
Terakota.id--Tahun 1995 publik tanah air dihebohkan dengan beredarnya Film Without Mercy. Tidak tanggung-tanggung film tersebut dibintangi artis Indonesia papan atas waktu itu, yakni Ayu Azhari. Saat itu Ayu Azhari sedang naik daun. Yang mengebohkan bukan cerita filmya, tetapi adegan “panas” dalam film tersebut.
Film yang dibintangi oleh Frank Zagarino (John Carter), Ayu Ashari (Tanya), Martin Kowe (Wolf Larsen) itu sempat dilarang diputar karena dianggap mengumbar adegan porno. Adegan telanjang di bak kamar mandi darui Frank Zagarino dan Ayu Azhari menjadi pemicunya.
Yang menarik lagi bukan soal pelarangan dari film Without Mercy tetapi dampak dari sensor yang dilakukan pemerintah. Apakah pelarangan film tersebut membuat publik tidak bisa menonton filmnya? Tetap bisa. Saat film dilarang di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia, masyarakat luas bisa menontonnya lewat persewaan kaset Video Home System (VHS). Waktu itu, persewaan ramai karena masyarakat penasaran. Pelarangan itu membuat film dicari dengan cara lain. Jadi, semakin dilarang film Without Mercy, makin dicari.
Saya jadi ingat pula, waktu zaman Orde Baru (Orba), Golongan Putih (Golput) dilarang keras. Tetapi apakah dengan demikian Golput berhenti? Tidak juga. Berbagai perlawanan pun dilakukan. Bahkan majalah fakultas kami Visi di UNS Solo menampilkan cover bergambar segi lima logo Golput itu. Dilarang? Tentu. Bermasalah dengan aparat? Pasti. Bukan pelarangannya yang saya tekankan, tetapi pelarangan atas Golput secara sepihak itu justru menimbulkan perlawanan-perlawanan.
Juga, waktu saya jadi pimpinan puncak di majalah fakultas itu sempat mengundang tokoh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kita hanya mengundang diskusi saja. Sementara LSM itu pernah menjadi “momok” Orba. Saat diskusi berlangsung sempat ada intel datang. Tahu sendiri, banyak intel-intel dari mahasiswa berkeliaran yang tugasnya melaporkan ke aparat. Jadi segala kegiatan kampus tidak akan pernah lepas dari “pengawasan”. Pelarangan-pelarangan juga terjadi di era Orde lama (Orla).
Sekali lagi yang saya tekankan bukan soal adanya pelarangan itu. Tetapi dampak di baliknya. Bahwa, setiap pelarangan itu menimbulkan gejolak. Gejolak bisa akibat karena yang melarang itu terganggu kemapanannya, atau ketakutannya. Namun setiap bentuk pelarangan sepihak hanya akan menimbulkan perlawanan.
Belajar dari Sejarah
Seolah pelarangan-pelarangan sudah menjadi rutinitas sejarah bangsa ini. Anehnya, pelarangan tersebut banyak berkaitan dengan kepentingan pemerintahnya. Zaman Orba ada beberapa media massa dibredel karena dianggap tak sejarah dengan kebijakan pemerintah. Ajaran komunis dilarang membabi buta. Bahkan ide Karl Mark dilarang karena dianggap mendukung gerakan sosial masyarakat.
Namun apa yang terjadi? Setelah ganti pemerintahan sesuatu yang dilarang itu justru berkembang dengan pesat. Mengapa? Karena pelarangan sepihak akan menimbulkan perlawanan. Mungkin perlawanan tidak bisa dilakukan saat itu juga karena akan berhadapan dengan aparat negara. Tetapi apa yang dilarang tersebut tetap bisa hidup dan suatu saat akan menemukan jalannya.
Tidak percaya? Silakan buka-buka lagi data pelarangan sejak Indonesia ini berdiri. Seolah ada hukum yang berlalu, semakin dilarang makin dilanggar atau semakin dilarang semakin tersebar. Sejarah telah membarikan kita banyak pelajaran, bukan?
Polisi Masjid
Lupakan soal pelarangan. Kita mendiskusikan soal dampak saja. Beberapa waktu lalu ada kebijakan soal pengawasan masjid oleh polisi atau aparat pemerintah lain. Bahkan muncul istilah “polisi masjid”. Tugas mereka mengawasi ujaran kebencian yang dianggap muncul di masjid-masjid yang dicurigai itu. Pemerintah punya kebijakan tersebut karena menganggap beberapa masjid “berbahaya” bagi kebijakan pemerintah.
Usaha pemerintah ini layak disambut baik. Tetapi namanya pemerintah, dimanapun, siapapun, dan kapanpun tentu akan menganggap yang diluar kebijakannya sebagai tidak benar. Misalnya yang santer dibicarakan soal gerakan radikal. Radikalisme dianggap tumbuh mulai dari masjid, maka perlu diawasi.
Pemerintah berkilah bukan mengawasi masjid, tetapi membina. Masalahnya sejarah kenegaraan kita membuktikan pembinaan itu bahasa eufimisme saja. Kenyataannya tentu melarang. Dalam kurun waktu lama kita berada dalam wacana eufimisme. Menggusur disebut menertibkan. Mengawasi disebut membina dan lain-lain.
Mengapa itu dilakukan pemerintah? Pertama, pemerintah memang sedang ketakutan. Buktinya, sampai-sampai Menteri Agama (Menag) gencar “memberantas” radikalisme. Masalahnya radikalisme dikaitkan dengan pemahaman keagamaan yang berbeda dengan kebijakan pemerintah. Sementara itu, isu radikalisme ini ada kecenderungan dibesar-besarkan. Atau dalam politik telah menjadi “barang dagangan”. Semua bisa diperdagangkan jika sudah berkait erat dengan politik.
Sementara itu masyarakat umum hanya ikut-ikutan. Tergantung siapa yang mengatakan. Dari kelompok mana berasal. Coba lihat kasus yang menimpa Ustadz Abdul Somad (UAS) dan ustad Muwaffiq. Siapa yang membela? Siapa yang menyudutkan? Dari kelompok mana yang membela? Mengapa membela membabi buta?
Soal sikap dua orang di atas logika umat netizen pun akan bergantung siapa ustadz yang didukungnya atau ustadz yang merasa sekelompok dengannya. Lalu logika siapa dukung siapa, siapa menggemari siapa. Dan ini diteriakkan gencar sesuai logika di atas.
Sementara pendukung dari dua orang di atas berbeda pendapat, di sisi lain bisa jadi ada yang bersorak sorai. Jika dalam kacamata politik, untuk menundukkan UAS yang selama ini berseberangan dengan peemrintah memakai “tangan orang lain” saja. Yang rugi siapa? Masyarakat umum yang mudah terpancing dan terbelah. Capek bukan?
Kedua, pengawasan masjid oleh polisi tidak akan menyelesaikan masalah utama. Memang radikalisme itu tidak boleh hidup di bumi Indonesia. Tetapi cara-cara pengawasan itu justru akan membuat perlawanan semakin kuat dan mereka semakin solid. Sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan akan semakin kuat saat timbul perlawanan atau pelarangan.
Memang saat diawasi mereka akan “menata” pembicaraan. Tetapi bukan berarti itu akan berhenti. Sangat susah. Itu menyangkut keyakinan soalnya. Coba kita lihat kasus Front Pembela Islam (FPI). FPI itu sebenarnya organisasi yang tidak begitu besar. Ia sekadar sekelompok orang yang mempunyai pemahaman Islam yang agak tekstual. Ia menjadi dan semakin besar saat timbul perlawanan dan pelarangan disekitarnya. FPI tambah populer. FPI merasa ditekan. Ia merasa didzalimi. Karenanya, muncul perlawanan. Jadi yang membesarkan FPI sebenarnya juga pemerintah sendiri.
Tanpa dilawan dan dilarang secara keras ia tidak akan banyak mendapat tempat di bumi Indonesia. Ia hanya akan menjadi organisasi yang berbeda. Tentu itu biasa dan tak usah dianggap berbahaya. Memang semua organisasi di Indonesia harus sama dan sesuai dengan keinginan pemerintah? Tidak mudah.
Tugas pemerintah itu bukan sekadar melarang tetapi menciptakan “tandingan”. Tentu saja yang menarik bagi masyarakat umum. Sejak negara ini berdiri kelompok Islam garis keras itu selalu ada. Pelarangan yang keras justru akan semakin membesarkannya.
Apakah pemerintah tidak bisa mengambil contoh bagaimana Megawati dibatasi ruang geraknya? Apakah tidak ingat peristiwa 27 Juli 1996 yang akhirnya bisa menggulingkan Soerjadi dari ketua PDI serta merebut kantor PDI? Saat itu Megawati dilarang dan ditekan pemerintah. Di masyarakat Mega justru menjadi simbol perlawanan masyarakat atas pemerintah. Apalagi pemerintah waktu itu memang tidak bisa memberikan rasa keadilan masyarakat. Mega dilarang, ia melawan, masyarakat di belakangnya.
Keadilan itu Fokusnya
Fokus pemerintah sekarang memang ada pada rasa keadilan yang sudah semakin hilang. Megawati itu menjadi simbol perlawanan pada pemerintah karena ketidakadilan tidak bisa diwujudkan pemerintahnya sendiri. Contoh kongkrit, bukan? Keadilan ini tentu berlaku bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Contoh kecil saja, pengawasan pada masjid akan membuat umat Islam itu selalu dicurigai. Ia juga bisa membuka peluang bahwa pemerintah tidak percaya pada umat Islam. Ia juga dianggap menakut-nakuti. Akhirnya, kepercayaan pada pemerintah pun bisa luntur. Jika sudah demikian maka perlawanan akan terus muncul.
Tentu saja ada tuntutan keadilan yang masih harus diwujudkan pada masyarakat. Tulisan ini bukan berarti benci pada pemerintah. Bukan itu. Setiap pemerintah tentu membutuhkan kritikan, dimanapun, siapapun dan kapanpun. Tulisan ini bisa jadi tidak mengenakkan mereka yang mendukung pemerintah. Atau mereka yang selama ini berteriak anti radikalisme.
Radikalisme memang tidak boleh hidup di bumi Indonesia. Tetapi menyikapi berlebihan justru akan menimbulkan perlawanan-perlawanan. Tugas pemerintah adalah segera menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat. Pemerintah itu hanya sekadar pelaksana konstitusi. Ia bukan konstitusi itu sendiri. Ia hanya pelaksana saja untuk kemakmuran rakyatnya. Jika keadilan terwujud “jualan agama” yang dilakukan oleh sekelompok orang tidak akan laku. Bahkan jualan agama saat menjelang Pemilu pun tidak akan laris. Namun mengapa selama ini masih hidup? Itu tadi, rasa keadilan belum dirasakan masyarakat umum.
Ingat saja ungkapan umum yang sering menemukan kebenarannya. Bahwa semakin dilarang, makin dilanggar atau dilawan. Tidak usah “baper” pula menanggapi tulisan ini. Kita sebaiknya cerdas belajar pada sejarah. Jika tidak bisa, mending kita nonton lagi film Without Mercy saja.