
Oleh : Frida Kusumastuti*
Terakota.id–Dunia pendidikan kembali bergairah untuk diperbincangkan masyarakat. Walau setiap tahun selalu saja menarik memperbincangkan pendidikan, namun pesona Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru sungguh membuat perbincangan dunia pendidikan semakin populer dan dinamis. Topik yang dipicu oleh pernyataan-pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim di berbagai kesempatan, selalu menjadi bola panas perbincangan di media sosial maupun media mainstream. Tidak hanya oleh para pakar, melainkan juga oleh para netizen yang sangat heterogen.
Topik-topik yang populer misalnya, soal akreditasi tidak menjamin mutu, rangking tidak menjamin kesuksesan, beban guru, dan soal Ujian Nasional. Namun, tulisan ini tidak ingin mengulang kembali topik-topik tersebut. Perbincangan panas itu membuat penulis menengok kembali tentang hakekat pendidikan dan fungsi sekolah.
Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Maka jelas pendidikan merupakan tugas orang dewasa dalam membimbing, melatih, dan memberi contoh pada yang lebih muda (anak-anak) tentang budi pekerti, pikiran, serta jasmani untuk kesempurnaan hidup yaitu yang bermanfaat bagi keseimbangan individu dengan alam dan masyarakatnya.
Masyarakat yang bergerak dinamis mengalami perubahan-perubahan yang cepat. John Dewey, misalnya mengamati struktur masyarakat yang berubah tidak diikuti dengan persiapan terhadap pendidikan manusia untuk bisa menyadari masyarakat baru. Hal tersebut menjadi persoalan tersendiri. Disinilah kemudian John Dewey lalu mendirikan sekolah percobaan di Chicago. Menghadirkan rumah di lingkungan sekitar. Gagasannya adalah sekolah sebagai miniatur masyarakat dan sebagai sumber ide dalam upaya perbaikan masyarakat.
Disinilah kita, sekarang menikmati sekolah sebagai salah satu “rumah pendidikan manusia”. Pelembagaan rumah pendidikan ternyata bukan persoalan yang mudah. Hingga usia Indonesia sekarang, masyarakat disuguhi keruwetan sistem pendidikan nasional melalui sekolah. Ada masa sekolah dianggap sebagai “penjara” karena menciptakan dominasi bentuk pengetahuan tertentu.
Sekolah juga dituduh melanggengkan stratifikasi sosial yang tidak produktif bagi kualitas kehidupan manusia. Klimaksnya adalah pernyataan Mendikbud Nadiem Makarim yang viral tentang beban administrasi guru, akreditasi sekolah, kelulusan tak siap kerja, kehadiran peserta didik di kelas, Ujian Akhir Nasional, dan ranking siswa berdasarkan nilai pelajaran. Wacana-wacana Mendikbud membuat polarisasi masyarakat dalam melihat dunia pendidikan, khususnya sekolah sebagai “rumah pendidikan”.
Sekolah sebagai Agen Sosialisasi
Marilah bersama kita pahami pesan Ki Hajar Dewantara melalui definisi pendidikan. Bahwa pendidikan merupakan tugas orang dewasa dalam membimbing, melatih, dan memberi contoh pada yang lebih muda (anak-anak) tentang budi pekerti, pikiran, serta jasmani untuk kesempurnaan hidup yaitu yang bermanfaat bagi keseimbangan individu dengan alam dan masyarakatnya.
Dan sekolah merupakan “rumah pendidikan” dimana anak-anak akan diberi proses pengalaman untuk mencapai kesempurnaan hidup. Oleh karena itu memahami proses kehidupan anak-anak menjadi salah satu kunci. Jangan sampai sekolah sebagai “rumah pendidikan” menjadikan anak-anak hanya sebagai objek karena orang dewasa tidak memahami proses anak-anak untuk menjadi subjek dalam masyarakat yang dinamis.
Sekolah merupakan tempat utama dimana anak-anak mengalami banyak perubahan dalam hidup bermasyarakat. Sekolah adalah agen sosialisasi kedua bagi anak-anak setelah keluarga. Antony Giddens (1996) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana seorang anak yang “tidak berdaya” (bayi) tumbuh menjadi seseorang yang mempunyai kesadaran diri, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan budaya tempat dia dilahirkan. Sebagai suatu proses, anak-anak mengalami tahapan-tahapan yang tidak mudah dalam bermasyarakat itu.
Sebagai suatu proses bermasyarakat di sekolah, anak-anak akan mengalami desosialisasi (pencabutan diri) dan resosialisasi (kembali menjadi diri yang baru). Proses ini bukanlah sesuatu yang mudah dilalui bagi anak-anak. Setidaknya ada enam tahapan Tahapan pertama adalah pemberian identitas baru yang berbeda dengan identits lama, sekaligus bersamaan dengan itu anak-anak mengalami penghilangan identitasnya yang lama.
Ketika masuk sekolah, anak-anak bukan lagi sebagai “anaknya ayah bunda”, bukan lagi sebagai “kakak atau adik” seperti di rumah. Dia menjadi diri yang lain, yaitu individu siswa yang tidak selalu dimanja, dibela, dilindungi, dilayani, disayangi seperti saat dilakukan ayah bunda di rumah. Dia akan menerima perlakukan yang sama oleh guru dan teman-temannya. Bisa jadi yang semula di rumah manja dan selalu dilindungi, ketika di sekolah dia harus berperan sebagai pemimpin (ketua kelas) yang melindungi anggotanya, misalnya.
Tahap ketiga, anak-anak akan belajar menyesuaikan diri. Disinilah bimbingan dari orang dewasa sangat diperlukan. Tidak semua anak akan mudah melaluinya. Sebagian bisa mengalami kesulitan pada tahap ini. Ketika dia menyadari bahwa tidak bisa bertingkah laku seenaknya seperti di rumah, dan harus menyesuaikan perilaku sesuai yang diharapkan oleh lingkungannya yang baru di sekolah.
Ketika tahap ini gagal oleh bimbingan orang-orang dewasa, maka pada tahap keempat anak akan frustasi, dan melakukan pembangkangan dari rasa tidak nyaman, bahkan mungkin anak akan melarikan diri dari masyarakat.
Pendidikan di sekolah bisa mengupayakan anak-anak mencapai tahap kelima yaitu tahap pemahaman diri tentang apa yang diharapkan lingkungan kepada diri anak, dan pemahaman tetang apa yang akan dilakukan sebagai individu dalam hidup bermasyarakat. Pada akhirnya anak-anak akan sampai juga pada tahap keenam, yaitu reaffirmation atau tahapan menerima nilai dan norma lingkungan baru sebagai bagian dari dirinya.
Melihat uraian sosialisasi di atas, kita orang dewasa menjadi paham bahwa pendidikan di sekolah memang menjadi tidak semata-mata soal kecerdasan intelektual yang terukur dari nilai-nilai kognitif di semua pelajaran. Sekolah mesti menjadi agen yang mengupayakan anak-anak mencapai kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya melalui budi pekerti, pikiran, mental, serta jasmani secara keseluruhan atau seimbang.
*Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Pembaca Terakota.id bisa mengirim tulisan reportase, artikel, foto atau video tentang seni, budaya, sejarah dan perjalanan ke email : redaksi@terakota.id. Tulisan yang menarik akan diterbitkan di kanal terasiana.

Merawat Tradisi Menebar Inspirasi