
Terakota.id–Sekitar tahun 1989 ada sebuah kejadian di pelataran Kampus I Universitas Muhammadiyah Malang, yakni kegiatan aksi/demonstrasi untuk meminta pimpinan fakultas menemui sekelompok mahasiswa yang sedang berorasi. Persoalan yang dipermasalahkan mengenai proses belajar dan fasilitas belajar. Aksi tersebut akhirnya bubar karena pembantu Rektor 3 meminta seluruh mahasiswa yang terlibat dalam aksi untuk segera membubarkan diri, dengan diberi janji akan dipertemukan dengan rektor.
Sepekan telah berlalu namun undangan pertemuan dengan rektor tak kunjung terjadi, sehingga menimbulkan kasak-kusuk dikalangan mahasiswa, bahwa telah ada penggembosan. Memasuki pekan ke 3 setelah aksi baru datanglah undangan yang sangat mendadak untuk segera bertemu dengan rektor di Kampus II Universitas Muhammadiyah Malang.
Disinilah perjumpaan pertama saya dengan seorang rektor yang memiliki postur tubuh tinggi besar, dan dengan khasnya yang selalu menghisap rokok Bentoel biru dengan gaya yang sangat tidak formal. Pada saat itulah untuk pertama kalinya berjumpa dengan beliau dalam jarak yang sangat dekat. Tentu sebelumnya saya pernah bertemu beliau, namun dalam acara pembukaan Ospek dan kegiatan Kampus lainnya.
Dalam pertemuan itu, tepatnya di ruang kerja Rektor di kampus II UMM yang sangat sederhana namun terlihat bersih, ruangan tersebut berisi meja dan kursi kantor. Meja tamunya memberi kesan ruangan yang tampak seperti ruang rapat. Si empunya ruangan mempersilahkan masuk. “ Ayo…ayo masuk semua” ujarnya.
Sembari memberikan pertanyaan susulan “Apa semuanya sudah makan?” maka kompaklah kami menjawab “belum”. “Ayo makan dulu, nanti baru kita diskusi ya” ucapnya dengan nada yang sangat ramah dan enak didengar, jauh dari kesan formal apalagi angker dan menakutkan seperti desas-desus dikalangan civitas akademika lainnya.
Setelah jamuan makan selesai, berlanjut dengan sesi perkenalan. Disinilah awal proses pembelajaran yang saya dapatkan dari Prof. (Dr) A. Malik Fadjar, M.Sc, seorang rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang dulunya dikenal dengan sebutan Unmuh Malang. Pada saat saya mengenalkan diri dan menyampaikan maksud dan tujuan dalam pertemuan tersebut, tak disangka ditengah-tengah saya menyampaikan pendapat, ucapan saya dipotong dengan tegas.
Pasalnya saat saya mengajukan frasa kalimat“ …dalam pertemuan ini pak, saya hanya mewakili teman-teman”. Pada ucapan kalimat itulah saya disela dan dipotong oleh ucapan beliau. Beliau mengatakan “…jangan biasakan mengatakan hanya mewakili teman-teman. itu adalah pernyataan seseorang yang tidak berani bertanggungjawab. Biasakan ambil tanggungjawab melakukan sesuatu, jangan biasakan menghindar”.
Tentu dapat dibayangkan bagaimana ketidakkaruannya perasaan saya pada saat itu, karena saya baru menempuh tahun pertama kuliah di Unmuh Malang. Tanpa diduga pembicaraan saya disergah A. Malik Fadjar, selaku pimpinan tertinggi di Unmuh Malang. Tentu saya kaget dan berusaha menenangkan diri.
Rupanya pak Malik membaca bahasa tubuh saya dan tanpa disangka beliau mendekati saya dan mengatakan, “…biasakan memimpin dan bertanggungjawab, jangan pernah takut untuk menyampaikan pendapat”, yang diikuti dengan menepuk bahu saya dan kemudian beliau menjelaskan tentang pemimpin dan kepemimpinan.
Berlanjut pada tiga tahun berikutnya, pada saat ramai-ramainya tentang pembahasan SMPT (Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi) disaat itu saya sudah memimpin Senat Mahasiswa Fisipol Unmuh Malang (saat ini sebutannya adalah BEM; Badan Ekskutif Mahasiswa). perdebatan tentang SMPT sungguh sangat riuh dalam atmosfir pergerakan dan kepolitikan mahasiswa di Unmuh.
Dalam keriuhan itu kami para pemimpin Senat Mahasiswa Fakultas membuat Forum Senat Fakultas Unmuh Malang, yang seolah tidak menyatu dengan SMPT. Karena semakin ramai perbincangan ini dan dianggap mengganggu stabilitas kepolitikan mahasiswa, maka kamipun dipanggil ke ruang rektor untuk berdialog dengan Pak Malik.
Disaat kami bertemu dengan A. Malik Fadjar, tak lupa dengan gaya khasnya yaitu merokok Bentoel biru dan menghisapnya dalam-dalam sambil menawarkan untuk berbagi. memang ditahun-tahun tersebut merokok di kampus masih diperbolehkan. Singkat cerita, Pak Malik kemudian berujar dengan aksen jawa.
“…Le…mbok ya o, menjadi aktivis itu jauh memikirkan kedepan tentang gagasan dan intelektualitas dalam gerakan, jangan hanya ribut di dalam kampus,” ucap beliau sambil tersenyum kebapakan dan sama sekali tidak terlihat marah. kemudian beliau melanjutkan pembicaraannya yaitu,“…Forum senat fakultas yang kamu bentuk dengan yang lainnya itu apa hanya untuk eksistensi untuk menolak? kalau hanya sebatas menolak lalu gagasan kalian semua sebagai aktivisi ini apa? nah, untuk itu silahkan kalian buat gagasan yang dituangkan dalam paper, sehingga penolakan anda ini penuh dengan gagasan akademis dan intelektual”. Kira-kira begitu ucapan Pak Malik saat berinteraksi dengan para mahasiswanya.
Waktu berlalu begitu cepat, pada lain waktu saat saya sudah dewasa saya sangat tersanjung ketika beliau mengapresiasi apa yang telah saya lakukan ditengah-tengah masyarakat. Dan beliau mengetahui bahwa profil saya sempat dimuat di media (Koran) nasional dalam rubrik tokoh. Kemudian Koran tersebut dibawa dalam sebuah rapat dan disampaikan kepada seluruh peserta rapat yang hadir. Sungguh saya merasa terharu dengan apa yang telah dilakukan oleh Pak Malik.
Dalam lain kesempatan, saya kembali bertemu dengan beliau, saat saya mohon ijin untuk ikut seleksi Capim KPK tahun 2019 dan masuk 10 besar yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo untuk disampaikan dalam Fit and Proper Test dan dipilih oleh DPR RI.
Dalam pertemuan malam itu, Pak Malik hanya berpesan,” …mas, berjuang dimanapun tetaplah teguh pada pendirian dan idealisme jangan sampai goyah. Politik kekuasaan ini hanyalah alat untuk memperjuangkan gagasan untuk mengubah bangsanya”. Ucap beliau dengan bijaksana. Disaat saya mau pamit sambil bersalaman, saya menyampaikan “..pak saya mohon doanya”. jawaban Pak Malik,” … ya teruslah berjuang, bismillah teruslah jalan kedepan…”.
Itulah sekilas perjumpaan saya dengan Prof. (Dr) A. Malik Fadjar, M.Sc, yang biasa kami panggil dengan Pak Malik. Pak Malik adalah seorang negarawan yang selalu memberikan harapan. Tak pernah mencaci dan mengeluh. Obrolannya selalu segar dan otentik. A. Malik Fadjar adalah jangkar bagi para aktivis dalam membangun karakter dan kepribadian. Bagi generasi saya, saat menjadi mahasiswa di Unmuh Malang, sungguh sangat menyenangkan bisa berdialog, berdiskusi dengan beliau.
Dengan seluruh gagasan-gagasan besarnya tentang aktivisme, idealisme, dan intelektualisme. Pak Malik adalah contoh nyata sebagai aktivis-cum intelektual yang negarawan sebagai penggerak kehidupan bangsa. Selamat jalan pak, kami murid-muridmu akan selalu mendoakan tempat yang terbaik bagi Pak Malik di alam keabadian.

Ketua Yayasan Terakota Indonesia dan Direktur Intrans Publishing (PT. Citila Grup)