beberapa rumah warga yang menolak bandara Kulon Progo di Desa Palihan didatangi pegawai Angkasa Pura (AP) I, PT Pembangun Perumahan (PT-PP), dan PT Surya Karya Setiabudi (PT-SKS). Mereka dikawal 400 personil terdiri dari Satpol PP, polisi, dan militer.
Mereka mengawal alat berat yang mulai masuk ke halaman dua rumah warga dengan senjata laras panjang, gas air mata, dan kayu pemukul. Pihak AP I bersama aparat mengancam agar warga meninggalkan tanah dan rumah. Pihak AP I menganggap tanah dan rumah telah dikuasai dengan mekanisme dikonsinyasi dan ada pemutusan hak atas tanah di pengadilan setempat. Hingga hari ini upaya pengosongan dengan penggusuran semakin digencarkan.

Asisten Redaktur. Pegiat literasi dan coffee addict