
Terakota.id—Iswahyudi, 51 tahun, warga Desa Argoyuwono, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang mengaku memiliki memori letusan Gunung Semeru pada 1970-an. Malam itu, salah seorang warga tengah melangsungkan hajatan pernikahan dengan hiburan ludruk. Warga berdatangan menikmati suguhan kesenian tersebut. Namun, di tengah-tengah pertunjukan, menggema suara letusan.
“Duar….Suara letusan. Keluar api dari Gunung Semeru,” katanya. Namun, warga menganggap biasa. Bahkan pertunjukan Ludruk kembali berlangsung hingga dini hari. Tak ada kepanikan dan warga tak mengungsi. Meski dari kawah Jonggring Saloka keluar lava pijar, merah menyala, terlihat dari perkampungan yang berjarak delapan kilometer dari puncak Mahameru.
Dia menceritakan, saban hari, aktivitas Gunung Semeru memang rutin mengeluarkan material vulkanik, seperti awan panas guguran, lava pijar atau abu vulkanik. Bahkan, gempa vulkanik juga kerap dirasakan warga setempat yang tinggal di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) hingga 1.400 mdpl ini.

“Ngentut, gak apa-apa (Kentut, tidak apa-apa),” katanya. Desa berpenduduk 3.175 jiwa ini merupakan salah satu desa yang terdekat dari kawah Jonggring Saloka, Gunung Semeru. Sebagian besar warganya bertani dan beternak, membudidayakan kopi, salak, dan aneka jenis sayuran. Guyuran abu vulkanik pula yang secara alamiah menyuburkan tanah pertanian. Sehingga, mereka tetap bertahan meski erupsi Semeru 4 Desember 2021 lalu menyebabkan 48 jiwa melayang dan ribuan warga di sejumlah desa di wilayah Lumajang mengungsi.
“Masyarakat tak percaya jika Gunung Semeru berpotensi meletus. Selama mereka di sini tak ada letusan yang mengarah ke desa sini,” kata relawan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT) Argoyuwono, Marta Transiska.
Sungai aliran lahar, menurut mereka, berada di Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, sehingga mereka meyakini jika lahar dan awan panas hanya mengalir ke daerah di Lumajang. Marta mengaku telah berusaha menjelaskan kepada masyarakat mengenai ancaman erupsi Gunung Semeru. Kini, SIBAT bersama Pemerintah Argoyuwono membuat peta potensi bencana dan jalur evakuasi.
Kepala Seksi Pelayanan PMI Kabupaten Malang Amirul Yasin menjelaskan masyarakat lebih mengenal karakter dan kondisi di lingkungannya. Namun, mereka juga harus waspada terhadap ancaman bencana yang berpotensi terjadi di daerahnya. “Dulu warga Ngantang tak percaya letusan Gunung Kelud sampai di desanya. Ternyata erupsi enam tahun lalu lokasi terparah di Ngantang,” katanya.
Staf bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Malang Indra Ermawan menuturkan kearifan lokal warga yang tinggal di kaki Gunung Semeru seperti yang diterapkan warga Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang.
Kearifan Budaya Suku Tengger
Kepercayaan warga Desa Ngadas melarang kendaraan yang posisi parkirnya membelakangi jalan raya. Kendaraan harus diparkir dengan posisi menghadap jalan. Menurut warga, ‘gak ilok’ (tidak bagus). “Kendaraan sebaiknya menghadap jalan, jadi sewaktu-waktu terjadi bencana langsung memacu kendaraan menjauhi lokasi bencana. Termasuk, saat erupsi Gunung Semeru,” katanya.
Desa Ngadas merupakan salah satu desa adat Tengger, yang menganut keyakinan dan kepercayaan yang diturunkan nenek moyang. Mereka menganut agama Budha, Hindu, Islam dan Kristen. Mereka meyakini kawasan Tengger, Gunung Bromo dan Gunung Semeru merupakan tempat suci yang harus dihormati.
Setiap lima tahun sekali mereka menggelar ritual Unan-unan. Unan-unan berasal dari bahasa Tengger Nguna artinya menarik atau melengkapi bulan yang hilang agar kembali utuh. Tujuannya untuk menetralisasi energi negatif di bumi. Sesuai penanggalan Tengger, setiap dua bulan, ada satu hari yang hilang. “Sehingga selama lima tahun genap 30 hari atau sebulan yang hilang,” kata Kepala Desa Ngadas, Mujianto.
Upacara Unan-unan digelar agar masyarakat desa setempat terjaga keselamatannya, dijauhkan dari malapetaka, serta berharap agar tak ada wabah penyakit, kejahatan dan bencana. Mereka menyembelih seekor kerbau, diolah sebagai sesaji untuk dipersembahkan saat upacara Unan-unan. Sesaji berupa 100 tusuk sate dari olahan daging kerbau, 100 jajanan pasar dan 10 tumpeng.

Semua diangkut sebuah tandu berisi kepala kerbau dilengkapi dengan sate, jajanan pasar dan tumpeng. Masyarakat adat Tengger mengenakan pakaian adat, bercelana hitam, kemeja hitam dan udeng penutup kepala khas Tengger. Sesaji ditandu dan diarak masyarakat menuju Pura Pamujan.
Pada upacara Unan-unan 2018 lalu, para pemangku adat, Kepala Desa dan tokoh agama berada di barisan terdepan. Musik tradisional Tengger mengiringi setiap langkah arak-arakan pembawa sesaji. Perpaduan bunyi seruling, gong dan kendang yang harmonis mengundang siapa saja untuk hadir mengikuti ritual Unan-unan.
Sesampai di Pura Pamujan, semua sesaji di letakkan di atas alas. Para pemangku adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat kemudian duduk bersimpuh beralas karpet menghadap sesaji. Dukun Sepuh, Sutomo merapal mantra. Semua berkhidmat mendengarkan mantra atau doa yang dipanjatkan.
Masyarakat setempat berdiri di sekitar areal Pura Pamujan. Mereka berdesak-desakan melihat dari dekat prosesi ritual Unan-unan. Usai Dukun Sepuh Utomo merapal mantra, seluruh warga suku Tengger berebut sesaji. Mereka berharap sesaji akan membawa keberkahan dan keselamatan.
Semeru Pasak Pulau Jawa
Masyarakat setempat meyakini, jika Gunung Semeru merupakan paku atau pasak Pulau Jawa. Kisah Gunung Semeru ketinggian 3.676 meter dan permukaan laut (m.dpl) tertuang dalam manuskrip kitab kuno “Tantu Panggelaran” ditulis dalam bahasa Kawi. Sebuah karya sastra yang diperkirakan ditulis abad ke-15 era Majapahit.
Dikisahkan saat itu, Pulau Jawa masih berguncang ke sana ke mari. Pulau Jawa selalu bergerak berpindah-pindah sebab tidak ada gunung-gunung (Tanana sang hyang Mandaraparwwata). Bahkan belum ada manusia (nguniweh janma manusa) maka Bathara Jagatpramana (nama lain Bathara Guru) bersemedi mayugha di Dihyang tepatnya, sekarang dikenal bernama Dieng.
Setelah bersemedi, Bathara Guru memerintahkan Hyang Brahma dan Wisnu untuk menciptakan manusia (motus ta sira ri sang hyang Brahma Wisnu magawe manusa). Selanjutnya Bathara Guru memindahkan gunung Mahameru yang berasal dari Jambudwipa (India) ke Jawa. Gunung Mahameru dijadikan tindih atau paku, agar pulau Jawa berhenti bergerak atau berpindah-pindah.

“Legenda ini dipercaya sebagai asal mula nama Mahameru,” tulis Hendri Agustin dalam buku The Seven summits of Indonesia: tujuh puncak tertinggi di tujuh pulau/kepulauan besar. Mahameru adalah puncak tertinggi Gunung Semeru. Sedangkan kawahnya dikenal dengan sebutan “Jonggring Saloka.” Gunung Semeru merupakan gunung berapi tertinggi ketiga di Indonesia. Dari kejauhan, Semeru berbentuk kerucut sempurna.
Mahameru yang dianggap sebagai titik pusat alam semesta, kemudian dipindah ke pulau Jawa sebagai poros kekuatan gunung dari gunung-gunung lain. Seperti Gunung Kelasa, Wilis, Kawi, Arjuna dan Kumukus konon terbentuk dari serpihan tanah yang runtuh dari Mahameru saat dipindahkan.
Bagi masyarakat Hindu di Bali, Gunung Semeru atau Mahameru dipercaya sebagai bapak Gunung Agung di Bali dan sangat dihormati. Umat Hindu di Bali menggelar upacara sesaji untuk menghormati dewa-dewa di Mahameru. Upacara penghormatan dilakukan setiap 8-12 tahun sekali. Selain itu, orang Bali sering mengunjungi Gua Widodaren untuk mendapatkan “Tirta Suci.” Gua Widodaren berada di kawasan dataran tinggi Tengger.
Menurut Nabillah Djindan dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, nama lain dari Semeru adalah Semeroe, Smeru, dan Smiru. Ejaan nama tersebut tertulis dalam peta ekspedisi Belanda pada abad ke-19. Yakni, peta Beschryving van de vulkanen Semeroe en Lemongan dengan nama peta Top van den Semeroe pada 1879 yang menuliskan “Semeroe” sebagai nama toponimi Gunung Semeru.
Kawasan Rawan Bencana Gunung Semeru Meluas
Badan Geologi menerbitkan peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Semeru 2021, memperbarui KRB yang diterbitkan 1996. Pemutakhiran peta KRB didasarkan erupsi yang terjadi pada 4 Desember 2021. Tujuannya, untuk mengurangi risiko bencana geologi letusan Gunung Semeru
Peta KRB merupakan peta petunjuk tingkat kerawanan bencana jika terjadi letusan gunung api. Peta ini didistribusikan kepada Pemerintah Daerah Jawa Timur dan Kabupaten Lumajang yang berkepentingan terhadap perkembangan atau pembangunan wilayah Gunung Semeru.
“Mitigasi bencana geologi upaya untuk mengurangi risiko bencana geologi,” kata ujar Kepala Badan Geologi Eko Budi Lelono dalam siaran pers yang diterima Terakota.
Berbagai upaya strategis diterapkan Badan Geologi untuk mengurangi risiko bencana. Melibatkan lebih dari 30 ahli dengan berbagai disiplin ilmu kebumian. Meliputi pemantauan intensif dengan menerapkan berbagai metoda, mengirim tim tanggap darurat, penambahan peralatan pemantauan gunung api dan pemeriksaan lapangan.
Peta KRB Gunung Api, katanya, merupakan peta petunjuk tingkat kerawanan bencana letusan gunung api. Peta menjelaskan jenis dan sifat bahaya gunung api. Termasuk daerah rawan bencana, arah/jalur penyelamatan diri, lokasi pengungsian, dan pos penanggulangan bencana. Peta tersaji dalam bentuk gambar dengan warna dan simbol yang dilengkapi keterangan.
Hasil pemutakhiran, kata Eko, terjadi perubahan tipe, besaran dan karakteristik erupsi serta perluasan dampak. Sehingga berpengaruh terhadap perluasan KRB Gunung Semeru. Peta KRB difokuskan di bagian tenggara, yakni area terdampak.
Luas kawasan bencana dalam peta KRB Gunung Semeru 2021 ini lebih luas dibandingkan peta KRB versi 1996. Peta KRB semula seluas 72,16 hektare, berdasarkan pemetaan kawasan rawan bencana bertambah menjadi 80,43 hektare. “Terjadi penambahan sebanyak 12,5 hektare,” kata Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani.
Peta KRB, menurut Andiani, sangat bermanfaat untuk menyusun rencana kontigensi rencana kesiapsiagaan masyarakat apabila terjadi erupsi gunung semeru pada masa depan. Peta deliniasi kawasan rawan bencana ini menjadi acuan untuk evakuasi, dan penyelamatan diri. Peta deliniasi kawasan rawan bencana ini menjadi acuan untuk evakuasi, dan penyelamatan diri.


Jalan, baca dan makan