
Terakota.id—Selama masa pandemi Covid-19, volume sampah plastik yang dihasilkan rumah tangga melonjak signifikan. Selama pandemi sampah plastik meningkat. Penelitian Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo Surabaya komposisi pada 2017 sampah plastik 13 persen sedangkan 2020 naik menjadi 22 persen .
“Selama pandemi banyak yang belanja online dan pesan antar makanan. Dibungkus plastik,” kata Kepala Sub Direktorat Barang dan Kemasan Direktorat Jenderal Kementerian Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup Ujang Solihin Sidik dalam diskusi daring bertema Pandemi Covid-19 dan ekonomi sirkular, Senin 12 Januari 2021.
Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan 96 persen kemasan produk di pasar online dibungkus dengan plastik. Sampah plastik mendominasi, di tempat sampah dan mencemari sungai Ciliwung. Sampah plastik sebesar 46 persen dari volume sampah yang ada, sedangkan berdasar berat sebesar 57 persen yang mencemari teluk Jakarta.
Selain itu, LIPI juga menemukan selama pandemi ditemukan sampah medis jenis Alat Pelindung Diri (APD). Seperti masker, dan sarung tangan. Sedangkan komposisi limbah APD selama pandemi sebesar 15 persen sampai 16 persen. “Sebelum pandemi tak ditemukan,” katanya.

Limbah medis, katanya, sebagian besar merupakan sampah infeksius yang harus dimusnahkan. Sehingga tak bisa masuk ke simpul ekonomi sirkular. Sedangkan limbah medis non infeksius, seperti bekas botol infus bisa didaurulang. Tapi dengan standar keamanan yang ketat.
Sampah terus bertambah, ujar Sidik, tanpa usaha mencegah timbulan, sehingga antara timbulan dan pengelolaan terus berkejaran. Selama ini tak ada upaya untuk menutup keran atau memperkecil keran produksi sampah. Belum ada usaha memperkuat kebijakan untuk mengurangi sampah. “Belum tersentuh, untuk mengurangi sampah dari sumbernya. Untuk memperkecil timbulan sampah,” ujarnya.
Harus berubah, ujarnya, tak menunggu timbulan sampah tetapi bagaimana mengurangi produksi sampah. Lantaran 80 persen sampah menjadi beban lingkungan. Berakhir di TPA, sungai hingga laut. Dalam Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup (IPKLH) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, menemukan fakta 72 persen warga tak peduli lingkungan.
“Tren sampah plastik terus naik. Pada 1995 sebesar 16-17 persen, jika tak dikendalikan bisa mencapai 50 persen sampah palstik,” katanya. Prinsip dasar sampah, ujarnya, di pengelolaan. Target pemerintah menangani 70 persen sampah. Sampah diolah menjadi kompos, bahan baku daur ulang dan menjadi sumber energi alternatif.
Jika selama ini bertumpu di penanganan saja, sedangkan pengurangan sampah tak tersentuh. Idealnya, ada tahapan mengurangi volume sampah, proses daur ulang dan pemanfaatan. Sehingga diharapkan volume residu yang diangkut ke TPA semakin sedikit. Semua diatur dalam Undang-Undang Pengolahan Sampah
“Kewajiban produsen untuk take back atau menarik kembali sampah kemasan yang dihasilkan dan mendaurulangnya,” ujarnya.
Sidik menjelaskan ekonomi sirkular tak hanya sebatas dauulang saja. Namun, biogas, kompos juga menjadi bagian sirkular ekonomi. Kompos menjadi media tanam sehingga bisa menumbuhkan tanaman. “Daur ulang hanya bagian kecil ekonomi sirkular,” katanya.

Komponen pertama dalam ekonomi sirkular adalah mengurangi kemasan produk yang tak bisa didaurulang. Semua produk kemasan, katanya, harus bisa didaur ulang dan digunakan ulang. Ia juga mengapresiasi pemerintah daerah yang mengeluarkan aturan melarang penggunaan kemasan plastik sekali pakai, seperti gelas plastik dan sedotan.
“Harus konsisten, mengawasi dan terus menjalankan. Tanpa ada penegakan dan pengawasan, aturan tak akan jalan,” ujarnya.
Idealnya dikurangi, seperti penggunaan sachet kemasan plastik. Produsen penghasil kemasan sachet akan menerapkan teknologi daur ulang, tapi terbukti gagal. Teknologi mahal, dan bisa dijalankan. “Pembiayaan jadi kendala. Terlalu mahal,” ujarnya.
Ketua Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) 3R Mulyoagung, Dau, Kabupaten Malang F. Supadi mengatakan jika produsen minuman kemasan tetrapak membeli sampah yang dihasilkan. Sebulan mencapai 1,5 ton seharga Rp 1000 per kilogram. “Tapi ada produsen yang sampahnya banyak tak bersedia membeli,” ujarnya.
Pemulung Rentan Tertular Covid-19
Sementara Co. Founder Kawal Covid-19, Elina Ciptadi menegaskan jika pemulung dan petugas kebersihan yang mengambil sampah rentan terpapar Covid-19. Apalagi, mereka kelompok masyarakat atau pengambil sampah tak rutin melakukan pemeriksaan kesehatan. Atau mendapat pemeriksaan dan perawatan kesehatan secara semestinya.
“Mereka tinggal di permukiman padat, rentan menulari keluarga dan tetangga,” katanya. Karena tinggal di permukiman padat penduduk, sehingga ruang dan jarak tak bisa dibatasi. Penghasilan mereka dua pekan, hilang. Hidup dari penghasilan saat itu. Beda dengan pekerja dengan gaji bulanan.
Untuk itu, perlu dipisahkan sampah medis dan sampah rumah tangga yang dihasilkan penyintas Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri. Agar tak menular petugas kebersihan yang bekerja. Selain itu, petugas kebersihan wajib menggunakan sepatu, apron, masker dan kacamata.
“Sudah ada aturan Menteri Kesehatannya,” ujarnya. Selain itu, juga perlu disediakan tempat cuci tangan di depan rumah dan perkampungan. Agar orang lain seperti pengangkut sampah, tukang sayur, tak ada alasan tak cuci tangan setelah berinteraksi dengan barang yang berpotensi menularkan virus.

“Mobile test unit bisa digunakan ke kampung padat penduduk. Memeriksa pengumpul sampah,” ujarnya. Pemeriksaan bisa dilakukan secara berkala, mengingat populasi mereka rentan dan jarang menggunakan fasilitas kesehatan. Jika terinfeksi, merefka harus didediakan tempat isolasi terpusat. Karena tak memungkinkan isolasi mandiri di rumah dengan kawasan padat penduduk.
“Isolasi terpusat juga lebih mudah menyortir sampah medis,” ujarnya. Bagi pemulung tersebut, katanya, pemerintah perlu memberikan bantuan tunai sesuai kebutuhan. Sehingga selama isolasi tak memikirkan bagaimana nasib keluarga mereka. Karena mereka tak ada pendapatan tanpa bekerja.
“Juga perlu edukasi untuk mencegah stigma negatif penyintas Covid-19,” ujarnya.

jelas sekali