
Terakota.id–Mengapa seorang juru bicara (Jubir), staf ahli penguasa cenderung membenarkan pendapat, tingkah laku, kebijakan dari penguasa dalam segala hal? Termasuk jika seorang penguasa itu khilaf, apalagi jika benar adanya? Mengapa mereka berkepentingan soal itu? Itu juga berlaku untuk posisi yang berseberangan pada mereka yang berada di kubu oposisi.
Mengapa tidak sesekali pendukung  penguasa itu membenarkan apa yang dilakukan oposisi? Misalnya Jubir atau staf ahli mendukung langkah pihak oposisi. Lalu pihak oposisi membenarkan juga penguasa. Sesekali saja. Biar hidup ini lebih asyik. Tetapi itu harapan yang belum tentu sesuai dengan kenyataan, bukan?
Kemudian kita seret pertanyaan ke lebih sempit lagi. Mengapa para pendukung pemerintah sibuk dan merasa gatal jika ada pihak yang mengkritik kebijakan pemerintah? Seolah kritik itu sebuah aib? Buru-buru menaikkan tagar yang membela pemerintah. Bisa juga dengan memainkan opini agar melupakan kasus-kasus tertentu dengan memunculkan atau membuat opini baru?
Mengapa pula kalangan di luar pemerintah cenderung selalu mencari kesalahan penguasa? Jika ada kesalahan sedikit dibesar-besarkan. Sementara saat pemerintah punya prestasi cenderung diam. Mengapa mereka (juga para pembela pemerintah), cenderung “memobilisasi” pendapat agar didukung banyak orang? Apakah mereka tidak bosan?
Mengapa kalangan penguasa atau para pembelanya cenderung berbicara tentang persatuan, toleransi, atau pentingnya menghormati perbedaan? Dengan kata lain, penguasa atau pendukungnya berbicara yang ideal-ideal sekali. Mengapa mereka senang dengan menyerang kalangan sipil yang berbeda pendapat hanya gara-gara dia pembela penguasa? Lihatlah kecenderungan statusnya di media sosial.
Mengapa pula istilah keadilan, kemakmuran, pentingnya kritik, perbedaan itu penting, konflik itu hal biasa sebagai prasyarat demokrasi lekat dengan bukan pembela pemerintah? Kelompok ini ada kalanya diam dengan tingkah lalu sesama sipil tetapi keras sama penguasa? Lihat pula kecenderungan statusnya di media sosialnya.
Ini Dasarnya
Pertanyaannya mengapa itu semua bisa terjadi? Tentu saja melihat secara detail sebab musababnya tidak akan tuntas. Juga tidak akan memuaskan semua pihak. Yang bisa kita lakukan melihat dari sebuah sisi tertentu mengapa itu semua terjadi. Satu sisi ini bisa jadi menjelaskan dan memuaskan pihak tetentu tetapi juga membuat jengkel atau dianggap mengada-ada pihak yang lain. Namanya juga sudut pandang. Selalu ada perbedaan pendapat. Sama persis dengan tidak akurnya antara pendukung penguasa dengan yang bukan pendukungnya.
Dalam kajian komunikasi massa dikenalkan istilah selective attention. Dalam buku saya Pengantar Komunikasi Massa (2019), selective attention berarti seorang individu akan cenderung memerhatikan dan menerima terpaan pesan media massa yang sesuai dengan kecenderungan pendapat dan minatnya.
Jika diuraikan lebih lanjut juga bisa berarti seseorang punya kecenderungan memerhatikan dan menerima pesan hanya yang berasal dari orang yang sesuai dengan dirinya. Bukan berarti bahwa orang itu tak mau menerima pesan selain yang sesuai dengan pendapat dan minatnya, hanya persentase besar berada pada posisi yang sesuai dengan dirinya.
Pertanyaannya, mengapa masing-masing orang cenderung menyesuaikan minat dan pendapatnya dan mereka cenderung berbeda? Pertama, perbedaan individu itu merupakan hasil dari struktur kognitif seseorang yang berbeda dalam menerima pesan, jenis pesan yang menerpa seseorang. Seseorang sering hanya punya kemampuan selektif hanya pada pesan-pesan yang menarik perhatian kita.
Kedua, keanggotaan sosial pada berbagai kelompok sosial pun ikut memengaruhi pesan mana yang dipilih. Afiliasi agama, partai, suku ikut membentuk bagaimana pesan yang dicari seseorang. Jadi, seseorang dengan afiliasi tertentu akan sulit untuk memilih dan menerima pesan dari afiliasi yang lain.
Ketiga, orang lebih berminat kalau suatu informasi dapat membangun citra hubungan dengan orang lain. Seseorang cenderung mau menerima, mencari pesan dengan tujuan pesan tersebut bisa dipakai dan bermanfaat untuk berhubungan dengan orang lain. Informasi yang dicari seseorang diharapkan mendukung dirinya agar bisa berhubungan dengan orang secara lebih baik. Tentu saja, pesan dan kelompok sosial yang bersesuaian dengan dirinya.
Para Pembela
Nah, selective attention itulah yang pada  akhirnya ikut memengaruhi apa yang dipikir, apa yang dilakukan dan tidak dilakukan seseorang. Mengapa pula seseorang lebih memilih sorang tertentu sementara tidak memilih orang yang lain? Itu salah satu alasannya.
Mengapa? Karena apa yang ada dalam benak seseorang yang dipengaruhi oleh selective attention itu akan membentuk sikap dan perilaku seseorang juga pada akhirnya. Kenyataan itu memberi dorongan kuat seseorang untuk menyuarakan sesuatu dan tidak menyuarakan yang lain. Juga, akan mendekat dengan individu atau kelompok tertentu dan tidak pada individu atau kelompok yang lainnya pula.
Dorongan itulah yang membuat seseorang seperti membangun “ruang pikir” dalam otaknya dengan hanya menerima atau menyebarkan pesan,  juga mendekat dengan mereka yang “sefrekuensi”. Ini kecenderungan alamiah yang bisa jadi dialami oleh masing-masing individu.
Tentu saja asumsi-asumsi di atas bisa tidak lengkap. Ada pula seseoranag karena kepentingannya menerima, menyebarkan dan mendekat pada orang yang sefrekuensi. Tetapi bukankah apa yang sedang dan akan dilakukan tetap terkait dengan selective attention di atas?
Jadi kenapa staf ahli, Jubir itu berbicara dengan membela kekuasaan pemerintah bisa terjawab di sini. Hal demikian juga tak jauh berbeda dengan mereka yang menjadi pihak yang “berseberangan” dengan pemerintah. Apalagi buzzerRp, bukan? Karena kelompok terakhir itu memang tugasnya membela yang membayar. Pembelaan itu tetap berkaitan dengan selective attention (memerhatikan dan menerima terpaan pesan yang sesuai dengan kecenderungan pendapat dan minatnya).
Dalam posisi ini kita tidak usah heran. Mereka memang bertugas. Nanti setelah tidak bertugas akan normal dengan sendirinya. Itulah kenapa dalam soal politik kita tidak perlu ikut-ikutan membabi  buta dengan membela habis-habisan sebuah kelompok. Yang dibela saja belum tentu memikirkan kita kok. Hanya karena kepentingan sesaat masalah-masalah kemanusiaan yang sebenarnya penting bagi kehidupan masyarakat dikorbankan.
Mohon maaf kok artikel ini malah bermuara pada politik. Padahal inginnya cerita soal bagaimana pesan memengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Semoga bisa sedikit membuka cakrawala berpikir dan tak terjebak pada pemikiran sempit atau sengaja disempitkan.