Gedung Sarinah Mall Malang dulu Corcodia Societeit, jadi tempat Sidang Pleno KNIP tahun 1947(Aris Hidayat/Terakota)
Iklan terakota

Terakota.id – Pagi di Kota Malang. Aktifitas warga Malang telah bergeliat di jantung kota. Ribuan orang dari berbagai daerah memenuhi Gedung Rakyat di utara Alun – alun Kota Malang. Tamu negara dan wartawan luar negeri larut dalam keriuhan itu.

Gedung yang sebelumnya dikenal dengan Concodia Societeit itu tengah sibuk jadi tuan rumah Sidang Pleno ke lima Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sidang berlangsung 25 Februari – 5 Maret 1947. Sejumlah tokoh penting hadir. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Syahrir, Eduard Douwes Dekker, Ki Hajar Dewantara, dr Sutomo, Panglima Sudirman, dan Bung Tomo, dan tokoh penting lainnya.

Di dalam gedung, para tokoh lintas partai politik dari PNI, Masyumi, PKI, Partai Sosialis Indonesia terlibat perdebatan sengit tentang dua pokok bahasan penting. Yakni pembahasan atas Perjanjian Linggarjati serta Peraturan Presiden nomor 46 tahun 1947 tentang penambahan anggota voolskraad atau wakil rakyat KNIP.

Perjanjian Linggarjati itu setahun sebelumnya telah disetujui Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia. Persisnya pada 15 November 1946 ditandatangani Perdana Menteri Sutan Syahrir. Perjanjian dinilai merugikan, lantaran Pemerintah Belanda secara de facto hanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia ada di wilayah Jawa, Madura dan Sumatera. Serta pembentukan Negara Indonesia Serikat.

DR Nyoman Dekker SH menggambarkan ketegangan selama persidangan itu dalam bukunya berjudul Sejarah Revolusi Nasional terbitan Balai Pustaka 1989. Pada hari pertama, sidang tidak menghasilkan keputusan apapun. Sidang terus berlangsung dalam tensi panas, alot dan nyaris buntu tanpa hasil. Kelompok oposisi dimotori PNI dan Masyumi berpendapat Perpres 46 dibuat untuk mempertahankan Perjanjian Linggarjati.

Wakil Presiden Mohammad Hatta berpidato di Sidang Pleno KNIP di Malang (@fotoleren)

Wakil Presiden Muhammad Hatta berdiri di atas podium, menggantikan Presiden Soekarno yang berhalangan hadir di hari berikutnya. Ini adalah salah satu babak penting dalam sejarah republik yang baru berdiri seumur jagung. Gedung Rakyat di Kota Malang jadi saksi bisu, Dwi Tunggal Soekarno – Hatta mengancam mengundurkan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Bung Hatta dengan suara keras bernada tegas membuat riuh peserta sidang mendadak hening. Seluruh sorot mata tajam tertuju ke arah podium. “Kalau dekrit Presiden tidak diterima, carilah presiden dan Wakil Presiden lain!,” tegas Bung Hatta di akhir pidatonya.

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi Bung Hatta yang kembali ke tempat duduknya. Rupanya, sikap tegas Bung Hatta dalam pidato itu berdampak besar pada jalannya persidangan. Rapat pleno yang hampir tak membuahkan hasil, akhirnya menyepakati dua pokok bahasan. Usai pidato, sejumlah menteri dan anggota KNIP menjabat tangan Bung Hatta. Para wartawan memburu Bung Hatta, meminta salinan pidato itu. Rekaman peristiwa itu ada dalam buku otobiografi Bung Hatta: Menuju Gerbang Kemerdekaan terbit 1979.

Usai sidang pleno di Gedung Rakyat Kota Malang itu, Perjanjian Linggarjati pun secara sah ditandatangani Pemerintah Belanda dan Republik Indonesia pada 25 Maret 1947 di Jakarta. Meski pada akhirnya Belanda mengingkari perjanjian itu. Maka meletuslah Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947.

Suasana Sidang Pleno KNIP di Gedung Rakyat Malang pada 25 Febuari – 5 Maret 1947 (@fotoleren)

Gedung Societeit Concordia Penuh Sejarah
Gedung Rakyat Kota Malang dibangun pada abad 19. Bangunan berarsitektur Indische Empire style, dengan kolom – kolom atau pilar gaya Yunani di depan teras menjulang ke atas sebagai ciri khasnya. Dipengaruhi aliran arsitektur Neoklasik yang waktu itu muncul di Prancis dan popular di eropa sampai akhir abad 19. Gaya arsitektur ini dibawa oleh Gubernur Jenderal H.W Daendels saat memimpin Hindia Belanda 1808-1811. Daendels adalah bekas perwira tentara Louis Napoleon Prancis. (Handinoto:Dimensi 20/Ars Desember 1994)

Gedung Societeit Concordia mengalami pemugaran terutama pada bagian atapnya dibuat lebih mendatar di tahun 1914. Menjadi lebih bercorak arsitektur kolonial modern atau disebut bergaya Nieuwe Bouwen. Saat dilakukan bouewplan atau perkembangan tata kota setelah Malang ditetapkan sebagai gementee atau kotamadya. Arsitektur Indische Empire style disebut Handinoto pada tahun 1914 – 1920 sudah mulai menghilang diganti arsitektur kolonial modern.

Gedung ini pernah jadi rumah Bupati Malang pertama yakni Raden Toemenggoeng Notodiningrat pada tahun 1820-1839. Setelah sang bupati mangkat, gedung sempat dibiarkan tak dihuni. Gedung ini kemudian diambilalih Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan difungsikan sebagai Societeit Concordia.

Tempat Bangunan gedung Societeit Concordia ini terus mengalami perubahan. Dukut Imam Widodo dalam buku Malang Tempo Doeloe menyebut gedung ini di masa lampau sebagai Kamar Bola. Tempat bersosialisasi orang Eropa khususnya Belanda yang kaya raya. Jadi semacam tempat hiburan atau tempat dunia gemerlap (dugem) kalau era sekarang ini.

Kamar Bola, lantaran di tempat itu ada bola sodok atau bilyar. Sekaligus jadi tempat orang Belanda berdansa, main kartu sambil minum – minuman keras hingga mabuk. Orang pribumi dilarang masuk ke dalam gedung ini. Saat malam hari, societeit concordia terlihat terang benderang dipenuhi lampu gas berbentuk lilin yang digantung di kandelar-kandelar menyinarkan cahaya memukau.

Concordia Societeit di tahun 1935 (Arsip Perpustakaan Kota Malang)

Masih menurut Dukut, di halaman gedung itu terpampang pengumuman dalam bahasa Belanda bertuliskan Verboden voor Inlander en Hond!. Artinya, pribumi dan anjing di larang masuk. Kalau pun ada, maka para pribumi itu sudah lebih dulu diajari tentang tata karma. Mengenakan djas toetoep berwarna putih, celananya pun putih. Di antara baju dan celana dililitkan jarit diwiron dengan mengenakan ikat kepala atau udheng senada dengan kain jarit. Pribumi itu dijadikan jongos, dengan tugas utamanya menyajikan makanan serta minuman wong londo tamu gedung itu.

Gedung Societeit Concordia diambilalih Pemerintah Republik Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 1945. Menjadi Gedung Rakyat saat menggelar Sidang Pleno ke lima KNIP yang berlangsung 25 Februari – 5 Maret 1947. Gedung ini sempat dihancurkan oleh pemuda – pemuda republik dalam peristiwa yang dikenal sebagai Malang Bumi Hangus. Saat itu, para pemuda menolak kedatangan Belanda di Malang pada tahun 1947.

Bekas gedung bersejarah itu dibangun jadi Plaza Sarinah, sebuah pusat perbelanjaan modern pertama di Malang pada 1970. Pada 1992, di depan plaza ini dibangun Monumen Kongres KNIP. Ironisnya, monumen itu dibongkar pada pertengahan 2016 silam.

Ketua Yayasan Inggil, Dwi Cahyono mengatakan sidang pleno kelima sangat bersejarah karena memutuskan untuk menyetujui perjanjian Linggar Jati. Empat bulan setelah sidang, gedung Societait dibumihanguskan saat terjadi agresi militer Belanda. Bangunan itu kini berubah menjadi pusat perbelanjaan Plaza Sarinah.

Manajer Properti Sarinah Kota Malang Eri Suryanto mengatakan monumen KNIP direnovasi, bukan dibongkar. Monumen, katanya, sudah lapuk dan membahayakan pengguna jalan sehingga perlu diperbaiki. “Sarinah tak menghilangkan monumen bersejarah, tapi bangunan monumen bukan cagar budaya yang tak boleh diubah bentuknya,” tuturnya.