Lemah Tanjung, Melihat Kerusuhan Mei 1998
Ratna Indraswari Ibrahim mengapit tiga novel karyanya. (Foto : BBC Indonesia).
Iklan terakota

Oleh: Bachtiar Djanan*

Terakota.id-Di kota Malang, bila ada sosok yang paling pantas dianggap sebagai guru, ibu, maupun kakak bagi kalangan pegiat sastra, pelaku budaya, dan para aktivis pergerakan, tentu beliau adalah seorang Ratna Indraswari Ibrahim. Mbak Ratna,  demikian biasanya panggilan akrab sang penulis cerpen yang telah menghasilkan tak kurang dari 400 cerpen semasa hidupnya.

Pada masa kanak-kanaknya, Mbak Ratna menderita penyakit rachitis (radang tulang) yang mengakibatkan Kedua kaki dan tangannya tidak berfungsi, sehingga semenjak usia 13 tahun beliau harus menjalani semua aktivitas kehidupannya dengan duduk di atas kursi roda.

Namun keterbatasan fisik seperti ini bukan menjadi hambatan baginya untuk mengembangkan kemampuannya dalam menulis, dengan cara mendiktekan pemikirannya pada para asistennya untuk mengetik.

Di kamar pribadinya yang dipenuhi buku, Ratna Indraswari menjuluki dirinya sebagai “sastrawan lisan”. Perempuan kelahiran 1949 ini dibantu oleh seorang asisten untuk mengetik apa yang dia lontarkan, yang telah membuahkan ratusan cerpen dan novel. (BBC/ Heyder Affan).

Mbak Ratna pernah berkuliah di Fakultas Ilmu Alam Universitas Brawijaya, Malang, namun tidak dirampungkannya, beliau memilih untuk menekuni dunia penulisan. Dengan perjuangan keterbatasan fisik seperti itulah cerpen dan novelnya lahir, dan memiliki karakter yang sangat khas dengan kewanitaannya.

Karyanya antara lain : berupa kumpulan cerpen yang di muat dalam antologi Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995),  Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), Lakon Di Kota Senja (2002) dan Waktu Nayla (2003). Menjelang akhir tahun 2002, penerbit Gramedia meluncurkan Sumi dan Gambarnya.

Novel-novel karya Mbak Ratna

Kumpulan cerpennya yang lain: Aminah di Suatu Hari, Menjelang Pati (1994), Namanya Masa (2000) dan Sumi dan Gambarnya (2003). Karya-karya cerpennya tersebut banyak dimuat di berbagai media massa seperti Kompas, Horison, Basis, Suara Pembaruan, Kartini, Sarinah, Jawa Pos dan banyak lagi. Mbak Ratna juga menerbitkan novel yaitu Bukan Pinang Dibelah Dua (2003) dan Lemah Tanjung (2003).

Atas peran aktifnya dalam dunia sastra, tercatat beberapa kali Mbak Ratna meraih beberapa penghargaan, antara lain, tiga kali berturut-turut cerpennya masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas (1993-1996), cerpen pilihan harian Surabaya Post (1993) serta juara tiga lomba penulisan cerpen dan cerbung majalah Femina (1996-1997).  Karyanya juga terpilih masuk dalam Antologi Cerpen Perempuan ASEAN (1996).

Di samping rajin menulis, sejak 1977 Mbak Ratna juga aktif menjadi ketua Yayasan Bhakti Nurani Malang dan Direktur I LSM Entropic Malang (1991). Karena aktivitas sosialnya inilah beliau mendapat kesempatan mengikuti berbagai seminar internasional, seperti Disable People International di Sydney, Australia, (1993),  Kongres Internasional Perempuan di Beijing, RRC (1995), Leadership Training MIUSA di Eugene Oregon, Amerika Serikat (1997), Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, Amerika Serikat (1997), serta pernah mendapat predikat Wanita Berprestasi dari Pemerintah RI (1994).

Sebagai sastrawan, Ratna dikenal sebagai penulis produktif. Setidaknya 400 karya cerpen dan novel telah dia lahirkan, termasuk novel kontroversial Lemah Tanjung (2003) tentang isu lingkungan. (BBC/ Heyder Affan).

Ada sebuah penghargaan “lucu” yang pernah diterima Mbak Ratna dan membuatnyaterbahak.  Pada tanggal 26 Juni 1996, Mbak Ratna mendapat piagam penghargaan yang ditandangani Menteri Negara Peranan Wanita Tutty Alawiyah AS dalam acara “Temu Tokoh Seribu Wajah Wanita Indonesia”. Dalam piagam tertera “prestasi” Mbak Ratna, yakni “kepemimpinan dan manajemen peningkatan peran wanita”. Merasa tak berhak menerima penghargaan dengan kriteria tak jelas itu, Mbak Ratna lalu mengembalikan piagam penghargaan itu lewat jasa pos ke kantor Menteri Peranan Perempuan di Jakarta.

Menulis hanyalah salah satu kegiatan, tapi berbuat nyata dan menginspirasi  orang lain adalah “tugas besar” yang terus ditunaikannya semasa hidupnya, sekalipun dari atas kursi roda. Salah satunya, pada tahun 2001, Mbak Ratna membentuk Forum Kajian Ilmiah Pelangi yang bermarkas di rumahnya, Jl. Diponegoro 3.A Malang. Forum ini mampu menjadi oase, kantong budaya, karena mengakomodasi berbagai elemen masyarakat dalam diskusi beragam persoalan aktual setiap bulannya.

Pembelaan Lemah Tanjung

Dalam karya-karyanya, seluruh tokoh protagonis dalam cerpen Mbak Ratna adalah perempuan. Tokoh-tokohnya tak terbatas pada kaum marjinal, tapi wanita-wanita dari segala kelas. Tampak jelas Mbak Ratna adalah seorang pembela kaum perempuan. Namun tidak hanya tema pembelaan kaum perempuan yang ditulisnya, novel Lemah Tanjung merupakan karya pembelaan Mbak Ratna kepada lingkungan hidup.

Novel yang ditulisnya dalam waktu dua tahun ini boleh dikata merupakan karya Mbak Ratna yang paling komplet. Pergulatan batin dan emosinya begitu kental, pergolakan liku-liku hidup, cinta, kesadaran sejarah, dan nafas perlawanan dalam novel Lemah Tanjung sedemikian kuat dan gampang terbaca.

Novel yang diterbitkan pada 2003 ditulis berdasarkan kisah nyata. Warga Kota Malang mengenal Lemah Tanjung yaitu lahan bekas kampus Akademi Penyuluh Pertanian (APP) seluas 28,5 hektare, yang juga merupakan hutan kota. Hutan Lemah Tanjung saat itu menjadi satu-satunya paru-paru kota yang tersisa, sekaligus menjadi buffer zone Kota Malang.

Sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim merajut cerita konfik hutan kota bekas kampus APP dengan pengusaha dengan cerita rekaan. (Foto : Abdi Purmono/Batikimono.com).

Di dalamnya terdapat hutan heterogen, kebun kopi, kakao, sawit, ladang jagung, hamparan sawah, pun lapangan rumput terbuka. Hidup pula sedikitnya 128 spesies tanaman, yang beberapa di antaranya belum teridentifikasi dan menjadi tempat bernaung tak kurang dari 36 spesies burung langka.

Rencana pengalihan fungsi hutan kota APP menjadi perumahan mewah ditentang banyak kalangan, terutama warga setempat, akademisi dan aktivis lingkungan. Dalam pembelaannya terhadap APP, Mbak Ratna tidak saja berperan sebagai sastrawan, tapi juga bertindak sebagai aktivis tulen, beliau turut terlibat aktif dalam berbagai diskusi dan unjuk rasa menentang pengalihan fungsi hutan kota menjadi perumahan mewah tersebut.

Mbak Ratna menulis novel Lemah Tanjung sebagai doku-drama dari bahan yang otentik karena beliau sendiri yang terlibat dalam aksi-aksi perjuangan penolakan penggusuran. Rapat para demonstran dan aktivis melawan penggusuran APP Tanjung di tahun 1999 juga tak jarang dilakukan di rumah Mbak Ratna. Mbak Ratna benar-benar mendedikasikan novel Lemah Tanjung tersebut bagi warga yang menentang pembangunan perumahan mewah di atas lahan hutan kota APP.

Baginya, lahan bekas APP itu bukan hanya menyangkut soal lingkungan, tapi juga berkaitan dengan dinamika sosial-budaya dan sejarah Kota Malang. Lahan APP yang juga dikenal dengan sebutan Lambau, merupakan sebuah hutan kota yang berada di jalan Ikhwan Ridwan Rais atau lebih dikenal dengan daerah Tanjung.  Nama Lambau sendiri berasal dari bahasa Belanda: Landbouw yang artinya pertanian, maklum lidah orang Jawa mungkin tidak bisa melafalkan dengan sempurna sehingga ‘melenceng’ menjadi Lambau.

Selain sebagai hutan kota, dahulu di kawasan Tanjung ini juga terdapat lapangan tembak, perkebunan, persawahan, lapangan sepakbola dan berfungsi sebagai ruang terbuka hijau dan daerah resapan air. Beberapa bangunan utama kampus APP berupa bangunan jaman Belanda yang termasuk dalam kategori bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan.

Di hutan kota APP, warga kota Malang bisa menikmati suasana alami area perkebunan coklat dan pemandangan hutan yang asri dan hijau. Siapa menyangka di hutan yang kecil itu seringkali ditemukan beberapa species semacam ular sanca, burung rangkok, kepodang dan sebagainya oleh warga sekitar. Lokasi ini merupakan sedikit dari habitat yang tersisa di tengah Kota Malang bagi kawanan kunang-kunang.

Ijen Nirwana Regency

Kawasan APP ditukar guling, antara Departemen Pertanian dan kelompok bisnis perumahan PT Bakrieland Development Tbk.bekerja sama dengan PT Duta Perkasa Unggul Lestari (DPUL), dan dibangun menjadi salah satu pemukiman termewah di kota Malang dengan nama Ijen Nirwana Residence.

Dalam perjalanannya, Ijen Nirwana Residence direncanakan memasarkan 214 rumah dan cottage seharga Rp 900 jutaan sampai Rp 5 miliar, dengan fasilitas sport club, hotel, ruko, convention hall, bioskop, food court, distro, dan hipermarket (ironisnya nama dan logo Ijen Nirwana kini terpampang gagah sebagai salah satu sponsor utama di kaos tim kebanggaan kota Malang: Arema)

Sebagian pepohonan yang tersisa di kawasan hutan kota Akademi Penyuluh Pertanian (APP) Tanjung. (Terakota/ Eko Widianto).

Selain tidak sesuai secara fungsi lingkungan hidup, pembangunan perumahan mewah ini tentunya sangat tidak peka sosial, di mana di sekitar lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman padat penduduk dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Memang seperti inilah wajah pembangunan kota Malang dengan kebijakannya yang sewenang-wenang, tanpa adanya kepekaan sosial, dan bertentangan dengan hukum.

Mbak Ratna dan Bu Hien

Mbak Ratna, Bu Hien. (Foto: Purnawan D Negara)

Salah satu inspirasi Mbak Ratna dalam menulis novel Lemah Tanjung adalah perjuangan seorang warga APP, yaitu almarhum Ibu Hiendrarsih, atau akrab dipanggil dengan Bu Hien. Bu Hien adalah satu diantara dua keluarga APP, yang menolak relokasi dan memilih bertahan di dalam rumahnya di dalam kampus itu kendati pihak Deptan (baca: APP) dan pihak investor perumahan dengan kekuatan kapitalisnya, melakukan tukar guling untuk menyulap bekas kampus itu menjadi perumahan mewah.

Almarhum Bu Hien dan almarhum Pak Rachmad serta keluarganya, ditemani beberapa teman mahasiswa dan LSM melakukan perlawanan dan bertahan di dalam kampus. Selama bertahun-tahun perlawanan itu berlanjut. Bu Hien dan keluarganya yang benar-benar merasakan teror yang terus-menerus dilancarkan untuk membuatnya tak betah dan meninggalkan kampus APP. Pemadaman listrik dan lemparan batu di atas genteng rumah sudah menjadi teror harian yang mesti diterima.

Sayang setelah bertahun-tahun tak banyak yang bertahan. Teman-teman mahasiswa datang silih berganti. Hanya Bu Hien dan Pak Rachmad yang bertahan. Satu persatu aset APP dikuasai pengembang (dengan dukungan Pemda). Salah satu lahan APP yang berada di di dekat kampus UNM, kini sudah berganti wajah menjadi pusat perbelanjaan besar, Malang Town Square (bayangkan sebuah pusat perbelanjaan besar di antara lokasi kampus dan sekolah). Dan ironisnya banyak warga Malang yang bangga dengan pusat perbelanjaan ini.

Mbak Ratna, Bu Hien dan Pak Rachmad (belakang, kanan), dan para pejuang APP (Foto: Purnawan D Negara)

Beberapa waktu sebelum Bu Hien berpulang ke rahmatullah, beliau menderita kelumpuhan yang diakibatkan adanya syaraf di leher yang terjepit, yang memaksa dirinya harus beraktivitas di atas kursi roda. Kondisi tersebut tak membuatnya surut dalam berjuang. Sangat sering Bu Hien dan Mbak Ratna hadir pada berbagai kegiatan bersama-sama, kedua pejuang berkursi roda ini memang bersahabat erat, dan sama-sama menyuarakan perjuangan menentang pembangunan perumahan mewah di atas lahan APP.

Kemudian pada akhirnya karena penyakit lainnya, seperti penyakit jantung dan diabetes (yang membuat kaki Bu Hien diamputasi), telah mengakhiri perjalanan hidup Bu Hien yang keras dalam melestarikan lingkungan hidup kota Malang, khususnya menyelamatkan ruang terbuka hijau yang tersisa.

Kini ruang terbuka hijau (RTH) di kota Malang setiap tahun makin menyusut. Pada tahun 1994, luas RTH masih sekitar 7.160 hektare dari luas Kota Malang yang mencapai 110,6 kilometer persegi. Dua tahun berikutnya, jumlah RTH berkurang menjadi 6.957 hektare, dan menjadi 6.615 hektare pada 1998. Pada 2000, jumlahnya menjadi 6.415 hektare dan pada 2002 tinggal 6.367 hektare. Pada 2004, tercatat hanya tersisa seluas 3.188 hektare, dan pada 2007, luas RTH tersisa 1,8 persen atau 1,908 hektare.

Menurut UU Nomor 26 Tahun 2007, luasan RTH di wilayah perkotaan minimal 30 persen dari total luas wilayah, di mana 20% merupakan RTH publik dan 10% untuk alokasi RTH privat.  Kasus APP ini juga telah melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP). Dalam peraturan tersebut, disebutkan luas minimal RTHKP adalah minimal 20 persen luas kawasan perkotaan. RTH salah satunya berfungsi memberikan ketahanan udara dari CO2, sehingga udara tetap sejuk.

Sedangkan dari penelitian LSM KSBK pada tahun 2005 menyebutkan bahwa kebutuhan minimal oksigen untuk kota Malang adalah sebesar 1103,5 ton/hari. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan luas kawasan hijau dan peresapan air sebesar 40%. Faktanya saat itu kawasan terbuka hijau di Malang tinggal 4%, itupun sudah termasuk hutan kota APP di Tanjung.

Sebelum hutan kota APP habis dan beralih fungsi menjadi kawasan perumahan mewah Ijen Nirwana Residence, Malang dulu memiliki kawasan resapan air Taman Indrokilo yang kini telah beralih fungsi menjadi kawasan perumahan mewah (di belakang museum Brawijaya). Menyusul kawasan resapan air GOR Pulosari yang kini sudah berubah menjadi swalayan Hero, eks lahan APP yang berlokasi di Jalan Veteran juga sudah berubah menjadi mall Malang Town Square (Matos), sebagian kawasan Stadion Gajayana menjadi pusat perbelanjaan Malang Olympic Garden (MOG), dan sejumlah taman menjadi gedung perkantoran.

Data pertengahan 2010, luas taman di Kota Malang yang dikelola pemerintah tinggal 109.487 meter persegi, hutan kota di 11 titik seluas 71.793 meter persegi, dan kebun bibit seluas 5.800 meter persegi.  RTH Kota Malang yang berbentuk taman hanya seluas 109.487 meter persegi yang tersebar di 31 titik.

Dengan kondisi tersebut dan ditambah adanya pemanasan global, tak heran data suhu udara kota Malang setiap tahun mengalami peningkatan. Data dari Stasiun Klimatologi Karangploso Kabupaten Malang menyebutkan bahwa dalam 12 tahun terakhir, suhu meningkat tajam. Pada tahun 1997 lalu suhu udara rata-rata Kota Malang sekitar 23,4 derajat celcius. Namun, akhir tahun 2006 meningkat menjadi 24,2 derajat celcius.

Sementara suhu udara tertinggi selama musim kemarau terjadi pada bulan Oktober dan Nopember tahun 2006 mencapai 33,5 derajat celcius, tahun 2007 maksimum 33 derajat celcius. Sedangkan 2008 melonjak drastis menjadi 34,0 derajat celcius. Data ini berasal dari rekaman pengukur temperatur udara yang ditempatkan di Universitas Brawijaya Malang, Karangploso, dan Lanud Abdulrachman Saleh Malang.

Berdasarkan potret buram lingkungan hidup kota Malang inilah Mbak Ratna menuangkan pemikiran dan pergulatan batinnya dalam novel Lemah Tanjung yang sempat pula diangkat sebagai cerita bersambung di harian Jawa Pos. Demikianlah perjuangan Mbak Ratna untuk APP yang secara totalitas dilakukannya dengan segala keterbatasannya beraktivitas di atas kursi roda.

Selamat Jalan Mbak Ratna…

Makam sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim. (Foto: Pelangi Sastra Malang).

Pada hari Senin, 28 Maret 2011, pukul 09.55 WIB, Mbak Ratna berpulang ke rahmatullah dalam usia 62 tahun di RSU Dr. Syaiful Anwar, Malang, Jawa Timur, akibat stroke yang kesekian kalinya komplikasi dengan penyakit jantung dan paru-paru. Jam 13.30 wib, di bawah guyuran hujan, jenazah cerpenis, novelis, budayawan dan aktivis ini dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Samaan, Kelurahan Samaan, Kecamatan Klojen, Kota Malang.

Kota Malang kehilangan lagi salah seorang warga terbaiknya… Dalam beberapa waktu terakhir beberapa pejuang lingkungan hidup senior telah berpulang menghadap kepada Sang Khalik. Prof Radyastuti, pakar pendidikan lingkungan hidup dari Universitas Negeri Malang, sang Penghijau perintis Hutan Kota Taman Malabar dan Jalur Hijau Jl. Jakarta; Bapak Rachmad  dan Bu Hiendrarsih, pejuang lingkungan hidup dan penghuni terakhir bumi APP Tanjung; dan kini menyusul Mbak Ratna juga telah menuntaskan episode yang menjadi “panggilan hidup” baginya untuk berbuat sesuatu melalui pemikiran dan karya-karyanya….

Saya yakin Mbak Ratna saat ini berada di tempat terbaik di sisi-Nya, karena jasa-jasa beliau dalam menyuarakan nilai-nilai, memotivasi dan menginspirasi banyak orang. Seingat saya, salah satu guru agama SD saya pernah berkata “Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain”.. Dan kita semua tahu, tak diragukan lagi, bahwa Mbak Ratna adalah termasuk dalam golongan tersebut…   Selamat jalan Mbak Ratna kita…

(bahan dari berbagai sumber)

*Pegiat literasi dan sahabat Mbak Ratna

Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.