
Terakota.id–Melihat sikap Agung Sedayu, Sekar Mirah terkejut. Hampir saja ia menjerit memanggil. Namun ketika ia teringat apa yang terjadi ketika Pandan Wangi berteriak, maka Sekar Mirah itu pun telah menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya.
Namun terasa jantungnya bergejolak dengan kerasnya. Ia tahu benar, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dengan sikapnya itu. Agung Sedayu yang memiliki kemampuan menyerang dengan sorot dari matanya itu, tentu akan dapat melumatkan Swandaru, apabila ia benar-benar melakukannya.
Sementara itu, Swandaru yang telah berhasil mengambil jarak dari Agung Sedayu itu telah bersiap untuk segera menyerangnya. Cambuknya telah mulai bergetar di tangannya.
Sekar Mirah masih menutup mulutnya dengan tangannya. Meskipun demikian, Sekar Mirah itu pun berdesis meskipun hanya didengarnya sendiri, “Ampuni Kakang Swandaru, Kakang.”
Namun ketika Swandaru itu mulai bergerak, siap meloncat menyerang dengan cambuknya, tiba-tiba saja dari mata Agung Sedayu telah meluncur seleret sinar yang terbang secepat tatit. Sekar Mirah memalingkan wajahnya. Tangannya tidak saja menutup mulutnya, tetapi kedua telapak tangannya itu menutupi wajahnya.
Orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun diam mematung. Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantung mereka. Bahkan nafas Glagah Putih itu pun bagaikan terhenti di kerongkongan.
Namun mereka pun terkejut ketika mereka mendengar suara gemuruh. Gumpalan padas di tebing di belakang Swandaru itu pun tiba-tiba telah runtuh, hampir saja menimpa Swandaru. Sehingga Swandaru yang terkejut itu pun bergeser beberapa langkah menjauhi tebing padas yang berguguran itu.
Sejenak Swandaru tercenung. Terasa dadanya bergejolak. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Swandaru memang melihat dari mata Agung Sedayu memancar semacam cahaya yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi di atas kepalanya. Kemudian tebing padas di belakangnya itu pun berguguran.
Namun Swandaru tidak mau menyerah kepada kenyataan itu. Ia justru melihat Agung Sedayu menjadi lengah. Karena itu, maka Swandaru pun telah meloncat sambil mengayunkan cambuknya.
Namun tiba-tiba saja terasa betisnya disengat oleh rasa nyeri yang luar biasa. Ternyata ujung cambuk Agung Sedayu telah menyobek kulit dan dagingnya.
Swandaru yang bagaikan membeku itu benar-benar kebingungan. Sebelum ia dapat menentukan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba pergelangan tangannya telah dipatuk oleh ujung cambuk Agung Sedayu.
Sebelum Swandaru menyadari apa yang sedang terjadi, maka sekali lagi cambuk salah satu dari sosok Agung Sedayu itu menghentak. Swandaru menjadi seperti kanak-kanak yang terlibat dalam pusaran angin yang besar. Ia benar-benar tidak tahu, apa yang harus dilakukannya.
Tubuhnya menjadi terombang-ambing serta berguncang-guncang. Pusat dari kebingungannya adalah ketika tiba-tiba saja cambuknya bagaikan dihisap oleh kekuatan yang tidak dapat dilawannya. Demikian cambuknya terlepas dari tangannya, maka yang nampak berdiri di hadapannya adalah satu sosok saja Agung Sedayu, yang menggenggam dua buah cambuk di kedua tangannya.
Sejenak Swandaru memandang kakak seperguruannya itu dengan mata yang terbelalak. Ia telah melihat apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Ilmu kebal, ilmu meringankan tubuh, sorot matanya yang mampu menggugurkan tebing, ilmunya yang dapat membuat lawan kebingungan dengan hadirnya tiga sosok ujudnya, dan tentu saja banyak lagi.
Swandaru pun menyadari, bahwa Agung Sedayu masih berusaha untuk menahan dirinya. Ia tidak langsung melumatkan tubuhnya dengan sorot matanya, tetapi Agung Sedayu itu hanya mengugurkan tebing di belakangnya.
Gejolak perasaan Swandaru itu pun dibumbui pula oleh perasaan nyeri, pedih dan sakit pada luka-luka di tubuhnya.
Karena itu, maka pada puncak gejolak perasaan di dalam dadanya, maka Swandaru itu pun telah berlutut di hadapan Agung Sedayu sambil berdesis, “Kakang, aku minta ampun.”
Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Wajahnya nampak berbeda dengan wajah yang setiap kali dilihat oleh Swandaru. Agung Sedayu di mata Swandaru tidak lagi seorang yang mengecewakan, karena dianggapnya tidak mampu menggapai tataran puncak ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Bukan pula orang yang sikapnya mengambang, yang malas, yang tidak mempunyai pendirian yang teguh. Bahkan seorang yang malas yang tidak mampu mewarisi ilmu dengan tuntas.
Tetapi di mata Swandaru yang terluka cukup parah itu, Agung Sedayu pada waktu itu tidak ubahnya dengan Kiai Gringsing itu sendiri. Bahkan ia telah melihat apa yang belum pernah dilihatnya pada gurunya itu semasa hidupnya. Sejenak Pancuran Watu Item dan sekitarnya itu telah dicengkam oleh keheningan.
Kisah Teladan
Cerita di atas adalah puncak pertempuran antara Agung Sedayu dengan Swandaru Geni. Keduanya murid Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir atau Ki Truno Podang dengan warisan senjata utamanya cambuk. Swandaru anak seorang Demang Sangkal Putung, beristrikan Pandan Wangi (anak Argapati, kepala Tanah Perdikan Menoreh). Sedayu mempunyai istri bernama Sekar Mirah (adik Swandaru) berasal dari pedukuhan Jati Anom. Sedayu anak Ki Sadewa dan adik Untara (prajurit Pajang yang akhirnya menjadi Tumenggung).
Dalam cerita, Swandaru menjadi sosok orang yang sangat menyepelekan Agung Sedayu (teman seperguruannya). Mana yang dianggap tak berkembang ilmunya. Mana yang malas. Mana yang tak punya kesaktian sejati sebagai murid perguruan orang bercambuk. Tak punya pendirian teguh. Swandari juga menilai dirinya lebih tinggi dari Sedayu.
Namun Sedayu yang pendiam tidak demikian. Ia tetap belajar di tengah kesunyian. Terus menempa diri. Prihatin yang melebihi Swandaru. Maka ia punya banyak ilmu (selain dari gurunya Kiai Gringsing) akibat berkenalan dengan Pangeran Benawa (putra Sultan Pajang Hadiwijaya/Joko Tingkir/Karebet) dan Sutawijaya (kelak bergelar Penembahan Senopati raja Mataram).
Maka ilmu Sedayu sangat mumpuni. Tapi di mata Swandaru, Sedayu dianggap tidak punya kelebihan apa-apa. Puncaknya adalah Swandaru menantang Agung Sedayu untuk bertempur. Setelah melalui beberapa kali menahan diri, ia meladeni tantangan Swandaru di Pancaran Watu Item. Satu tujuan Sedayu, menyadarkan kesombongan Swandaru.
Itu hanya cerita serial buku 329 Seri IV jilid 29 dari Api di Bukit Menoreh karya SH Mintardja. Petikan cerita di atas adalah bahwa siapapun yang menyelepekan orang lain atau apapun akan mendapatkan balasan setimpal. Swandaru dihinggapi ketamakan, ketidaksabaran dan kesombongan yang tinggi.
Jangan Anggap Remeh
Beberapa orang bertanya bagaimana penanganan wabah virus Covid-19 di Indonesia? Saya jawab singkat saja. Bahwa pemerintah kita kurang sigap dan cepat bertindak. Ya memang memutuskan menyangkut hajat hidup orang banyak memang tak mudah. Ada banyak lika-liku yang menyertainya. Ada banyak pertimbangan manfaat dan tak manfaatnya. Butuh kesiapan lahir batin. Juga soal pendanaan.
Banyak orang menganggap pemerintah kita kurang cepat bertindak. Misalnya mengantisipasi mengganasnya virus itu. Sementara negara lain sudah terjangkiti wabah tersebut. Memang setiap pilihan punya risiko masing-masing. Setiap keputusan akan membawa konsekuensi sendiri-sendiri.
Kita harus ingat bahwa kita hidup dalam masyarakat dengan tingkat kesadaran dan kepatuhan belum tinggi. Misalnya dihimbau untuk tak mudik agar virus itu tidak menyebar. Ya namanya masyarakat +62 mereka akan menjawab itu kan hanya himbauan bukan pelarangan yang ada sanksi nyata dan tegas. Masyarakat kita selama ini juga kurang disiplin.
Saya tidak menyalahkan masyarakat Indonesia. Saya juga bagian dari mereka. Tetapi itulah masyarakat kita dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sudah masyarakatnya begitu pemerintah kurang tegas. Ya sudah. Masyarakat kita hanya mau patuh kalau ada sanksi. Ini fakta sejarah.
Terus pemerintah tentu harus tegas. Bahwa kita serba kekurangan dalam alat medis, disiplin masyarakat dan kebijakan penanggulanganya itu. Pemerintah tidak menerapkan lock down katanya biayanya besar. Juga soal bagaimana nasib logistik masyarakat. Ya Indonesia itu kan negara kaya? Kaya sekali. Kalau selama ini merasa tidak banyak punya uang karena pengelolaan anggarannya tidak baik. Kalau anggaran kita baik maka keputusan apapun akan mudah dilakukan.

Terus kita juga masih tergantung pada asing. Tidak usah diingkari. Tidak usah dikatakan tak suka pemerintah jika mengatakan kita itu tergantung asing. Ini kan hanya fakta? Apapun model ketergantungannya, tidak akan membuat sebuah negara bisa mandiri. Sampai kapanpun.
Pemerintah yang dibangun dari sebuah “kesepakatan” dengan oligarki selamanya tidak akan bisa mandiri. Ia akan berada dalam bayang-bayang mereka. Misalnya, mau memutuskan kebijakan tentu akan berada di bawah tekanan kaum oligark itu. Repot juga, ada masyarakat meneriakkan anti ologarki dianggapnya pembenci pemerintah. Serba susah memang.
Padahal niatnya kan mengingatkan?
Tak selamanya kritik dipahami sebagai rongrongan. Masyarakat itu tugasnya mengingatkan dan mengkritik pemerintah. Kalau tidak mau dikritik ya tidak usah menjadi pejabat. Atau tak usah membabi buta menjadi pendukung. Kalau begini terus negara ini tidak akan maju-maju.
Terserah saja. Mau menerapkan lock down atau physical distancing. Pelajaran utama kita adalah pentingnya menjadi bangsa mandiri. Mandiri itu pernah dicita-citakan Bung Karno untuk lepas dari bayang-bayang asing. Zaman Soekarno kita menjadi bangsa yang disegani di dunia internasional. Mengapa saat ini menjadi bangsa lembek?
Kita memang beda dengan India dan Malaysia yang bisa menerapkan lock down dengan segera. Urusan logistik untuk ditanggung pemerintah. padahal realitasnya, India tak sekaya bangsa Indonesia. Indonesia berada di bawah bayang-bayang kebimbangan. Mengapa? Karena soal ketergantungan pada asing ini yang kelewat besar. Sekali lagi kita negara kaya, lho.
Masalahnya pejabatan dan elite politik kita memang masih serakah dengan materi. Jika ketergantungan itu menguntungkan diri dan kelompoknya akan dilakukan. Meskipun itu merugikan masyarakat dan bangsa ini di masa datang. Juga, kadang sebuah kebijakan melanggar undang-udang.