Transformasi Lintas Waktu di Hari Raya Kebudayaan Borobudur
Sebagai alat musik yang konon riil ada, berdasarkan bentuk dan cara memainkannya, semestinya waditra berdawai tersebut dapat dibuat dan dimainkan untuk masa sekarang. Oleh karena ukuran relief dan keausan batuan candi, maka yang dapat diwujudtampakkan hanyalah garis besar bentukknya. Adapun detailnya, seperti jumlah dawai, notasi dan bunyi musikalnya tidaklah sepenuhnya bisa dijaminan kesamaannya. Pada perhetan “Hari Raya Kebudayaan’ di pelataran candi Borobudur (Taman Lumbhini) dan di empat panggung pada penjuru mata angin yang masing-masing mewakili lima dari dwidasa (20 desa) sekitar Candi Borobudur, waditra berdawai yang dibicarakan di bagian terdahulu diwujudtampakkan, dibunyimusikalkan, dan diaramsemen menjadi lagu berjudul ‘Padma Swargantara’.
Relief waditra berdawai pada cerita Karmawibhangga itu, atas prakarsa dari Trie Utami, Redy Eko Prasetyo, Bachtiar Djanan dan Indro Kimpling Suseno didiskusikan untuk diwujudtam-pakkan, sehingga menghasilan ide ‘Sound of Borobudur’. Alat musik yang tergambar di relief itu dibikin kembali buah hasil diskusi bersama. Komposisi pun tercipta dengan formasi Redy, Rayhan, Aak, John Arief, Ali, dan juga Trie utami.
Kemudian Dewa Bujana dilibatkan untuk membuat tambahan komposisi bernuansa spiritual. Sebuah lagu digarap oleh Dewa Bujana dari lirik yang diciptakan Trie Utami, berjudul “Padma Swargantara”, Terkumpulah pemain musik Nusantara yang akhirnya melahirkan Sound of Borobudur. Semua ini terwujud dalam sebuah kegiatan “Borobudur Cultural Feast”, suatu upaya membangun kembali rajutan spirit Gotong Royong masyarakat desa-seda sekitar Candi Borobudur untuk meraih kemandirian budaya laku dan lelaku demi mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan.
Hari Raya Ke-budayaan Borobudur dihelat pada Sabtu-Minggu, 17 – 18 Desember 2016, dengan pengharapan menjadi momentum membuka kotak pandora ilmu pengetahuan yang selama ini tersimpan rapi di dalam Candi Borobudur lebih dari satu milenium lamanya.
Demikianlah, bukan hanya ‘Kapal Borbudur’ yang dapat diwujudtampakkan dan nyata bisa dilayarkan mengarungi samodra, namun waditra berdadawi yang terpahatkan di dua panil relief cerita Karmawibhangga juga terbukti dapat diwujudtampakkan, dibunyimusikalkan dan diaranesmen dalam suatu ansampel musik yang membahana menembus raung bunyi Nusantara bahkan dunia kelak. Dalam hal demikian, relief candi Borobudur maupun candi-candi lainnya adalah dukumentasi sejaman, yang untuk lintas masa bukan tidak mungkin apa yang tergambar itu ditransformasikan dalam bentuk riil dan digunakan pada masa sekarang. Transformasi yang demikian semoga menyusul untuk hal-ha lain yang terpahat di relief candi, sehingga khasanah budaya Nusdantara Lama tak hanya menjadi sekedar menjadi kisah usang yang hanya diamati di dinding candi, namun memberi kontribusi bagi kehidupan nyaya di masa kini dan menfatang.
Selamat atas bhaktibudaya para ‘pebhakti Borobudur’, utamanya karya transformatif sahabat Jaringan Kampung (JAPUNG) Nusantara atas ‘pembahanaan swara-musika waditra berdawai Nusantara’ yang terpahat di relief cerita Mahakarmawibhangga dalam Hari Raya Kebudayaan Borobudur (17-18 Desember 2016). Inspirasi yang diperoleh ketika mengidentifikasi waditra berdawai di Candi Jajaguhu pada pertengahan tahun ini, menjadi picu kreatif yang menghasil-kan katya bermakna ‘Sound of Borobudur’ ini.
Salam budaya ‘Nusantarajayati’.
Nuwun.
*Arkeolog Universitas Negeri Malang

Sejarawan dan arkeolog. Tinggal di Malang