
Terakota.id–-Kita sejak dahulu hingga saat ini dididik, diberikan contoh, diberikan pengalaman senang dengan penderitaan orang lain. Lihat sekitar kita. Bagaimana keadaan sekitar kita. Apa yang dilakukan oleh teman kita. Apa yang terjadi pada teman kita yang lain. Intinya kadang satu; senang dengan kesengsaraan orang lain.
Mau bukti? Coba Anda amati pernyataan orang yang mungkin pernah kita dengar. Misalnya orang itu mengatakan, “Kita harus peduli dengan orang-orang miskin. Kita harus santuni. Kalau perlu kita bentuk lembaga untuk mengumpulkan dana. Dana itu nanti bisa dipakai untuk membantu orang-orang miskin itu”. Namun apa yang terjadi? Tak banyak mereka yang peduli, bukan? Mungkin lembaganya berdiri. Bisa jadi aktivitas juga jalan. Tetapi mayoritas tetap tidak banyak yang peduli.
Atau misalnya saat seseorang dihadapkan pada kepentingan diri dengan umum. Biasanya seseorang akan mendahulukan kepentingan dirinya. Mau bukti? Amati di sekitar Anda saja. Sekarang jika ada seorang pejabat mengatakan, “Saya tidak korupsi”. Apakah Anda percaya begitu saja? Juga pernyataan, “Saya akan menggatiskan SPP jika terpilih. Saya tidak akan impor beras. Saya yakin, ekonomi negara ini naik di bawah kepemimpinan saya”. Anda sebaiknya jangan buru-buru percaya.
Mengapa? Orang di atas hanya mengatakan secara lisan saja. Secara batin belum tentu demikian. Ini tak bermaksud berprasangka buruk. Bukan itu. Saya hanya mengingatkan kita perlu hati-hati terhadap omongan orang. Bukan curiga, ya?
Pada umumnya, orang tidak peduli dengan nasib kelompok lain. Orang cenderung akan mementingkan dirinya sendiri dan kemudian kelompoknya. Kemudian orang-orang yang memberikan keuntungan dirinya. Jika tidak, jangan harap kita akan dibela teman itu.
Sebentar dulu. Tentu masih ada orang-orang baik. Tentu berprasangka baik harus didahulukan. Tetapi untuk urusan-urusan tertentu, apalagi politik, kita tidak bisa membabi buta percaya pada omongan pejabat, misalnya.
Menderitalah Biar Saya Senang
Mengapa orang senang dengan penderitaan orang lain dan susah dengan kebahagiaan orang lain? Coba lihat sosialisasi di sekitar kita. Juga lihat pertandingan dalam olah raga. Olah raganya baik. Misalnya, menamankan nilai-nilai sportivitas, kejujuran, kesabaran, pantang menyerah, ulet dan lain-lain. Tetapi dalam beberapa hal juga memberikan contoh untuk saling mengalahkan. Kita senang jika tim sepak bola menang menawan kesebelasan musuh. Kita girang jika musuh dikalahkan oleh kesebelasan lain. Ini hal kecil, tetapi memberikan teladan hidup. Artinya kita itu senang dengan penderitaan orang lain.
Lihat banjir Jakarta tahun 2019? Kelompok mana yang senang dan bisanya mengolok-olok? Lihat juga saat Indonesia yang diwakili Bulog justru mau memusnahkan beras 20 ribu ton. Sudah impor, berasnya dimusnahkan lagi. Siapa yang senang dengan “keburukan” pemerintah ini? Kelompok mana? Mendukung siapa? Benci sama kelompok mana? Bukan saling belajar bagaimana mengatasi, tetapi justru mengolok dan senang penderitaan orang lain.
Seolah, urusan banjir bukan urusan kelompoknya. Yang penting mengolok-olok mumpung bisa. Karena bisanya juga hanya begitu. Soal pemusnahan beras yang diimpor itu juga sama. Yang mengolok kelompok tertentu. Bisanya kadang mengolak, bukan memberikan solusi.
Apa yang Anda like di twitter? Apa yang Anda share di twitter juga? Lihat pula komentar-komentar di Facebook teman Anda? Muaranya tetap pada kepentingan kelompok. Buntutnya senang dengan penderitaan orang lain atau susah dengan kebahagiaan orang lain.
Sekarang jujur saja. Dalam hal-hal tertentu kita lebih senang dengan penderitaan orang lain. Lalu sedih dengan kebahagiaan orang lain. Tapi itulah hidup. Itulah manusia. Kalau tidak dilekati sifat-sifat seperti itu sudah jadilah manusia menjadi malaikat.
Schadenfreude
Saya tidak akan membicarakan soal senang susah melihat kesusahan dan kebahagiaan orang lain. Saya akan membicarakan mengapa itu terjadi. Ini lebih penting dari sekadar saling menyalahkan. Wong manusia itu memang senang menyalahkan kok disalahkan?
Beberapa waktu lalu saya membaca sebuahtulisan dalam jurnal berjudul , “Schadenfreude Deconstructed and Reconstructed: A Tripartite Motivational Model” karya Shensheng Wang dan Philippe Rochat. Tulisan itu dimuat dalam jurnal New Ideas in Psichology (Januari 2019). Jurnal ini menarik karena berkaitan dengan judul tulisan yang sedang saya bahas ini.
Mereka mengenalkan istilah schadenfreude. Schadenfreude itu secara sederhana bisa diartikan kondisi bahagia melihat orang lain sengsara. Awal sejarahnya, sifat ini melekat pada seorang komedian. Lihat saja, para komedian itu akan tertawa lebar atau membuat tertawa penonton di atas penderitaan orang lain.
Semakin orang lain menderita dianggap semakin lucu. Komedian juga mudah memberikan contoh dari “penderitaan” lawan mainnya. Dalam adegan komedi tak jarang ada orang yang diposisikan sebagai “korban” bahan tertawaan. Anehnya, penonton menyukai hal ini. Anehnya pula, para komedian itu melakukannya dengan senang meskipun menjadikan orang lain sebagai korban.
Mengapa schadenfreude dilakukan? Atau mengapa orang mempunyai sifat schadenfreude? Pertama, rasa iri. Iri ini ditunjukkan pada mereka yang punya kelebihan. Ia biasanya merasa inferior di harapan orang yang punya kelebihan. Karena merasa inferior dan hatinya berontak maka terlontar dalam pembicaraan tidak suka pada yang punya kelebihan. Mungkin ia mengakui kelebihan orang lain tetapi komentarnya cenderung sinis.
Kedua, sikap kompetitif dalam grup. Orang-orang dalam kelompoknya selalu diaggap sebagai saingan. Ia seolah selalu berada dalam posisi harus melawan. Karenanya ia bisa cenderung over acting. Padahal teman-teman dalam grupnya itu biasa saja. Ia hanya merasa teman-temannya sebagai lawan.
Ketiga, bila individu terkena gejala psikopat. Psikopat sendiri kan merasa senang bila melihat orang lain menderita atau korban kejahatan. Ini bagian dari penyakit kejiwaan. Orang cenderung senang dengan orang yang sengsara.
Keempat, bila individu mempunyai gabungan antara psikopat dan machiavellianisme. Machiavellianisme bersifat mementingkan diri sendiri dan melakukan tindakan manipulaif untuk meraih tujuan.
Kelima, orang yang tidak percaya diri. Orang-orang yang tidak percaya diri menjadikan tindakan schadenfreude sebagai alat untuk meningkatkan rasa percaya diri. Orang dalam kelompok ini asalinya tiak percaya diri. Tetapi biar dianggap mentereng, hebat, dan sebagainya mudah menyudutkan orang lain. Itu tadi, agar dia dianggap seolah percaya diri. padahal asalinya tidak percaya diri.
Gampang Menuduh
Jadi, betapa banyak sebab mengapa orang senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang. Tidak usah saling menuduh. Jangan menuduh orang lain dengan sifat-sifat tercela. Jangan-jangan kita sendiri yang melakukannya.
Menuduh orang lain radikal, jangan-jangan kita sendiri yang radikal. Hanya kita tidak mau mengakui saja. Atau menuduh dulu sebelum orang lain menuduhnya? Atau jangan mudah menuduh orang lain liberal. Jangan-jangan sikap kita itu liberal karena hanya mementingkan kelompoknya sendiri?
Kita mudah menuduh orang lain. Jika kelompoknya dituduh ia geram atau tidak suka. Sementara itu, jika kelompok lain mengalami kesengsaraan atas tuduhan kita, kita riang gembira. Kita masih berada dalam kelompok masyarakat pembelajar. Belajar untuk menghargai. Memang tidak mudah, tetapi ini perlu terus dilakukan.
Kalau perlu toleransi tidak perlu tercapai. Mengapa? Biar kita belajar terus. Bukankah kita bangsa pembelajar? Sama dengan keadilan. Jika tercapai selesai sudah usaha gigih selama ini. Apakah susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah itu akan terus begitu adanya? Semoga tidak, tetapi tak mudah diwujudkan. Kita masih belajar untuk saling menghargai satu sama lain. Kita kaya dengan sikap luhur tetapi hanya berhenti dalam teks tertulis dan wacana lisan.
Mohon penjelasan arti kata bahasa sunda, maju sirik mundur surak, apa ya artinya, terima kasih