Ilustrasi : kevinhabits.com
Iklan terakota

Terakota.id–Bodhisattva mengulurkan tangan dan menyentuh bumi dengan ujung jarinya. “Bumi adalah saksiku.” katanya. Dari kedalaman bumi kemudian terdengar ledakan besar dan bergemuruh dari goncangan elemen-elemen bumi itu sendiri. Seluruh isi bumi berguncang dan getarannya menenggelamkan teriakan bala tentara Mara yang ketakutan. Dalam sekejap, bala tentara Mara melarikan diri. Dan Mara sendiri kalah, kemudian menyingkir.

Paragraf di atas adalah bagian dari tulisan Sherab Chodzin Kohn (2009), A Life of the Buddha. Kohn yang wafat pada Januari 2020 lalu itu menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya untuk mengajarkan agama Buddha dan meditasi. Ia adalah penulis dan penerjemah yang sangat produktif. Salah satu terjemahan pentingnya adalah novel Siddhartha karya novelis Jerman, Herman Hesse. Setelah terbit dalam bahasa Inggris, novel ini segera merebut perhatian publik.

A Life of the Buddha adalah karya penting tentang Buddha yang ditulis oleh orang Eropa pengikut dan pengajar Buddhisme. Dibandingkan dengan Nusantara, pengaruh Buddha di Eropa tidak terlalu menonjol. Dalam banyak sudut Eropa identik dengan Kristen. Sekalipun demikian bukan berarti masuknya Buddha ke Eropa lebih belakangan dibandingkan ke negara-negara Asia pada umumnya. Menurut Djoko Mulyono dkk dalam Kajian Tematis Agama Kristen dan Agama Buddha (Freepress Publisher, 2008) pada abad ketiga SM agama Buddha telah masuk ke sebagian besar belahan dunia. Sebagai penguasa yang telah memeluk agama Buddha, Maharaja Asoka mengirimkan misionaris Buddhis ke segenap penjuru dunia, termasuk ke negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Ini berarti bahwa agama Buddha telah mendunia sejak tiga abad sebelum kelahiran Yesus.

Lebih lanjut Mulyono menambahkan  bahwa Asoka sendiri membuat prasasti dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Aram dan Yunani. Kedua bahasa ini merupakan bahasa yang dipergunakan di Palestina pada zaman Yesus. Mata uang Yunani telah ditemukan dalam inskripsi Boddo (Buddha) dalam alfabet Yunani. Ditemukan bukti kuat bahwa kota-kota karavan yang dilalui pedagang pada abad pertama hingga ketiga pernah dihuni oleh penganut agama Buddha.

Eropa dan Kristen memang ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Pengaruh Kristen terhadap kebudayaan Eropa telah mengakar dalam kurun waktu puluhan abad. Begitu pula dengan Timur Tengah. Islam, Kristen, dan Yahudi telah membentuk peradaban di mana jejak-jejak kehadiran Buddha di wilayah tersebut semakin samar. Sekalipun demikian, minat orang-orang Barat untuk mengaji agama ini tak pernah surut. Hal tersebut dilakukan baik oleh teolog, sejarawan, maupun peminat sastra.

Semangat untuk berziarah ke Timur, dan kejenuhan terhadap kemapanan budaya, telah mengundang perhatian mereka untuk banyak mengaji kebijaksanaan dari Timur, baik terhadap agama-agamanya, maupun pengaruhnya terhadap kebudayaan di mana agama tersebut menyebar. Para peneliti Eropa menaruh minat yang tinggi terhadap peradaban India yang telah menghiasi Nusantara dalam kurun waktu yang cukup lama. Pengaruh Buddha terhadap sastra Eropa memang tidak sebesar yang terjadi di wilayah Nusantara. Dukungan politik sangat memungkinkan, mengingat di masa lalu Nusantara pernah menjadi negara dengan agama Buddha sebagai landasan filosofis dan spriritualnya.

Nusantara mengalami pengaruh yang sangat kuat atas agama Buddha. Pengaruh Buddha di Nusantara pada umumnya selalu menjadi serangkai dengan Hindu. Sekali pun dalam beberapa kasus terjadi kontra atas kedua agama tersebut, namun kedua agama itu pernah mengalami puncak keintimannya pada era Majapahit. Dalam banyak studi, ternyata pertemuan Hindu-Buddha juga telah berlangsung di negara asalnya sebelum kedua agama ini masuk ke wilayah Nusantara. Pemakaian simbol secara bersama-sama juga telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Karya sastra yang digubah pada zaman Majapahit dan sesudahnya mencerminkan kondisi tersebut. Pengaruh Hindu-Buddha tidak serta-merta hilang dengan masuknya Islam ke Nusantara. Spirit Hindu-Buddha masih sangat lekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam budaya baru yang datang dari wilayah yang berbeda. Dalam periode berikutnya pun, tatkala misionaris Kristen mulai melakukan karyanya di Nusantara, Hindu-Buddha masih mendapatkan tempat yang cukup baik. Para penginjil banyak mengambil nilai-nilai universal dua agama itu. Turunnya Dewa Wisnu sebagai Kalki Awatara atau penantian Buddha Maitreya menemukan keselarasannya dengan penantian kedatangan Kristus untuk kedua kalinya. Semua itu dalam budaya Jawa menemukan bentuknya pada upacara ruwatan, yang hingga kini masih dilestarikan sebagai simbol pembebasan manusia dari belenggu dosa.

Sebagaimana disebutkan di awal bahwa kajian-kajian pengaruh Buddha di Nusantara hampir tidak pernah bisa dilepaskan dalam kaitannya dengan pengaruh Hindu. Majapahit adalah penganut Buddha Siwa. Sekali pun banyak kalangan menggapnya sebagai bentuk sinkritisme, namun yang terjadi sebenarnya adalah penghayatan spiritual nenek moyang kita yang tak hanya sebatas teks. Manifestasi Tuhan bisa beragam, dan tiap teks membuka peluang bagi tafsiran yang tak pernah tunggal. Dalam banyak wujud itu terletak hakikat yang sama. Bukankah penghayatan atas wujud-Nya yang sejati justru ketika kita memahami keragaman ciptaan-Nya?

J.H.C. Kern dalam Civa dan Buddha (Djambatan, 1982) berkesimpulan bahwa agama orang Jawa di zaman dulu adalah Buddhisme. Sekalipun demikian, ia juga menemukan bahwa Buddhisme tulen tidak lain adalah Siwaisme, karena selalu ditemukannya dalam semua kuil Buddhis besar apa yang dianggap sebagai ciri-ciri khas yang tidak dapat diragukan menunjukkan keunggulan dewa Siwa. Seraya menyitir temuan Hodgson, Kern menyatakan bahwa patung-patung dan simbol-simbol itu kemudian telah menjadi Buddhis tulen, karena telah diambil alih oleh Buddhisme seperti patung Dewa Jupiter di Kapitol dijadikan gambar Rasul Paulus di gereja ortodoks.

Pemahaman keagamaan memang tak seluruhnya berangkat dari paparan tekstual melulu. Penulis-penulis yang menyuarakan gema spriritual dari agama tertentu tak selamanya ia adalah penganut agama tersebut. Setiap agama memiliki nilai-nilai universal. Di Indonesia, misalnya, sajak Isa karya Chairil Anwar bisa dijadikan contoh kasus. Chairil yang berbicara tentang penyaliban Yesus dalam sajaknya bukanlah pemeluk Kristiani. Dalam sajaknya ia bahkan mempersembahkan sajak tersebut kepada Nasrani sejati. Terlepas di dalam Al-Quran, kitab suci Islam, terdapat perbedaan penafsiran terhadap penyaliban Yesus, yang jelas ia ingin berbicara tentang penderitaan. Penderitaan dari seorang utusan Tuhan yang sedang melawan kemunafikan.

Begitu pula apa yang dilakukan oleh Hermann Hesse. Hermann Hesse tidak sedang bercerita tentang sejarah hidup pendiri agama Buddha, Siddharta Gotama Buddha. Hesse dalam novelnya Siddhartha lebih banyak berbicara tentang pencarian manusia akan hakikat dirinya dan pengembaraan untuk mendapatkan kedamaian sejati. Kedamaian sejati adalah tujuan dari tiap pemeluk agama. Hesse tak pernah menyinggung sejarah Gotama, namun lebih menekankan pada akhlak mulia Gotama yang terpancar dari seluruh gerak dan wicaranya.

Edisi bahasa Indonesia novel ini diterbitkan oleh Penerbit Bentang Budaya (April 2002). Tokoh utama dalam novel ini memang bernama Siddhartha, namun tidak dimaksudkan sebagai Gotama Buddha. Nama Siddhartha dalam novel ini adalah seorang pemuda yang haus akan pengetahuan dan kebenaran. Jalan hidupnya pun memang memiliki kemiripan dengan Gotama. Jika Gotama adalah anak raja Suddhodana, namun Siddhartha-nya Hesse adalah anak seorang Brahmana.

Siddhartha meninggalkan rumah orangtuanya bersama sahabat karibnya, Govinda. Dia menjalani hidup sebagai shramana. Siddhartha memiliki satu tujuan di depannya – menjadi  kosong, kosong dari kehausan, kosong dari hasrat, kosong dari rasa bahagia dan kesedihan. Di tengah lakunya yang panjang, Siddhartha mendapatkan kabar tentang pribadi yang tercerahkan, Gotama Buddha. Ia datang kepadanya bersama para shramana lainnya.

Ketika Govinda memutuskan untuk bergabung menjadi murid Sang Buddha, Siddharta justru tidak tertarik mendengarkan ajarannya. Di balik itu Siddhartha amat penuh perhatian melihat kepala Sang Buddha, bahunya, kakinya, pada ketenangannya, tangannya yang bebas, dan di matanya setiap gerakan jari tersebut merupakan suatu ujaran, berbicara tentang kebenaran, bernapaskan kebenaran, beraroma kebenaran, memancarkan cahaya kebenaran. Siddhartha tak pernah berhenti dalam pencariannya. Dia melanjutkan perjalanan sampai ke suatu kota.

Sebagai seorang penulis yang berlatar belakang Kristen, gambaran Siddhartha dalam novel ini dalam banyak segi adalah gambaran perjalanan hidup Yesus. Latar Siddhartha sebagai seorang shramana yang menjalani pengembaraan bertemu dengan spiritualitas Yesus yang berlatar budaya Yahudi yang bersama dan melayani orang-orang tersisih dan berdosa. Setelah menjalani sebagai shramana, Siddhartha hidup bersama dengan para pendosa.

Pertemuan Siddhartha dan Kamala, seorang pelacur ternama tak dapat diingkari adalah gambaran pertemuan Yesus dengan Maria Magdalena, yang dalam Injil Lukas disebut sebagai perempuan berdosa. Lepas dari pro-kontra terhadap pribadi Maria Magdalena, Hesse ingin mengatakan bahwa perjalanan hidup Siddhartha menjadi berkat bagi siapa pun, dan ia belajar dari siapa saja. Kebijaksanaan muncul dari semua arah, dari pegunungan dan lembah-lembah, dari tempat mulia dan tempat hina.

Siddhartha belajar memahami seni bercinta dari Kamala. Dia juga belajar menjalankan bisnis dari Kamaswami. Dia sekarang bukan lagi seorang shramana. Dia hidup dalam kesenangan duniawi. Hidup berkelimpahan duniawi, Siddharta merasakan kekosongan di hatinya, dan ketakutan di dadanya. Pengetahuan yang telah diperolehnya justru membuatnya makin  merasakan kehausan. Dalam puncak kemewahannya ia justru berhasil mengalahkan kehidupan maya, mengatasi belenggu duniawi.

Siddhartha memutuskan meninggalkan kota itu, dan melanjutkan pengembaraannya. Suatu ketika dia sampai di tepi sungai dan bertemu dengan Vasudeva, tukang sampan yang pernah menyeberangkannya. Siddhartha tinggal di gubuk milik Vasudeva. Di tepi sungai itu Siddhartha belajar mendengarkan sungai. Siddhartha menaruh simpati yang besar kepada Vasudeva. Meskipun Vasudeva tidak pernah mengatakan sepatah kata pun  tentang dirinya, namun Siddhartha bisa merasakan penerimaan atas kata-katanya.

Sungai telah mengajarkan Vasudeva bagaimana cara mendengarkan. Sungai telah mengajarinya lebih daripada apa yang bisa dilakukannya. Vasudeva belajar dari sungai bagaimana cara mendengarkan dengan hati yang damai, dengan sebuah harapan, jiwa yang terbuka, tanpa nafsu, tanpa keinginan, tanpa penilaian, tanpa pendapat. Siddhartha akhirnya juga larut dalam suara-suara sungai. Kehidupan ini laksana sungai. Tidak ada dulu, tidak ada yang akan datang, segalanya memiliki keberadaannya dan berada pada masa kini. Segala jenis suara di alam ini, segala suara makhluk hidup, ada di dalam suara sungai. Suara itu menyatu, dan hanya ada satu, OM.

Demi mencapai pencerahan, banyak yang harus ditakhlukkannya. Hesse mengajak pembaca untuk tidak menolak dunia sebagai realitas, namun kita harus mengatasi realitas itu dengan penuh kebijaksaannya. Siddhartha yang tengah belajar mendengarkan suara sungai harus berhadapan dengan cinta buta tatkala ia bertemu dengan anaknya, buah cintanya dengan Kamala. Kematian Kamala dalam perjalanan menemui Gotama Buddha, mengharuskan anaknya harus tinggal bersama Siddhartha.

Sejak bersama anaknya, Siddhartha telah menjadi satu dengan orang-orang awam, menderita bagi orang lain, mencintai orang lain, tersesat dalam cinta, menjadi bodoh oleh cinta. Ia juga harus mengalami kesedihan yang mendalam tatkala anaknya meninggalkannya. Ia terluka, tapi luka itu belum mekar. Kemudian ia disadarkan oleh Vasudeva. Siddhartha berkaca pada air sungai. Sungai itu sedang menertawakannya. Ia teringat wajah ayahnya. Dulu ia juga pergi meninggalkan ayahnya. Dia berpikir, apakah ayahnya tidak merasakan luka yang sama.

Sungai itu adalah gambaran dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya. “Semua gelombang dan arus tergesa-gesa maju, menderita, menuju tujuan, banyak tujuan. Dalam tiap tujuan ada tujuan baru. Namun suara memesona itu tak pernah berubah. Dia masih mengandung penderitaan, pertanyaan, tapi ada suara tambahan lain – suara kebahagiaan dan penderitaan, suara kebaikan dan kejahatan, suara tawa dan ratapan, seratus, seribu suara.”

Di balik suara sungai itu, Herman Hesse ingin mengritik kesalehan palsu dan iman-iman palsu. Bagi Hesse, spiritualitas adalah pengalaman pribadi. Dalam jalan panjang yang dilalui Siddhartha terdapat pesan bahwa keselamatan tak cukup hanya sekadar pernyataan iman. Tak seorang pun yang  bisa mencapai pencerahan tanpa upaya sendiri. Tak seorang pun yang bisa menanggung keselamatan, kecuali dirinya sendiri.

Menurut Hesse, “Pengetahuan dapat diungkapkan, tapi tidak kebijaksanaan. Seseorang dapat menemukannya, dapat hidup di dalammya, seseorang dapat hidup selaras dengannya, seseorang dapat melakukan keajaiban dengannya, tetapi seseorang tidak dapat mengungkapkan dan mengajarkannya.”

Melalui Siddhartha, Hesse menngingatkan kepada kita bahwa setiap angin, awan, burung, kumbang sama suci dan mengetahuinya dan dapat mengajarkan sama banyaknya seperti sungai halnya sungai. Di sana ada suara Tuhan, suara Yahwe, suara Allah, suara Ahura Mazda, suara Ida Sang Hyang Widhi, suara Hati Nurani kita sendiri.