
Terakota.id–Pesta pernikahan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah, dua selebritis papan atas pada Sabtu 3 April 2021, yang disiarkan secara langsung di stasiun televisi swasta mengundang reaksi publik. Kehadiran Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam resepsi pernikahan yang kemudian juga diunggah melalui akun twitter resmi sekretariat negara bukannya membuat kritik reda, namun justru semakin menambah kritik luas publik.
Situasi pandemi Covid-19 dimana pesta pernikahan di berbagai daerah harus dilakukan dengan protokol ketat, tiba-tiba disuguhi kontradiksi. Sebuah pesta pernikahan selebritis dihadiri para pejabat, dan disiarkan langsung di televisi.
Sorotan utama yang perlu dikritisi adalah ijin yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kepada stasiun televisi RCTI untuk menyiarkan langsung pernikahan kedua selebritis ini. Pangkal kritik yang muncul adalah penggunaan frekuensi yang bukan untuk kepentingan publik.
Dalam Pasal 11 ayat 1, Pedoman Perilaku Penyiaran disebutkan dengan jelas bahwa lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. Menyiarkan acara pernikahan selebritis tentu layak dipersoalkan kemanfaatannya bagi kepentingan publik. Perlu digarisbawahi bahwa frekuensi adalah kekayaan alam yang terbatas jumlahnya, oleh karena itu penggunaannya seharusnya diorientasikan untuk kebutuhan publik
Televisi, sebagai bagian dari institusi media massa merupakan bagian dari ruang publik (public sphere). Dalam posisinya sebagai bagian dari ruang publik, secara ideal televisi seharusnya menjadi arena pertukaran informasi dan pandangan yang berkait dengan kepentingan orang banyak sehingga dapat menyuarakan opini publik. Ruang publik akan terwujud tatkala warga masyarakat memakai haknya untuk berkumpul atau mengeluarkan pendapatnya yang sejalan dengan kepentinga publik.
Sebagai media yang menggunakan frekuensi publik, televisi justru semakin memiliki urgensi dalam pengembangan ruang publik. Ini berbeda dengan media cetak dan internet yang tidak menggunakan domain publik. Frekuensi publik, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, jumlahnya sangat terbatas, maka seharusnya penggunaannya benar-benar diatur oleh KPI. Pengaturan yang merupakan pengejawantahan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Siaran langsung pernikahan artis memperlihatkan industri media televisi yang kedodoran. Gillian Doyle dalam bukunya yang berjudul Media Ownership (2002) menyatakan bahwa warga mengharapkan dan memerlukan keberagaman (diversity) dan pluralisme (plurality) isi dan sumber media. Kebutuhan akan keberagaman dan pluralisme yang dimaksud ini seringkali diasosiasikan dengan hak dasar dalam kebebasan berekspresi. Pluralisme yang dimaksud dalam hal ini bisa dimaknai sebagai keberagaman kepemilikan media (diversity of ownership) dan keberagaman isi (diversity of content).
RCTI sendiri memiliki jejak rekam yang buruk dalam penggunaan frekuensi publik. Di tahun 2012, RCTI meluncurkan tayangan bertajuk Jodohku yang berisi resepsi pernikahan Anang Hermansyah dengan Ashanti selama selama tiga jam penuh. Keseragaman yang diikuti dengan lebih vulgar oleh Trans TV yang menayangkan secara langsung pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina dalam sebuah program bertajuk Janji Suci Raffi dan Nagita. Stasiun televisi ini menayangkan pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina selama dua hari berturut-turut pada 16-17 Oktober 2014.
Saat itu KPI menegur program siaran langsung pernikahan selebritis dengan menyimpulkan adanya durasi waktu siar tidak wajar. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap perlindungan kepentingan publik. KPI memutuskan penayangan tersebut melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 11 ayat 1 serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Pasal 11 ayat 1. KPI hanya memberikan sanksi berupa teguran tertulis.
Tujuh tahun setelah KPI memberikan teguran terhadap siaran langsung pernikahan selebritis di televisi, pelanggaran kembali terjadi. Sebagai lembaga penyiaran yang mendapat hak untuk mengelola frekuensi, stasiun televisi tidak dapat seenaknya menggunakan frekuensi untuk kepentingan yang berorientasi meningkatkan rating dan share semata-mata. Stasiun televisi mengemban amanat untuk menggunakan frekuensi sesuai dengan kepentingan publik.
Acapkali rating dan share dijadikan perisai oleh stasiun televisi ketika kritik publik menerpa mereka, terutama mengenai pemanfaatan frekuensi publik. Stasiun televisi selalu beralasan bahwa rating dan share yang tinggi berarti minat masyarakat yang tinggi. Logikanya seharusnya tidak demikian. Keterbatasan jumlah frekuensi menjadikan hanya sedikit institusi media yang bisa bersiaran secara terrestrial melalui frekuensi.
Publik pun dihadapkan pada pilihan yang tidak banyak. Pilihan stasiun televisi yang tidak banyak pun menayangkan program siaran yang tidak sesuai kepentingan publik, seperti pernikahan selebritis. Akhirnya, selera budaya yang dihadirkan televisi ke publik hanya sebatas siaran langsung pernikahan selebritis dalam durasi berjam-jam.
