
Terakota.id—Sorot lampu panggung perlahan meredup, layar putih yang biasa disebut kelir menampilkan animasi suasana pedesaan. Warna hijau berbagai gradasi dengan bayang pepohonan memperkuat penggambaran latar cerita. Suara gamelan lamat-lamat mengalun. Wayang berwujud anak kecil muncul. Namanya Arok. Ia panik, hewa yang digembalanya hilang. Takut amuk amarah sang ayang asuh, Lembong, Arok memutuskan kabur.
Dalam perjalanan Arok bertemu Bango Samparan. “Rumahmu di mana Le?,” tanya Bango Samparan. Arok menjawab,“saya tidak punya rumah, Paman.” Lantas Bango Samparan mengangkat Arok sebagai anaknya. Menjadi anak seorang maling, membuat Arok tak berbeda jauh dengan tabiat ayah angkatnya.
Adegan itu mengawali pertunjukan sinematik wayang berjudul Shri Rajasa Sang Amurwabhumi di Taman Krida Budaya Jawa Timur, Jumat 4 Desember 2020. Pertunjukan wayang dengan adaptasi konsep sinematik, menggabungkan unsur wayang, teater, komposisi musik baru dan permainan multimedia.
Dalang asli Malang Bagus Baghaskoro Wisnu Murti berada di balik inovasi pertunjukan wayang sinematik. Bagus kini tinggal di Solo, ia mengaku pementasan ini merupakan karya kedua yang secara khusus dipersembahkan untuk kota kelahirannya, Malang.
“Sejak tahun 1999 saya di Solo, SMA jurusan Pedalangan. Selama 21 tahun saya meninggalkan Malang. Saya ingin mempersembahkan sebuah karya untuk kota saya sekaligus mengangkat sejarah yang ada di Malang,” ujarnya kepada terakota.id.
Bagus menjelaskan konsep pertunjukan berawal dari niat sederhana menarasikan lakon-lakon nusantara dalam bentuk sinema wayang sandosa. “Awalnya dari kejenuhan. Pertunjukan wayang yang populer selalu bercerita epos Ramayana dan Mahabharat,” ujar Bagus.

Dirunut dari sejarah, katanya, pakem wayang memang mengacu babad Ramayana dan Mahabharata. Guru besar Fakultas Bahasa dan Seni dan Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Burhan Nurgiyantoro dalam jurnalnya Jurnal Pendidikan Karakter berjudu; Wayang dan Pengembangan Karakter Bangsa menyatakan teks asli epos Mahabharata dan Ramayana disadur dan disunting ke dalam bahasa Jawa Kuna. Disesuaikan dengan cerita dan legenda yang telah merakyat di Indonesia pada waktu itu. Namun roh Hindustan masih kental.
“Kita punya cerita wayang asli misalkan cerita Panji, cerita serat Menak. Menarik jika divisualkan dalam bentuk wayang. Tapi rasanya masih membosankan jika disajikan dalam format pertunjukan klasik. Kurang pas untuk tontonan generasi milenial,” ujar Bagus menambahkan.
Selain format pertunjukan yang segar, sajian lakon nusantara menjadi inovasi tersendiri. Bagus dan komunitas Saba Nusa (Sinema Wayang Babad Nusantara ) mulai tertarik mengangkat cerita-cerita nusantara sejak tahun 2017. Sebuah karya bertajuk Adiparwa Wilwatikta yang mengisahkan berdirinya Singhasari sampai hancurnya Majapahit.
“Majapahit adalah kerajaan nasional pertama di Jawa Timur, pertama di Jawa. Setelah mengangkat Majapahit, kami tertarik untuk mengangkat lakon lokalnya,” ujar Bagus.
Dari beberapa kandidat, lakon Ken Arok alias Ranggah Rajasa yang terpilih. Ken Arok adalah sosok yang menurunkan ratu-ratu Majapahit. Karya kedua ini seolah spin-off dari karya sebelumnya.
Proses produksi karya dilakukan sekitar enam bulan. Penyusunan alur, pemilihan sanggit atau jalan cerita dalam wayang, studi literatur, hingga wawancara dilakukan dengan metode riset. Komunitas Saba Nusa turun langsung untuk studi literatur dengan mengunjungi candi-candi di Malang. Penyusunan sanggit menjadi proses tersulit.
“Misalkan perjalanan Ken Arok dari Lulumbang ke Karuman, sanggit itu artinya di tengah perjalanan itu ada apa, ketemu siapa, bagaimana, nah itu namanya sanggit,” ujar Bagus memaparkan. Latihan bersama antara pemusik, dubber dan dalang selama dua bulan, 24 kali pertemuan.

Bagus berharap dengan pertunjukan ini penonton bisa sembari belajar sejarah nusantara. Pertunjukan ini menjadi langkah Bagus untuk menjaga agar wayang masih tetap ada dan menyesuaikan atau beradaptasi dengan era sekarang. “Speed hidup orang berubah, kalau wayang nggak bisa ngikutin perkembangan jaman ya akan tergerus, tereliminasi,” kata Bagus menandaskan.
Pimpinan produksi Adi Nugroho menyatakan protokol kesehatan diterapkan dengan ketat. Mengundang penonton secara terbatas maksimal 50 orang. Para penampil juga menerapkan protokol kesehatan sejak latihan. “Latihan awal terpisah, wajib cuci tangan, memakai masker, pemilihan gedung latihan yang luas agar pemain berjarak,” ujarnya.
Penonton Terkesima
Tepuk tangan penonton menggema memenuhi ruangan setelah kurang lebih dua jam pementasan berjalan. Penonton mengapresiasi pertunjukan wayang yang inovatif ini.Seniman ludruk Kendokenceng Malang Sutak Wardiono terkesima dengan penggalian cerita yang menurutnya roh kenusantaraan dan kejawaannya sangat lekat.
“Berkaca pada pandemi, kebiasaan yang ada harus diperbarui termasuk bentuk dan warna tradisi yang memang saat ini ditawarkan untuk dibongkar.,” ujar Sutak Wardiono.
Salah seorang penonton yang berprofesi sebagai guru Bahasa Jawa Astrid Wangsagirindra Pudjastawa mengaku mendapat inspirasi baru tentang materi wayang. Ia berencana untuk membuat pementasan sinematik wayang Shri Rajasa Sang Amurwabhumi sebagai bahan ajar di kelasnya.

“Format tontonan wayang yang bagus, keren, kekinian. Kita bisa mengikuti ceritanya seperti melihat film di bioskop,” ujarnya.
Kolektor wayang Yudit Perdananto menganggap tontonan sinematik wayang seperti ini bisa dinikmati lintas usia mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Apalagi cerita dituturkan dalam bahasa Indonesia.
“Penggunaan bahasa Indonesia membuat semua suku bangsa di Indonesia bisa menikmati tayangan ini. Artinya tidak eksklusif untuk golongan tertentu saja. Terobosan kesenian yang bagus,” ujar Yudit.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur
[…] Sinematik Wayang Shri Rajasa Sang Amurwabhumi Memikat Penonton Lintas Generasi […]