
Terakota.id-Sejumlah pemuda-pemudi Papua mengenakan pakaian tradisional, kakinya mengentak di atas lantai semen gedung Sangkring Art Project, Nitiprayan, Yogyakarta, 3 Oktober 2019. Mereka menari melingkar,sembari merapal doa. Ratusan mata terpaku menatap tarian “Serar” yang disajikan Ikatan Pelajar Mahasiswa Tambraw Daerah Istimewa Yogyakarta (IPMT DIY).
Para pengunjung turut lebur, masuk lingkaran dan menari. Menyatu. Tarian Serar merupakan tarian rakyat Papua, sebagai ekspresi rasa syukur dan kebersamaan. Malam ini, tarian Serar diekspresikan sebagai bentuk kebersamaan. Serta memanjat doa, berharap Papua kembali pulih. Papua tengah terluka, atas pelbagai tragedi kemanusiaan yang mendera.
“Itu tarian apa? Hati saya terasa nyeri. Rasanya ingin menangis,” kata seorang ibu saat menyaksikan pemuda-pemudi Papua menari dalam siaran pers yang diterima Terakota.id
Tarian “Serar” menjadi pembuka pameran bersama Perupa Papua yang tergabung dalam Udeido. Pameran bersama bertajuk “Mairi” mengangat kisah rakyat Bintuni. Relevan dengan situasi Papua kekinian. Pameran dilangsungkan 3-10 Oktober 2019.

Salah satu perupa Papua Ignatius Dicky Takdare menjelaskan makna Mairi. Mairi merupakan sebuah nama tempat dalam kisah rakyat Bintuni. Kisah ini diceritakan turun temurun dari generasi ke generasi. Mairi merupakan sebuah negeri yang indah, sejahtera dan damai, tempat tak ada lagi air mata dan kedukaan.
Siapapun yang menuju Mairi harus melewati belantara, apa saja bisa terjadi di sana. Dengan segala tantangan dan rintangan. Ada yang hilang dan ada yang akhirnya selamat tiba di Mairi. “Kami mencoba melihat kondisi Papua dengan jiwa kisah Mairi. Papua juga sedang dalam perjalanan ke Mairi-nya sendiri. Begitu banyak masalah dan rintangan yang menghadangi jalan,” katanya.
Pameran ini merupakan wujud pengharapan dan doa untuk Tanah Papua. Lewat karya para perupa masyarakat diajak merenungkan tiap babak perjalanan Papua menuju Mairi. Sekaligus bisa merefleksikan perjalanan tiap individu. Bisa menjadi media kontemplasi diri ke dalam kisah ini,” ujarnya.

Kelompok Udeido merupakan kumpulan seniman muda Papua yang aktif berkarya. Meski sebagian tengah sibuk studi dan urusan lainnya. Sebagian berdomisili dan menimba ilmu di Yogyakarta. Selebihnya menetap di beberapa kota di Papua, seperti Jayapura, dan Fak-Fak.
Udeido dibentuk para pemuda pemudi Papua awal 2018. Mereka membutuhkan wadah untuk berkarya dan mengereksplorasi karya seni rupa. Tidak semua anggota mengenyam pendidikan seni rupa, sebagian belajar secara otodidak. Namun menaruh minat dan aktif berkesenian.
Udeido dari bahasa Deiyai, rumpun wilayah adat Mee Pago. Akar katanya adalah “Ude” merujuk nama sejenis daun. Dalam bentuk jamak Ude disebut Udeido. Daun ini biasanya digunakan masyarakat Deiyai untuk membalut dan menutup luka. Setelah dibalut dengan daun tersebut, biasanya pendarahan segera berhenti.
“Kami memandang kesenian dengan spirit Udeido, menutup dan menyembuhkan luka. Menghentikan darah,” kata seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Kita, katanya, terlampau masuk dalam segala permasalahan dan problema sehari-hari yang membuat kita semua menjadi lelah dan letih. Sehingga ia berharap suara yang disampaikan lewat karya seni ini memiliki energi dan semangat penyembuh, pemulihan, dan pengharapan.
Para seniman dibantu mahasiswa dan pelajar Papua menggalang dana untuk pengungsi Nduga dan korban gempa di Ambon. Pameran Mairi, menyuguhkan beragam karya dan medium, mulai dari lukisan di atas kanvas dan kulit kayu, patung, digital art hingga fotografi yang dipadu dengan soundscape.
Para perupa yang memamerkan karyanya antara lain Nelson Natkime, Michael Yan Devis, Yanto Gombo, Brian Suebu, Freddy Monim, Ignasius Dicky Takdare, Betty Adii, Ina Wossiry, Andre Takimai, Widya Amir, Constantinus Raharusun, Lutse Lambert Daniel Morin. Mereka turut mengundang perupa tamu yang kerap mengangkat isu Papua dalam karyanya. Antara lain Ervance Havefun, Syam Terrajana, Pikonane dan Lejar Hukubun,
Pameran dibuka Seniman kontemporer Heri Dono dan guru besar seni rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Profesor M Dwi Maryanto.“Seni adalah penyembuhan, kritik adalah doa. Seniman Papua punya potensi dan kualitas sangat luar biasa. Saya yakin di tanah Papua banyak seniman yang kita tidak begitu melihatnya,” ujar Heri Dono yang melanglang buana ke berbagai belahan dunia dengan karya yang bermuatan kritik sosial saat membuka acara.
Seharusnya, perupa Papua memamerkan karyanya di seluruh Indonesia. Agung Kurniawan, seniman Yogyakarta penulis Pameran Mairi menjelaskan secara garis besar cara bertutur realisme tampak sangat kuat mengakar karya para perupa Udeido. “Apakah karena soal yang terjadi di Papua menyebabkan mereka memilih cara tutur Realisme?” tulis Agung dalam pengantar pameran.
Ia menduga pendekatan realisme dianggap akan lebih mudah dan dekat untuk memotret persoalan di Papua. Misalnya dominasi ekonomi pendatang, sedangkan masyarakat lokal hanya menjadi penonton. Ada sesuatu, tulisnya, yang dibicarakan perupa Papua lewat karya bernafas realisme. Mereka menunjukkan karya sebagai sebuah refleksi. Inti dari kesenian kontemporer adalah kritik, dan upaya melihat persoalan di sekitar.

Jalan, baca dan makan