Siapa Memarahi Siapa, Selanjutnya Bagaimana?

siapa-memarahi-siapa-selanjutnya-bagaimana
Ilustrasi : Poliklitik.xom/ngomikmaksa.
Iklan terakota

Terakota.id– “Saya lihat masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan. Suasana ini krisis, “ungkap presiden dengan nada marah.

“Saya harus ngomong apa adanya, enggak ada progres yang signifikan. Enggak ada. Kalau mau minta paraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) lagi, saya buatin perppu, kalau saudara-saudara belum cukup. Asal untuk rakyat, asal untuk negara, saya pertaruhkan reputasi politik saya, “ujarnya lebih lanjut.

“Dan saya membuka yang namanya entah langkah-langkah politik, entah langkah-langkah ke pemerintah. Akan saya buka. Langkah apa pun yang extraordinary akan saya lakukan untuk 267 juta rakyat kita, untuk negara. Bisa saja membubarkan lembaga. Bisa resuffle. Udah kepikiran ke nama-nama saya, “ancam presiden.

Petikan kalimat langsung di atas berasal dari video yang sengaja disebar di youtube oleh Sekretariat Presiden Kementerian Sekretariat Negara (28/6/2020). Pernyataan itu  berasal dari pengantar presiden saat pembukaan sidang kabinet (20/6/20). Sidang yang aslinya tertutup itu akhirnya diketahui oleh publik, minimal dari video penggalan pernyataan presiden yang berdurasi 10 menit 20 detik.

Seperti biasanya, peryataan kebijakan pemerintah menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mendukung dengan apresiasi positif, ada pula yang berkomentar negatif sampai cibiran. Macam-macam alasannya sesuai sudut pandang dan kepentingannya sendiri-sendiri. Semua orang bisa punya pendapat yang berbeda dan berubah setiap saat atas isi video tersebut, kecuali buzzer.

Pelatih Sepak Bola

Apa yang menarik dari pernyataan Jokowi dalam video tersebut? Tentu beragam pendapat. Tergantung kita memakai sudut pandang apa. Tulisan ini pun tentu punya sudut pandang sendiri. Semakin banyaknya sudut pandang tentu akan semakin memperkaya gagasan pembaca. Sudut pandang tidak boleh hanya dimonopili kelompok tertentu. Itu terlalu sempit dan mempersempit ruang gerak gagasan. Karena setiap gagasan mempunyai “takdirnya” sendiri-sendiri.

Apakah presiden sedang marah? Apakah jengkel? Apakah frustasi? Itu soal sudut pandang lain yang bisa diinterpretasikan. Tetapi melihat nada bicara yang berbeda dengan yang selama ini dilakukan, rasa marah sangat terlihat dalam mimik dan nada bicara presiden.

Apakah presiden boleh marah? Tentu saja. Ia berhak marah, jengkel atau menyatakan rasa frustasinya. Apalagi yang dimarahi menteri-menteri yang dipilihnya. Kita tahu menteri itu pembantu presiden. Tentu presiden punya perhitungan tersendiri dalam memilih menterinya itu, lepas dari kepentingan politik yang juga akan menjadi pertimbangan.

Mengapa presiden berhak marah? Karena ia mempercayakan dan mengimplementasikan pekerjaan kenegaraan juga pada “bawahannya”. Tak mungkin presiden menjalankan sendiri kebijakannya. Ibarat sebuah sistem, harus ada kerjasama satu sama lain. Apakah jika ada menteri yang tidak bekerja dengan baik presiden bisa meresuffle? Tentu saja  bisa. Itu semua hak prerogratif presiden, bukan?  Jadi tanpa dikatakan ke publik pun, jika memang ada menteri yang “tidak beres”, presiden bisa langsung diresuffle.

Presiden itu tentu pimpinan lembaga dan kementerian. Ia berhak mengetahui seluk beluk lembaga yang dibawah “kendalinya” itu. Ini penting. Sebab pertanggungjawaban semuanya akan ada di tangan presiden. Dia yang akan mempertanggungjawabkan pada para pemilihnya dan seluruh rakyat Indonesia. Wibawa dan citranya tentu akan terus menjadi sorotan publik. Mengapa menjadi sorotan publik? Karena dia seorang pemimpin. Dimanapun seorang pemimpin akan disorot publik. Ini wajar. Seorang pemimpin memang begitu, dimanapun, kapanpun dan terjadi pada  siapapun.

Apakah seorang pemimpin itu tidak boleh “baper” misalnya? Tentu sebagai manusia tetap boleh. Tidak ada yang melarang. Namun, “kebaperan” seorang pemimpin akan berbeda dengan “kebaperan” masyarakat kebanyakan. Sebab, jika “baper” sedikit saja ia akan disorot publik.

Apakah seorang pemimpin tidak boleh bertindak salah? Tak ada yang sempurna di dunia ini. Masalahnya kesalahan sedikit yang terjadi pada pimpinan akan menjadi sorotan publik. Tidak masalah. Yang jadi masalah jika ia disorot kemudian marah-marah kepada para mengkritiknya. Jadi, jangan mau jadi pemimpin jika tak siap dikritik. Atau jangan jadi pendukung membabi buta jika “junjungannya” tak boleh dikritik. Namanya juga masyarakat banyak.

Kita bisa paham mengapa presiden jengkel pada para menteri, bukan? Karena dia yang nanti akan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya pada rakyatnya. Maka dengan segala kemampuannya seorang pemimpin akan melakukan apa saja untuk melaksanakan amanah yang sudah dipikulkan pada dirinya. Masalahnya, amanah atau tidak semua tergantung pada apakah ia menjalankan aturan hukum secara baik atau tidak.

Apakah presiden misalnya boleh menerbitkan Perppu? Sangat boleh. Itu semua juga ada aturannya. Ada dasar hukumnya. Masalahnya, Perppu itu melanggar aturan yang lebih tinggi atau tidak? Untuk kemaslahatan masyarakat banyak atau segolongan orang tertentu? Adakah kepentingan politis di baliknya? Itu soal lain. Yang jelas tak ada keputusan yang akan memuaskan semua pihak. Tetapi tugas pemimpin memang memutuskan. Persoalan ada pro kontra itu semua buah dari keputusan.

Jadi, menjadi paham mengapa presiden marah-marah pada menteri. Itu semua tentu untuk kebaikan sistem yang dijalankannya. Tentu saja sistem yang baik sesuai dengan aturan yang sudah ada. Konstitusi menjadi hukum tertinggi untuk itu.

Lagi,  jika presiden nanti akan mempertanggungjawabkan segala sesuatunya pada rakyat maka ia berhak untuk memarahi menteri-mentertinya. Itu juga berbading lurus dengan pernyataan, jika ada sesuatu yang tidak beres dalam menjalankan kebijakan di tingkat kementerian dan lembaga lain, presidenlah yang bertanggung jawab. Ada yang positif dia akan mendapat pujian, ada yang kurang tentu dia tidak akan lepas dari kritikan, bahkan cacian. Hal demikian wajar.

Perumpaannya juga bisa seperti sepak bola. Pelatih sekaliber Sir Alex Ferguson bisa melempar sepatu ke arah David Beckham saat Manchester United kalah dari Arsenal (0-2) di babak ke-5 Piala FA 2002-2003. Pelipis sang megabintang itu pun luka.  Jose Mourinho (Inter Milan) tak ambil pusing ketika harus “parkir bus” saat menyingkirkan Barcelona dalam semifinal Liga Champions (2010). Klub Italia itu akhirnya juara Liga Champions.  

Palatih asal Portugal itu pun dipuji Internisti. Dia akan dikenang sejarah. Sebagus dan secantik apapun taktik dan permainan “ala” Johan Cruiff saat melatih Barcelona (1994) ia bisa dikalahkan oleh strategi Fabio Capello (AC Milan) di Final Liga Champion (0-4). Namun, sama dengan pelatih lain, baik Ferguson, Muorinho atau Capello tak bisa berbuat banyak. Ia tetap berada dalam bayang-bayang pemilik klub sepak bola. Dia mau menjual atau membeli pemain pun tetap tergantung pemilik klub.

Pemimpin itu juga seperti dirijen orkestra. Jadi  baik buruknya permainan sangat ditentukan oleh sang dirijen itu. Kalau ada pemain musik yang kurang pas dia bisa menggantikannya. Nanti jika ada puji-pujian, dirijen itu yang akan mendapat sanjungan. Tetapi dia juga tak bisa melepaskan diri dari kritikan, cercaan jika permainanya tidak bagus. Yang bisa menilai tentu para penikmat musik. Baik buruk ditentukan bukan oleh para pemain musik, atau dirijen atau bahkan keluarga dan pengikut kelompok musik itu. Ia akan dipuji oleh para penikmat dan pendengar musik secara luas. Bagus tidaknya permainan, tergantung   penikmat dan pendengar. Mereka punya “hukum” sendiri.

Logika Kepemimpinan

Menjadi perdebatan saat presiden marah di depan publik dan disiarkan secara sengaja oleh sekretariat negara di Youtube. Orang banyak bertanya kenapa rapat kabinet yang tertutup itu hanya sambutan presiden yang disiarkan? Orang boleh punya pendapat bercamam-macam. Bisa jadi pidato  pengantar itu bagus.

Tentu untuk ditunjukkan pada masyarakat luas, bahwa presiden juga bisa marah. Menunjukkan kegeraman atau menunjukkan ketidakberesan para menterinya. Tapi siapa dahulu yang memilih menteri? Jika ada menteri yang tidak beres segera diresuffle. Presiden punya hak. Ini lebih kongkrit dari pada mengancam akan meresuffle. Apakah presiden sama dengan pelatih sepak bola jika setiap urusan pembelian dan penjualan pemain tergantung pemilik klub?

Logika berpikir soal kepemimpinan kemudian berbicara. Seorang pemimpin itu lebih baik memarahi anak buah dalam kesunyian tetapi bisa memuji anak buah di tengah keramaian. Itu semua menunjukkan jiwa kepemiminan seseorang. Kalau kemarahan ditunjukkan di depan orang banyak masyarakat akan punya syak wasangka. Apa motifnya? Ini misalnya. Kita boleh punya interpretasi bermacam-macam. Soal interpretasi pada teks bernama “presiden” saat ini masih sangat tergantung pada siapa membela siapa dan siapa tak mendukung siapa.

Jika presiden bisa marah pada menteri yang dipilihnya, apakah masyarakat yang memilih presiden itu juga punya hak untuk memarahi presiden?